"Jika
Anda menemui sesuatu kesulitan di dalam memahami tawasuf, bacalah buku saya
Kimyatus Sa'adah (Kimia
Kebahagiaan) yang akan
membimbing Anda ke jalan
yang benar, dan
memberi Anda, sekurang-kurangnya, suatu kesempatan yang adil untuk memanfaatkan
kemampuan-kemampuan yang dikaruniakan oleh Allah kepada Anda." Demikianlah
Al-Ghazali menulis dalam salah satu suratnya kepada Nizamuddin Fakhrul Mulk,
wazir Seljuk.
Kimia
Kebahagiaan adalah ringkasan dari karya monumental Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin,
ditulis sendiri secara populer oleh beliau dalam bahasa Parsi, tidak dalam
bahasa Arab sebagaimana Ihya. Mengenai Ihya cukuplah kita kutipkan di sini
pendapat Muhaddits Zainuddin
Iraqi: "sebagai seorang
ulama, Al-Ghazali telah berhasil
meringkaskan dan kadang-kadang menjelaskan ajaran-ajaran Al-Qur'an
dan hadis, dalam
karya abadinya ini
yang disamping AlQur'an dan hadis, merupakan buku petunjuk
praktis terakhir dan agama sejati yang ada."
Buku ini memuat delapan bagian
dari naskah aslinya.
KATA PENGANTAR
1 - Pengetahuan
Tentang Diri
2 - Pengetahuan
Tentang Tuhan
3 - Pengetahuan
Tentang Dunia
4 - Pengetahuan
Tentang Akhirat
5 - Tentang Musik dan Tarian Sebagai Pembantu
Kehidupan Keagamaan
6 - Pemeriksaan
Diri dan Dzikir Kepada Allah
7 - Perkawinan Sebagai
Pendorong atau Penghalang Dalam Kehidupan Keagamaan
8 - Cinta
Kepada Allah
KATA PENGANTAR
Ketahuilah, bahwa
manusia tidak diciptakan
secara main-main atau sembarangan. Ia
diciptakan dengan sebaik-baiknya dan
demi suatu tujuan agung. Meskipun bukan merupakan bagian
Yang Kekal, iahidup selamanya; meski
jasadnya rapuh dan membumi, ruhnya mulia
dan bersifat ketuhanan. Ketika,
dalam tempaan hidup
zuhud, ia tersucikan
dari nafsu jasmaniah,
ia mencapai tingkat tertinggi; dan sebaliknya, dari menjadi budak nafsu
angkara, ia memiliki sifat-sifat
malaikat. Dengan mencapai tingkat
ini, ia temukan surganya di dalam perenungan tentang
Keindahan Abadi, dan tak lagi pada kenikmatan-kenikmatan badani.
Kimia ruhaniah yang
menghasilkan perubahan ini dalam
dirinya, seperti kimia
yang mengubah logam
rendah menjadi emas, tak bisa dengan mudah ditemukan. Untuk menjelaskan
kimia dan metode operasinya itulah maka pengarang menyusun karya yang diberi
judul Kimia Kebahagiaan ini.
Khazanah-khazanah
Tuhan yang mengandung kimia ini, ada
pada hati para nabi. Siapa saja yang mencarinya di tempat lain akan
kecewa dan bangkrut di hari kemudian, yakni ketika ia mendengar firman: "...Telah
Kami angkat tirai itu darimu, dan pandanganmu pada hari ini sangatlah
tajam." (QS 50:22)
Allah telah
mengutus ke dunia
ini seratus dua puluh
empat ribu nabi untuk mengajar manusia tentang resep kimia
ini, dan bagaimana cara mensucikan hati
mereka dari sifat-sifat
rendah melalui tempaan
zuhud. Kimia ini
dapat secara ringkas diuraikan
sebagai berpaling dari
dunia untuk menghadap kepada Allah.
Bagiannya ada empat.
Pertama, pengetahuan tentang
diri. Kedua, pengetahuan tentang
Allah. Ketiga, pengetahuan
tentang dunia ini sebagaimana adanya.
Keempat, pengetahuan tentang
akhirat sebagaimana adanya.
Marilah
kita mulai memaparkan keempat bagian ini secara berurutan.
1
Pengetahuan
Tentang Diri
Pengetahuan tentang
diri adalah kunci
pengetahuan tentang Tuhan,
sesuai dengan Hadits: "Dia
yang mengetahui dirinya
sendiri, akan mengetahui
Tuhan," dan sebagaimana
yang tertulis di
dalam al-Qur'an: "Akan
Kami tunjukkan ayat-ayat kami
di dunia ini
dan di dalam
diri mereka, agar kebenaran tampak
bagi mereka." Nah,
tidak ada yang
lebih dekat kepada anda kecuali diri anda sendiri. Jika
anda tidak mengetahui diri anda sendiri, bagaimana anda
bisa mengetahui segala
sesuatu yang lain.
Jika anda berkata"
"Saya mengetahui diri saya"- yang berarti bentuk luar anda; badan,
muka dan
anggota-anggota badan lainnya
- pengetahuan seperti itu
tidak akan pernah bisa menjadi kunci pengetahuan tentang Tuhan. Demikian
pula halnya jika pengetahuan
anda hanyalah sekedar
bahwa kalau lapar
anda makan, dan kalau
marah anda menyerang
seseorang; akankah anda dapatkan
kemajuan-kemajuan lebih lanjut
di dalam lintasan
ini, mengingat bahwa dalam hal
ini hewanlah kawan anda?
Pengetahuan
tentang diri yang sebenarnya, ada dalam
pengetahuan tentang hal-hal berikut ini:
Siapakah
anda, dan dari mana anda datang? Kemana anda pergi, apa tujuan anda datang lalu
tinggal sejenak di sini, serta di manakah kebahagiaan anda dan kesedihan
anda yang sebenarnya
berada? Sebagian sifat
anda adalah sifat-sifat binatang,
sebagian yang lain adalah sifat-sifat setan dan selebihnya sifat-sifat malaikat.
Mestai anda temukan,
mana di antara
sifat-sifat ini yang aksidental dan mana yang esensial
(pokok). Sebelum anda ketahui hal ini, tak akan bisa anda temukan letak
kebahagiaan anda yang sebenarnya.
Pekerjaan
hewan hanyalah makan, tidur dan berkelahi.Oleh karena itu, jika anda seekor
hewan, sibukkan diri
anda dengan pekerjaan-pekerjaan ini. Setan selalu sibuk mengobarkan
kejahatan, akal bulus dan kebohongan. Jika anda
termasuk dalam kelompok
mereka, kerjakan pekerjaan
mereka.
Malaikat-malaikat selalu
merenungkan keindahan Tuhan dan
sama sekali bebas dari
kualitas-kualitas hewan. Jika anda punya sifat-sifat malaikat, maka
berjuanglah untuk mencapai
sifat-sifat asal anda
agar bisa anda
kenali dan renungi Dia Yang
Maha Tinggi, serta
merdeka dari perbudakan
nafsu dan amarah. Juga
mesti anda temukan
sebab-sebab anda diciptakan
dengan kedua insting hewan
ini: mestikah keduanya
menundukkan dan memerangkap anda,
ataukah anda yang mesti
menundukkan mereka dan - dalam
kemajuan anda -
menjadikan salah satu
di antaranya sebagai
kuda tunggangan serta yang lainnya sebagai senjata.
Langkah
pertama menuju pengetahuan tentang diri adalah menyadari bahwa anda terdiri
dari bentuk luar
yang disebut sebagai
jasad, dan wujud
dalam yang disebut sebagai
hati atau ruh.
Yang saya maksudkan
dengan "hati" bukanlah
sepotong daging yang terletak di bagian kiribadan, tetapi sesuatu yang menggunakan
fakultas-fakultas lainnya sebagai
alat dan pelayannya. Pada hakikatnya dia tidak
termasuk dalam dunia kasat-mata, melainkan dunia maya; dia
datang ke dunia
ini sebagai pelancong
yan g mengunjungi suatu negeri
asing untuk keperluan perdagangan dan yang akhirnya akan kembali ke tanah
asalnya. Pengetahuan tentang wujud dan sifat-sifatnya inilah yang merupakan
kunci pengetahuan tentang Tuhan.
Beberapa gagasan
tentang hakikat hati
atau ruh bisa
diperoleh seseorang yang mengatupkan
matanya dan melupakan
segala sesuatu di
sekitarnya selain
individualitasnya. Dengan demikian,
ia juga akan
memperoleh penglihatan sekilas akan
sifat tak berujung
dari individualitas itu.
Meskipun demikian,
pemeriksaan yang terlalu
dekat kepada esensi
ruh dilarang oleh syariat. Di dalam al-Qur'an tertulis: "Mereka
bertanya kepadamu tentang ruh. Katakan:
Ruh itu adalah urusan
Tuhanku." (QS 17:85). Yang
bisa diketahui adalah bahwa ia
merupakan suatu esensi
tak terpisahkan yang
termasuk dalam dunia titah,
dan bahwa ia
tidak berasal dari
sesuatu yang abadi, melainkan diciptakan. Pengetahuan
filosofis yang tepat tentang ruh bukanlah merupakan pendahuluan yang perlu
untuk perjalanan diatas lintasan agama, melainkan muncul lebih sebagai akibat
disiplin-diri dan kesabaran berada di
atas lintasan itu,
sebagaimana dikatakan dalam
al-Qur'an: "Siapa yang berjuang di jalan Kami, pasti akan Kami
tunjukkan padanya jalan yang lurus." (QS 29:69).
Untuk melanjutkan
peperangan ruhaniah demi
mendapatkan pengetahuan tentang
diri dan tentang
Tuhan, jasad bisa
digambarkan sebagai suatu kerajaan, jiwa
(ruh) sebagai rajanya
serta berbagai indera
dan fakultas lain sebagai tentaranya. Nalar bisa disebut
sebagai wazir atau perdana menteri, nafsu sebagai pemungut pajak dan amarah
sebagai petugas polisi. Dengan
berpura-pura mengumpulkan pajak,
nafsu terus-menerus cenderung
untuk merampas demi kepentingannya sendiri, sementara amarah selalu cenderung
kepada kekasaran dan
kekerasan. Pemungut pajak
dan petugas polisi keduanya harus selalu ditempatkan di
bawah raja, tetapi tidak dibunuh atau diungguli, mengingat
mereka memiliki fungsi-fungsi
tersendiri yang harus dipenuhinya. Tapi jika nafsu
dan amarah menguasai
nalar, maka -
tak bisa tidak - keruntuhan jiwa
pasti terjadi. Jiwa yang membiarkan fakultas-fakultas yang lebih rendah untuk
menguasai yang lebih tinggi ibarat
seseorang yang menyerahkan seorang bidadari
kepada kekuasaan seekor
anjing, atau seorang muslim
kepada tirani seorang kafir.
Penanaman kualitas-kualitas setan,
hewan ataupun malaikat
menghasilkan watak-watak yang sesuai dengan kualitas tersebut – yang di
Hari Perhitungan akan diwujudkan dalam bentuk kasat-mata, seperti nafsu sebagai
babi, ganas sebagai anjing dan serigala, serta suci sebagai malaikat. Tujuan
disiplin moral adalah untuk memurnikan
hati dari karat-nafsu
dan amarah, sehingga bagaikan cermin yan gjernih, ia
memantulkan cahaya Tuhan.
Barangkali di
antara pembaca ada
yang akan berkeberatan,
"Tapi jika manusia telah
diciptakan dengan kualitas-kualitas hewan, setan dan malaikat, bagaimana bisa
kita ketahui bahwa
kualitas malaikat merupakan
esensinya yang sebenarnya, sementara kualitas hewan dan setan hanyalah aksidental dan peralihan
belaka?" Atas pertanyaan
ini, saya jawab
bahwa esensi tiap makhluk
adalah sesuatu yang
tertinggi di dalam
dirinya dan khas baginya. Kuda
dan keledai kedua-duanya
adalah hewan pengangkut
beban, tetapi kuda lebih
unggul dari keledai
karena ia dimanfaatkan
untuk perang. Jika gagal dalam hal ini, ia pun terpuruk ke
tingkatan binatang pengangkut beban. Fakultas
tertinggi di dalamnya
adalah nalar yang
menjadikannya bisa merenung tentang
Tuhan. Jika fakultas
ini dominan dalam
dirinya, maka ketika mati
dia tinggalkan di
belakangnya segenap kecenderungan
kepada nafsu dan amarah,
sehingga memungkinkannya berkawan
dengan para malaikat. Dalam
hal pemilikan kualitas-kualitas hewan,
manusia kalah dibanding banyak
hewan, tetapi nalar membuatnya lebih unggul dari mereka, sebagaimana tertulis
di dalam al-Qur'an:
"Telah Kami tundukkan
segala sesuatu di atas bumi untuk manusia" (QS 45:13). Tetapi
jika kecenderungan-kecenderungannya
yang lebih rendah
yang menang, maka
setelah kematiannya, dia akan
selamanya menghadap ke
bumi dan mendambakan kesenangan-kesenangan duniawi.
Selanjutnya, jiwa
rasional di dalam
manusia penuh dengan
keajaiban - keajaiban pengetahuan
maupun kekuatan. Dengan itu semua ia
menguasai seni dan sains,
ia bisa menempuh
jarak dari bumi
ke langit bolak-balik secepat kilat,
dan mampu mengatur
lelangit dan mengukur jarak
antar bintang. Dengan itu
juga ia bisa
menangkap ikan dari lautan
dan burung-burung dari udara,
serta bisa menundukkan binatang-binatang seperti gajah, unta dan kuda.
Panca
inderanya bagaikan lima pintu yang terbuka menghadap ke dunia luar. Tetapi
ajaib dari semuanya ini, hatinya memiliki jendela yang terbuka ke arah
dunia ruh yang
tak kasat-mata. Dalam
keadaan tertidur, ketika
saluran inderanya tertutup, jendela
ini terbuka dan
ia menerima kesan-kesan
dari dunia tak kasat mata; kadang-kadang bisa ia dapatkan isyarat
tentang masa depan. Hatinya bagaikan sebuah cermin yang memantulkan segala
sesuatu yang tergambar di dalam Lauhul-mahfuzh. Tapi, bahkan dalam keadaan
tidur, pikiran-pikiran akan segala
sesuatu yang bersifat
keduniaan akan memburamkan cermin
ini, sehingga kesan-kesan
yang diterimanya tidak jelas.
Meskipun demikian setelah
mati pikiran-pikiran seperti
itu sirna dan segala sesuatu tampak dalam
hakikat-telanjangnya. Dan kata-kata di dalam al-Qur'an pun
menyatakan: "Telah Kami
angkat tirai darimu
dan hari ini penglihatanmu amat tajam."
Membuka sebuah
jendela di dalam
hati yang mengarah
kepada yang tak kasat mata ini
juga terjadi di dalam keadaan-keadaan yang mendekati ilham kenabian, yakni
ketika intuisi timbul
di dalam pikiran,
tak terbawa lewat saluran-indera apa pun. Makin seseorang
memurnikan dirinya dari syahwat-syahwat
badani dan memusatkan
pikirannya pada Tuhan,
akan makin pekalah ia
terhadap intuisi-intuisi seperti
itu. Orang-orang yang
tidak sadar akan hal ini tidak
punya hak untuk menyangkal hakikatnya.
Intuisi-intuisi seperti
itu tidak pula
terbatas hanya pada
tingkatan kenabian saja.
Sebagaimana juga besi, dengan memolesnya secukupnya, ia akan bisa
dijelmakan menjadi sebuah
cermin. Jadi, dengan
disiplin yang memadai, pikiran siapa
pun bisa dijadikan
mampu menerima kesan-kesan
seperti itu. Kebenaran inilah
yang diisyaratkan oleh
Nabi ketika beliau berkata: "Setiap anak lahir dengan suatu fitrah
(untuk menjadi muslim); orang tuanyalah
yang kemudian membuatnya menjadi seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi."
Setiap manusia, di kedalaman
kesadarannya, mendengar pertanyaan
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" dan
menjawab "Ya". Tetapi
ada hati yang menyerupai cermin yang telah sedemikian
dikotori oleh karat dan kotoran sehingga tidak lagi memberikan
pantulan-pantulan yang jernih. Sementara hati para nabi dan wali, meskipun
mereka juga mempunyai
nafsu seperti kita,
sangat peka terhadap segenap
kesan-kesan ilahiah.
Bukan hanya
dengan nalar pengetahuan
capaian dan intuitif
saja jiwa manusia bisa menempati
tingkatan palin gutama di antara makhluk-makhluk lain, tetapi
juga dengan nalar
kekuatan. Sebagaimana
malaikat-malaikat berkuasa atas kekuatan-kekuatan alam,
demikian jugalah jiwa
mengatur anggota-anggota badan. Jiwa yang telah mencapai suatu tingkatan kekuatan khusus, tidak
saja mengatur jasadnya
sendiri, melainkan juga jasad orang lain. Jika mereka ingin agar seseorang
yang sakit bisa sembuh, maka si sakit pun akan sembuh, atau menginginkan
seseorang yang sehat agar jatuh sakit, maka
sakitlah orang itu,
atau jika ia
inginkan kehadiran seseorang,
maka datanglah orang itu
kepadanya. Sesuai dengan
baik-buruknya akibat yang ditimbulkan oleh jiwa
yang sangat kuat ini,
hal tersebut diistilahkan sebagai mukjizat dan sihir. Jiwa
ini berbeda dari orang biasa dalam tiga hal:
1. Yang hanya dilihat oleh
orang-orang lain sebagaimimpi, mereka lihat pada saat-saat jaga.
2. Sementara kehendak
orang lain hanya
mempengaruhi jasad mereka saja, jiwa ini, dengan kekuatan
kehendaknya, bisa pula menggerakan jasad-jasad di luar mereka.
3. Pengetahuan yang
oleh orang lain
diperoleh dengan belajar
secara sungguh-sungguh, sampai kepada mereka lewat intuisi.
Tentunya
bukan hanya tiga tanda ini sajalah yang membedakan mereka dari orang-orang biasa,
tetapi hanya ketiganya
itulah yang bisa
kita ketahui. Sebagaimana halnya,
tidak ada sesuatu
pun yang mengetahui
sifat-sifat Tuhan yang
sebenarnya, kecuali Tuhan sendiri, maka
tak ada seorang
pun yang mengetahui sifat sebenarnya seorang Nabi, kecuali seorang Nabi.
Hal ini tak perlu kita herankan, sama halnya dengan di dalam peristiwa
sehari-hari kita melihat kemustahilan
untuk menerangkan keindahan
puisi pada seseorang yang telinganya kebal
terhadap irama, atau
menjelaskan keindahan warna kepada
seseorang yang sama
sekali buta. Di samping
ketidakmampuan, ada juga
hambatan-hambatan lain di
dalam pencapaian kebenaran ruhaniah.
Salah satu di
antaranya adalah pengetahuan
yang dicapai secara eksternal.
Sebagai misal, hati
bisa digambarkan sebagai sumur
dan pancaindera sebagai
lima aliran yang
dengan terus-menerus membawa air
ke dalamnya. Agar
bisa menemukan kandungan
hati yang sebenarnya, maka aliran-aliran
ini mesti dihentikan untuk sesaat dengan cara apa pun dan sampah yang dibawa
bersamanya mesti dibersihkan dari sumur itu.
Dengan kata lain,
jika kita ingin
sampai kepada kebenaran
ruhani yang murni, pada saat itu
mesti kita buang pengetahuan yang telah dicapai dengan proses-proses eksternal
dan yang sering sekali mengeras menjadi prasangka dogmatis.
Kesalahan dari
jenis lain, berlawanan
dengan itu, dibuat
oleh orang-orang yang dangkal
yang - dengan
menggemakan beberapa ungkapan
yang mereka tangkap dari guru-guru Sufi - ke sana ke mari menyebarkan
kutukan terhadap semua pengetahuan.
Ia bagaikan seseorang
yang tidak capak
di bidang kimia menyebarkan
ucapan: "Kimia lebih
baik dari emas,"
dan menolak emas ketika
ditawarkan kepadanya. Kimia
memang lebih baik dari emas, tapi para ahli kimia sejati
amatlah langka, demikian pula Sufi-sufi sejati. Seseorang yang hanya memiliki
pengetahuan yang dangkal tentang tasawuf, tidak lebih unggul daripada seorang
yang terpelajar. Demikian pula seseorang yang
baru mencoba beberapa
percobaan kimia, tidak
punya alasan untuk merendahkan seorang kaya.
Setiap
orang yang mengkaji persoalan ini akan melihat bahwa kebahagiaan memang
terkaitkan dengan pengetahuan tentang Tuhan. Tiap fakultas dalam diri kita
senang dengan segala sesuatu yang untuknya ia diciptakan. Syahwat senang
memuasi nafsu, kemarahan senang membalas dendam, mata senang melihat
obyek-obyek yang indah, dan telinga senang mendengar suara-suara yang selaras.
Fungsi tertinggi jiwa
manusia adalah pencerapan
kebenaran, karena itu dalam mencerap kebenaran tersebut ia mendapatkan
kesenangan tersendiri. Bahkan soal-soal
remeh, seperti mempelajari
catur, juga mengandung kebaikan.
Dan makin tinggi
materi subyek pengetahuan didapatnya, makin
besarlah kesenangannya. Seseorang
akan senang jika dipercayai untuk
jabatan Perdana Menteri, tetapi betapa
lebih senangnya ia jika sang raja sedemikian akrab dengannya sehingga
membukakan soal-soal rahasia baginya.
Seorang ahli
astronomi yang dengan
pengetahuan-nya bisa memetakan bintang-bintang dan menguraikan
lintasan-lintasannya, mereguk lebih banyak kenikmatan dari
pengetahuannya dibanding seorang
pemain catur. Setelah mengetahui bahwa tak ada sesuatu yang
lebih tinggi dari Allah, maka betapa akan besarnya kebahagiaan yang memancar
dari pengetahuan sejati tentangNya itu!
Orang
yang telah kehilangan keinginan akan pengetahuan seperti ini adalah bagaikan
seorang yang telah kehilangan seleranya terhadap makanan sehat, atau yang
untuk hidupnya lebih
menyukai makan lempung
daripada roti. Semua nafsu
badani musnah pada
saat kematian bersamaan dengan kematian organ-organ yang
biasa diperalat nafsu-nafsu tersebut. Tetapi
jiwa tidak. Ia simpan segala pengetahuan tentang Tuhan yang dimilikinya, malah
menambahnya.
Suatu
bagian penting dari pengetahuan kita tentang Tuhan timbul dari kajian dan renungan
atas jasad kita
sendiri yang menampakkan
pada kita kebijaksanaan, kekuasaan,
serta cinta Sang
Pencipta. Dengan kekuasanNya,
Ia bangun kerangka
tubuh manusia yang
luar biasa dari
hanya suatu tetesan belaka.
Kebijakan-Nya terungkapkan di
dalam kerumitan jasad
kita serta kemampuan bagian-bagiannya untuk
saling menyesuaikan, Ia perlihatkan cinta-Nya
dengan memberikan lebih
dari sekadar organ-organ yang memang mutlak perlu bagi
eksistensi - seperti hati,jantung dan otak - tetapi juga
yang tidak mutlak
perlu - seperti
tangan, kaki, lidan
dan mata. Kepada semuanya ini
telah Ia tambahkan sebagai hiasan hitamnya rambut, merahnya bibir dan
melengkungnya bulu mata.
Manusia dengan
tepat disebut sebagi
'alamushshaghir' atau jasad-kecil
di dalam dirinya. Struktur
jasadnya mesti dipelajari,
bukan hanya oleh
orangorang yang ingin
menjadi dokter, tetapi
juga oleh orang-orang
yang ingin mencapai pengetahuan
yang lebih dalam tentang Tuhan, sebagaimana studi yang mendalam tentang
keindahan dan corak bahasa di dalam sebuah puisi yang agung akan mengungkapkan
pada kita lebih banyak tentang kejeniusan pengarangnya.
Di atas
semua itu, pengetahuan tentang jiwa memainkan peranan yang lebih penting dalam
membimbing ke arah pengetahuan tentang Tuhan ketimbang pengetauhan tentan
gjasad kita dan
fungsi-fungsinya. Jasad bisa diperbandingkan dengan seekor kuda
dengan jiwa sebagai penunggangnya. Jasad diciptakan untuk jiwa dan jiwa untuk
jasad. Jika seorang manusia tidak mengetahui
jiwanya sendiri -
yang merupakan sesuatu
yang paling dekat dengannya - maka apa arti klaimnya
bahwa ia telah mengetahui hal-hal lain. Kalau
demikian, ia bagaikan
seorang pengemis yang
tidak memiliki persediaan
makanan, lalu mengklaim bisa memberi makan seluruh penduduk kota.
Dalam
bab ini kita telah berusaha sampai tingkat tertentu untuk memaparkan
kebesaran jiwa manusia.
Seseorang yang mengabaikannya dan
menodai kapasitasnya dengan karat atau memerosotkannya, pasti menjadi
pihak yang kalah di dunia
ini dan di
dunia mendatang. Kebesaran
manusia yang sebenarnya terletak
pada kapasitasnya untuk
terus-menerus meraih kemajuan.
Jika tidak, di dalam ruang temporal ini, ia
akan menjadi makhluk yang
paling lemah di
antara segalanya -
takluk oleh kelaparan,
kehausan, panas, dingin dan
penderitaan. Sesuatu yang
paling ia senangi
sering merupakan sesuatu yang
paling berbahaya baginya.
Dan sesuatu yang menguntungkannya tidak
bisa ia peroleh
kecuali dengan kesusahan
dan kesulitan. Mengenai inteleknya, sekadar suatu kekacauan kecil saja
di dalam otaknya sudah cukup
untuk memusnahkan atau
membuatnya gila. Sedangkan
mengenai kekuatannya, sekadar sengatan tawon saja sudah bisa mengganggu rasa santai
dan tidurnya. Mengenai
tabiatnya, dia sudah akan gelisah hanya
dengan kehilangan satu
rupiah saja. Dan tentang kecantikannya, ia
hanya sedikit lebih
cantik daripada benda-benda memuakkan yang diselubungi dengan
kulit halus. Jika tidak sering dicuci, ia akan menjadi sangat menjijikkan dan
memalukan.
Sebenarnyalah
manusia di dunia ini sungguh amat lemah dan hina. Hanya di dalam kehidupan
yang akan datang
sajalah ia akan
mempunyai nilai, jika dengan sarana "kimia kebahagiaan"
tersebut ia meningkat dari tingkat hewan ke
tingkat malaikat. Jika
tidak, maka keadaannya
akan menjadi lebih
buruk dari orang-orang biadab yang pasti musnah dan menjadi debu. Perlu
baginya untuk - bersamaan
dengan timbulnya kesadaran
akan keunggulannya sebagai makhluk
terbaik - belajar
mengetahui juga ketidak-berdayaannya, karena hal ini juga
merupakan salah satu kunci kepada
pengetahuan tentang Tuhan.
2
Pengetahuan
Tentang Tuhan
Sebuah hadits
Nabi (SAW) yang
terkenal berbunyi "Dia yang mengenal dirinya, mengenal
Allah." Artinya, dengan
merenungkan wujud dan
sifat-sifatNya, manusia sampai pada sebagian pengetahuan tentang Tuhan.
Tetapi karena banyak orang yang merenungkan dirinya tidak juga menemui Tuhan,
berarti bahwa tentulah ada cara-cara tersendiri untuk melakukan hal tersebut.
Kenyataannya, ada dua
metode untuk bisa
sampai pada pengetahuan
ini. Salah satu di
antaranya sedemikian musykil
sehingga tidak bisa
dicerna dengan kecerdasan biasa dan karenanya lebih baik tidak
dijelaskan.
Metode
yang lain adalah sebagai berikut. Jika seorang manusia merenungkan dirinya, ia
akan tahu bahwa sebelumnya ia tidak ada, sebagaimana tertulis di dalam
al-Qur'an: "Tidakkah manusia tahu bahwa sebelumnya ia bukan
apa-apa?" Selanjutnya ia ketahui
bahwa ia terbuat dari satu tetes
air yang tidak mengandung intelek, pendengaran, kepala, tangan, kaki dan
sebagainya. Dari sini jelaslah bahwa,
setinggi apa pun
tingkat kesempurnaannya, ia
tidak menciptakan dirinya dan
tidak pula ia
mampu mencipta seutas
rambut sekalipun.
Betapa
sangat tak berdayanya ia pada waktu ia baru hanya berupa setetes air itu! Jadi,
sebagaimana telah kita
lihat pada bab
pertama (Pengetahuan Tentang Diri
- pen.), dia dapati pada wujudnya sendiri terpantulkan sebagai, katakanlah, suatu
miniatur kekuasaan, kebijakan
dan cinta Sang
Pencipta. Jika semu orang
pandai dari seluruh
dunia dikumpulkan dan
hidup mereka diperpanjang sampai
waktu yang tidak
terbatas, tidak akan
bisa mereka hasilkan perbaikan apa
pun atas bangun satu bagian saja dari jasad manusia.
Misalnya, pada
penyesuaian geligi depan
dan samping pada
pengunyahan makanan, serta pada
bangun lidah, kelenjar-kelenjar air
liur dan kerongkongan untuk
penelanannya, kita dapati peralatan-peralatan yang tidak bisa dibuat
lebih baik lagi.
Demikian pula seseorang
yang merenungkan tangan dengan
lima jari-jarinya yang tidak sama panjang - empat di antaranya dengan tiga
persendian dan jempol
yang hanya mempunyai
dua - serta dengan
cara bagaimana ia
bisa dipergunakan untuk
mencekal, menjinjing atau
memukul, secara terus terang akan mengakui bahwa tidak akan mungkin kebijakan
manusia bisa membuatnya lebih baik lagi dengan mengubah jumlah dan aturan
jari-jari tersebut, atau dengan jalan lain apa pun.
Jika seorang
manusia lebih lanjut
memikirkan bagaimana beragam keinginannya akan
makanan, penginapan dan
lain sebagainya,
pemenuhannya begitu banyak
disodorkan dari gudang
penciptaan, ia pun menjadi sadar bahwa rahmat Allah adalah
sebesar kekuasaan dan kebijakanNya,
sebagaimaan Ia sendiri
berkata: "Rahmat-Ku lebih luas
dari kutukanKu." Dan
menurut hadits Nabi
(SAW), Allah lebih
lembut penciptaan dirinya sendiri, manusia
menjadi tahu akan
kemaujudan Tuhan. Dari
kerangka tubuhnya yang menakjubkan ia mengetahui kekuasaan dan
kebijakkan Allah. Dan lewat karunia yang berlimpah untuk memenuhi berbagai
kebutuhannya, ia mengetahui kecintaan
Allah. Dengan cara
ini pengetahuan tentang
diri menjadi kunci bagi pengetahuan tentang Allah.
Bukan saja
sifat-sifat manusia merupakan
suatu pantulan sifat-sifat Tuhan, tetapi
bentuk kemaujudan jiwa
manusia pun menghasilkan suatu wawasan tentang bentuk
kemaujudan Allah. Dengan
demikian bisa dikatakan
bahwa Allah dan jiwa
kedua-duanya tidak terbatasi
oleh ruang dan waktu,
serta berada di luar pengelompokan-pengelompokan jumlah dan kualitas.
Demikian pula gagasan-gagasan tentang
bentuk, warna atau
ukuran tidak bisa
pula dihubungkan dengan keduanya.
Orang mengalami kesulitan
untuk membentuk suatu konsepsi
tentang hakikat semacam
itu yang hampa kualitas, jumlah,
dan sebagainya, padahal
kesulitan yang sama terkaitkan pula dengan konsepsi tentang
perasaan kita sehari-hari, seperti marah, sakit, senang atau cinta. Semuanya
itu adalah konsep-konsep pikiran dan tidak bisa dimengerti oleh
indera, sementara kualitas,
jumlah dan lain sebagainya adalah konsep-konsep
indera. Sebagaimana telinga
tidak bisa mengenali warna, tidak
pula mata bisa
mengenali suara; dalam
ketidakmampuan kita
membayangkan hakikat-hakikat puncak,
yaitu Allah dan
ruh, kita dapati
diri kita berada di dalam suatu wilayah di mana konsep-konsep indera
tidak bisa ambil bagian. Meskipun demikian, sebagaimana bisa kita lihat, Allah
adalah pengatur jagat dan Ia - yang berada di luar ruang dan waktu, kuantitas
dan kualitas - mengatur
apa-apa yang sedemikian
terkondisikan. Begitu pulalah ruh mengatur jasad dan
anggota-anggotanya dalam keadaan ia sendiri tidak kasat-mata, tidak
terbagi-bagi dan tidak tertempatkan di
suatu bagian khusus mana pun. Karena,
bagaimana bisa sesuatu
yang tidak terbagi-bagi tertempatkan di dalam sesuatu
yang bisa tergagi-bagi. Dari semuanya ini bisa kita lihat betapa benarnya
hadits Nabi (SAW): "Allah
menciptakan manusia di dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri."
Dan setelah
kita sampai pada
sebagian pengetahuan tentang
esensi dari sifat-sifat Allah lewat
perenungan akan esensi dan sifat-sifat ruh, maka akan bisa kita
pahami metode kerja,
pengaturan dan pendelegasian
kekuasaan Allah kepada kekuatan-kekuatan kemalaikatan dan sebagainya,
yaitu dengan jalan mengamati bagaimana masing-masing kita mengatur kerajaan-kerajaan kecilnya sendiri. Sebagai
contoh sederhana, misalkan seorang manusia ingin menulis nama Allah. Pertama
sekali keinginan ini terbetik di dalam hati, baru kemudian dibawa ke otak oleh
ruh-ruh vital. Bentuk kata
"Allah" tergambar di dalam
relung-relung otak, kemudian
berjalan sepanjang saluran
syaraf dan menggerakkan jari-jari
yang pada gilirannya
menggerakkan pena. Dengan demikian nama
"Allah"
terguratkan di atas
kertas tepat sebagaimana dibayangkan di
dalam otak penulisnya.
Demikian pula, jika
Allah menghendaki sesuatu, maka
sesuatu itu tampil
di dalam dataran
ruhaniah yang di dalam
al-Qur'an disebut sebagai
"Singgasana"
(al-'arsy). Dari singgasana itu
ia berlalu lewat suatu arus spiritual ke arah suatu dataran yang lebih rendah
yang disebut kursi (al-kursiy), kemudian bentuknya tampil dalam
al-lauh 'al-mahfuzh yang,
dengan perantaraan kekuatan-kekuatan yang disebut sebagai
"malaikat-malaikat", mewujud dan tampildi atas bumi dalam bentuk tetanaman,
pepohonan dan hewan-hewan,
sebagai pencerminan
keinginan dan pikiran
Allah, sebagaimana huruf-huruf yang tertulis mencerminkan keinginan yang terbetik
di dalam hati dan bentuk yang hadir di dalam otak sang penulis.
Tidak
seorang pun bisa memahami seorang raja kecuali seorang raja. Karena itu Tuhan
telah menjadikan masing-masing kita sebagai,
katakanlah, seorang raja dalam miniatur,
atas suatu kerajaan
yang merupakan tiruan
dari kerajaan-Nya yang telah disusutkan secara tidak terbatas. Di dalam
kerajaan manusia, singgasana Allah
dicerminkan oleh ruh,
malaikat (Jibril) oleh
hati, kursy oleh otak dan lauhul-mahfuzh oleh ruang-gudang pikiran. Jiwa
- yang ia sendiri tak tertempatkan dan tak terbagi-bagi - mengatur jasad
sebagaimana Allah mengatur jagad.
Pendeknya, kepada kita diamanatkan
suatu kerajaan kecil, dan kita diwajibkan untuk tidak ceroboh dalam
mengaturnya.
Mengenai pengenalan
tentang bagaimana Allah
memelihara, ada banyak tingkatan pengetahuan.
Ahli fisika biasa,
seperti seekor semut
yang merangkak di atas
selembar kertas dan
mengamati huruf-huruf hitam
yang tersebar di atasnya,
akan menunjukkan "sebab" hanya
kepada pena saja. Seorang astronom, seperti seekor semut
dengan pandangan agak lebih luas, bisa
melihat jari-jari yang
menggerakkan pena. Maksudnya,
ia mengetahui bahwa bintang-bintang berada di
bawah kekuasaan
malaikat-malaikat. Jadi,
sehubungan dengan berbagai tingkat persepsi orang, perdebatan mesti timbul
dalam melacak sebab
dari akibat. Orang-orang
yang matanya tidak
pernah melihat ke balik
dunia-gejala, adalah seperti
orang-orang yang salah menempatkan hamba-hamba dari tingkatan
yang paling rendah ke tingkatan raja. Hukum-hukum tentang gejala mesti tetap
atau, jika tidak, tak akan ada sains
dan sebagainya; tetapi
untuk menempatkan hamba-hamba
sebagai majikan adalah suatu kesalahan besar.
Selama
perbedaan di dalam fakultas perseptif para pengamat ini masih ada,
perdebatan memang mesti
perlu berlanjut. Bagaikan
beberapa orang buta yang mendengar bahwa seekor gajah telah datang ke kotanya,
lantas pergi menyelidikinya.
Pengetahuan yang bisa
mereka peroleh hanyalah lewat indera
perasaan, sehingga ketika
seorang memegang kaki sang
binatang, yang satu lagi
memegang gadingnya dan
yang lain telinganya,
dan, sesuai dengan persepsi
mereka masing-masing, mereka
menyatakannya sebagai suatu
batangan, suatu tabung yang tebal dan suatu lapisan kapas, masing-masing
mengambil sebagian untuk menyatakan
keseluruhannya. Jadi, sang ahli fisika
dan astronomi mengacaukan hukum-hukum yang mereka tangkap dengan Sang
Penetap hukum-hukum. Kesalahan
yang sama dilemparkan kepada Ibrahim di dalam al-Qur'an
yang meriwayatkan bahwa ia berturut-turut berpaling kepada bintang-bintahg, bulan dan matahari sebagai
obyek-obyek penyembahan, sampai kemudian menjadi sadar tentang Dia yang membuat segala sesuatu,
Ibrahim pun berseru: "Saya tidak
menyukai segala sesuatu yang terbenam." (QS 6:76).
Kita
memiliki sebuah contoh yang
sudah umum tentang
pengacuan kepada sebab-sebab kedua apa-apa yang seharusnya diacu kepada
Sebab Pertama, yaitu dalam persoalan
apa yang disebut
sebagai penyakit. Misalnya
jika seseorang kehilangan rasa
tertariknya apda urusan
duniawi, memiliki rasa benci
terhadap kesenangan-kesenangan umum,
dan tampak tenggelam dalam depresi,
dokter akan berkata:
"Ini adalah kasus
melankoli yang membutuhkan resep
ini dan itu." Seorang ahli fisika akan berkata: "Ini adalah persoalan
kekeringan otak yang disebabkan oleh cuaca panas dan tidak bisa
disembuhkan sampai udara
menjadi lembab kembali." Sang ahli
astrologi akan mengaitkan hal ini dengan konjungsi atau oposisi tertentu
planet-planet. "Sejauh
jangkauan kebijakan mereka," kata
al-Qur'an. Tidak terbayangkan oleh mereka
bahwa yang sesungguhnya
terjadi adalah seperti
demikian: bahwa Yang Maha
Kuasa berkehendak mengurus
kesejahteraan orang itu, dan
oleh karenanya telah
memerintahkan hamba-hamba-Nya, yakni
planet-planet atau unsur-unsur, agar menciptakan keadaan seperti itu di
dalam diri orang tersebut, sehingga
ia bisa berpaling
dari dunia ke
arah Penciptanya.
Pengetahuan tentang kenyataan
ini merupakan suatu
mutiara yang berkilauan dari
lautan pengetahuan keilhaman,
yang dibandingkan dengannya,
semua bentuk pengetahuan lain menjadi bagaikan pulau-pulau di tengah laut.
Dokter, ahli
fisika dan ahli
astrologi tersebut, tak
syak lagi memang
benar dalam cabang pengetahuan-khususnya masing-masing, tetapi
mereka tidak bisa melihat
bahwa penyakit itu
adalah, katakanlah, suatu
tali cinta yang digunakanoleh Allah
untuk menarik para
wali mendekat kepada
diri-Nya. Tentang para wali ini Allah berfirman: "Aku sakit
dan kamu tidak menjengukKu."
(ini hanya kiasan-pen). Penyakit itu sendiri adalah salah satu di antara
bentuk-bentuk pengalaman yang menjadi sarana bagi manusia untuk sampai
pada pengetahuan tentang
Allah, sebagaimana Ia
lewat mulut nabi-Nya (SAW): "Penyakit-penyakit itu
sendiri adalah hamba-hamba-Ku, dan dikenakan atas pilihan-Ku."
Catatan-catatan di
atas memungkinkan kita
memasuki lebih dalam
makna seruan-seruan yang melekat
di bibir orang-orang
mukmin: "Subhanallah,
alhamdulillah, la ilaha illallah, allahu akbar." Mengenai yang terakhir,
kita bisa berkata bahwa hal itu tidaklah berarti bahwa Allah lebih besar dari
penciptaan, karena penciptaan adalah
pengejawantahan-Nya,
sebagaimana cahaya adalah pengejawantahan matahari.
Dan akan tidak
benar kalau dikatakan bahwa matahari
lebih besar dari
cahayanya sendiri. Hal
itu lebih berarti bahwa
kebesaran Allah sama
sekali melampaui kemampuan
kognitif dan bahwa kita hanya
bisa membentuk suatu gagasan yang amat kabur dan tidak sempurna tentang-Nya.
Jika seorang anak meminta kita untuk menerangkan padanya kesenangan-kesenangan yang ada di dalam pemilikan kedaulatan, kita
bisa berkata bahwa hal itu adalah seperti kesenangan-kesenangan yang ia rasakan
di dalam bermain-main dengan alat pemukuldan bola, meskipun pada hakikatnya
keduanya tidak memiliki sesuatu yang sama kecuali bahwa keduanya termasuk ke
dalam katagori kesenangan. Jadi, seruan Allahu akbar berarti bahwa
kebesaran-Nya jauh melampaui kemampuan
pemahaman kita. Lagi pula, pengetahuan
tentang Allah yang
tidak sempurna seperti
itu - sebagaimana yang bisa kita
peroleh - bukanlah sekadar suatu pengetahuan spekulatif belaka, tetapi mesti
dibarengi dengan penyerahan dan ibadah. Jika seseorang meninggal dunia, dia
berurusan hanya dengan Allah saja. Dan jika kita harus
hidup bersama seseorang,
kebahagiaan kita sama
sekali tergantung pada tingkat kecintaan yang kita rasakan kepadanya.
Cinta adalah benih kebahagiaan, dan cinta kepada Allah ditumbuhkan dan
dikembangkan oleh ibadah. Ibadan dan zikir yang terus-menerus seperti itu
mengisyaratkan suatu tingkat tertentu
dari keprihatinan dan
pengekangan nafsu-nafsu badaniah.
Hal ini tidak berarti bahwa seseorang diharapkan untuk sama sekali memusnahkan
nafsu-nafsu badaniah itu, karena jika demikian halnya, maka ras manusia
akan musnah. Tetapi
batasan-batasan yang ketat
mesti dikenakan pada usaha
pemuasannya. Dan karena
manusia bukan hakim yang
terbaik dalam kasusnya
sendiri, maka untuk
menetapkan batasan-batasan
apa yang harus
dikenakan itu sebaiknya
ia konsultasikan masalah tersebut kepada
pembimbing-pembimbing
ruhaniah. Pembimbing-pembimbing
ruhaniah seperti itu adalah para nabi. Hukum-hukum yang telah mereka tetapkan
berdasar wahyu Tuhan menentukan batasan-batasan yang mesti ditaati
dalam persoalan-persoalan ini.
Orang yang melanggar
batasbatas ini berarti
"telah menganiaya dirinya
sendiri", sebagaimana tertulis
di dalam al-Qur'an. Meskipun
pernyataan al-Qur'an ini
telah jelas, masih
ada juga orang-orang yang, karena kejahilannya tentang Allah, melanggar
batas-batas tersebut. Kejahilan ini bisa disebabkan karena berbagai sebab.
Pertama, ada orang yang gagal
menemukan Allah lewat pengamatan, lantas menyimpulkan bahwa
Allah itu tidak
ada dan bahwa
dunia yang penuh keajaiban-keajaiban ini menciptakan
dirinya sendiri atau ada dari keabadian. Mereka
bagaikan seseoran gyang
melihat suatu huruf
yang tertulis dengan indah
kemudian menduga bahwa tulisan itu tertulis dengan sendirinya tanpa ada penulisnya,
atau memang sudah
selalu ada. Orang-orang
dengan cara berpikir seamcam ini
sudah terlalu jauh tersesat
sehingga berdebat dengan mereka akan sedikit sekali manfaatnya.
Orang-orang seperti itu mirip seorang ahli fisika dan astronomi yang kita sebut
di atas.
Kedua, sejumlah
orang yang, akibat
kejahilan tentang sifat
jiwa yang sebenarnya, menolak
doktrin kehidupan akhrat, tempat manusia akan diminta
pertanggungjawabannya dan diberi
balasan baik atau
dihukum. Mereka anggap diri
mereka sendiri sebagai
tidak lebih baik
daripada hewan-hewan atau
sayur-sayuran, dan sama-sama bisa musnah.
Ketiga, di
lain pihak, ada
orang yang percaya
pada Allah dan
kehidupan akhirat, tapi hanya
dengan iman yang
lemah. Mereka berkata
kepada diri mereka sendiri.
"Allah itu Maha
Besar dan tidak
tergantung pada kita;
kita beribadah atau tidak merupakan masalah yang sama sekalitidak
penting bagi Dia." Mereka berpikir
seperti orang sakit
yang ketika oleh
dokter diberi peraturan
pengobatan tertentu kemudian berkata: "Yah, saya ikuti atau tidak, apa
urusannya dengan dokter itu." Tentunya hal ini tidak berakibat apa-apa
terhadap dokter tersebut, tetapi pasien itu bisa merusak dirinya sendiri akibat
ketidaktaatannya. Sebagaimana pastinya
penyakit jasad yang
tak terobati berakhir dengan
kematian jasad, begitu
pula penyakit jiwa yang
tak tersembuhkan akan berakhir
dengan kepedihan di
masa datang. Sesuai dengan kata-kata al-Qur'an: "Orang-orang
yang akan diselamatkan hanyalah yang datang kepada Allah dengan hati yang
bersih."
Keempat, adalah
orang-orang kafir yang
berkata: "Syariah mengajarkan kepada kita
untuk menahan amarah,
nafsu dan kemunafikan.
Hal ini jelas tidak mungkin dilaksanakan, mengingat
manusia diciptakan dengan
kualitas-kualitas bawaan seperti
ini di dalam
dirinya. Sama saja
dengan kamu meminta agar kami
jelmakan yang hitam menjadi putih." Orang-orang jahil itu sama sekali buta
akan kenyataan bawha syariah tidak mengajarkan kita untuk mencerabut nafsu-nafsu
ini, melainkan untuk
meletakkan mereka di
dalam batas-batasnya.
Sehingga, dengan menghindar
dari dosa-dosa besar,
kita bisa mendapatkan ampunan
atas dosa-dosa kita
yang lebih kecil. Bahkan, Nabi
saw. berkata: "Saya
adalah manusia seperti
kamu juga, dan
marah seperti yang lain-lain." Dan di dalam al-Qur'an tertulis:
"Allah mencintai orang-orang
yang menahan amarahnya," bukan
orang-orang yang tidak
punya marah sama sekali.
Kelima, adalah kelompok yang
menonjol-nonjolkan kemurahan Allah seraya mengabaikan keadilan-Nya,
kemudian berkata kepada
dirinya sendiri: "Ya, apa
pun yang kita
kerjakan, Allah Maha
Pemaaf." Mereka tidak berpikir bahwa meskipun Allah itu bersifat
pemaaf, beribu-ribu manusia hancur secara menyedihkan karena
kelaparan dan penyakit.
Mereka mengetahui bahwa siapa
saja yang menginginkan
suatu kehidupan, kemakmuran atau kepintaran, tidak boleh
sekadar berkata, "Tuhan Maha
Pemaaf," tetapi mesti berusaha sendiri dengan keras. Meskipun
al-Qur'an berkata: "Semua makhluk hidup
rizkinya datang dari
Allah," di sana
tertulis pula: "Manusia
tidak mendapatkan sesuatu kecuali
dengan berusaha." Kenyataannya
adalah: ajaran semacam itu berasal
dari setan, dan
orang-orang seperti itu hanya berbicara dengan bibirnya, tidak dengan
hatinya.
Keenam, adalah
kelompok yang mengklaim
sebagai telah mencapai
suatu tingkat kesucian tertentu
sehingga dosa tidak
dapat lagi mempengaruhi
mereka. Meski demikian,
jika anda perlakukan
salah seorang di antara mereka
dengan tidak hormat,
dia akan menaruh
dendam terhadap anda selama
bertahun-tahun. Dan jika
salah seorang di
antara mereka tidak mendapatkan sebutir
makanan yang dia
pikir merupakan haknya,
seluruh dunia akan tampak
gelap dan sempit
baginya. Bahkan, jika
ada di antara mereka
benar-benar bisa menaklukkan nafsu-nafsunya, mereka tidak punya hak
untuk membuat klaim semacam itu, mengingat para nabi - jenis manusia yang tertinggi
- terus-menerus mengakui
dan meratapi dosa-dosa mereka. Beberapa di
antara mereka mempunyai
dosa yang sedemikian
besar, sehingga mereka bahkan
menjauhkan diri dari
hal-hal yang halal.
Pernah diriwayatkan dari Nabi
saw. bahwa suatu
hari ketika sebutir
koma dibawa kepadanya, beliau
tidak mau memakannya hanya lantarantidak yakin bahwa korma tersebut
diperoleh secara halal.
Sementara orang-orang yang berkehidupan bebas
ini mau meneguk
berliter-liter anggur dan
mengklaim (saya menggigil pada saat menulis ini) sebagai lebih
unggul dari Nabi yang kesuciannya diancam
oleh sebutir kurma,
sementara mereka tidak terpengaruh oleh
anggur sebanyak itu.
Patutlah jika setan
membenamkan mereka ke dalam
kehancuran total. Orang-orang
suci sejati mengetahui bahwa orang yang tidak bisa
menguasai nafsu-nafsunya tidak pantas disebut sebagai seorang
manusia. Dan bahwa
seorang muslim sejati adalah
orang yang dengan senang
hati mau mengakui
batas-batas yang ditetapkan
oleh syariah. Orang yang
berupaya dengan dalih
apa pun untuk
mengabaikan kewajiban-kewajibannya,
sudah jelas berada
dalam pengaruh setan
dan harus diajak berbicara
tidak dengan sebatang
pena, tapi dengan
sebilah pedang. Para penganut
mistik palsu semacam
ini kadang-kadang berpurapura telah tenggelam di dalam lautan
ketakjuban. Tetapi, jika anda bertanya kepada
mereka tentang apa
yang mereka takjubkan, mereka tidak
tahu. Mereka mesti disuruh agar takjub semau mereka, tetapi pada saat
yang sama agar mengingat bahwa
Yang Maha Kuasa
adalah penciptanya, dan
bahwa mereka adalah abdi-abdi-Nya.
3
Pengetahuan
Tentang Dunia
Dunia ini
adalah sebuah panggung
atau pasar yang
disinggahi oleh para musafir di tengah perjalannya ke tempat
lain. Di sinilah mereka membekali diri dengan
berbagai perbekalan untuk
perjalanan itu. Jelasnya, di sini
manusia dengan menggunakan indera-indera
jasmaniahnya, memperoleh sejumlah pengetahuan tentang
karya-karya Allah serta,
melalui karya-karya tersebut, tentang Allah
sendiri. Suatu pandangan
tentang-Nya akan menentukan kebahagiaan masa-depannya. Untuk
memperoleh pengetahuan inilah
ruh manusia diturunkan ke
alam air dan
lempung ini. Selama
indera-inderanya masih
tinggal bersamanya, dikatakan
bahwa ia berada
di "alam ini". Jika kesemuanya itu
pergi dan hanya
sifat-sifat esensinya saja yang
tinggal, dikatakan ia telah pergi ke "alam lain".
Sementara manusia
berada di dunia
ini ada dua
hal yang perlu
baginya. Pertama,
perlindungan dan pemeliharaan
jiwanya; kedua, perawatan
dan pemeliharaan jasadnya. Pemeliharaan yang tepat atas jiwanya,
sebagaimana ditunjukkan di atas, adalah pengetahuan dan cinta akan Tuhan. Terserap ke dalam kecintaan
akan segala sesuatu
selain Allah berarti
keruntuhan jiwa. Jasad bisa
dikatakan sebagai sekadar hewan tunggangan jiwa dan musnah, sementara jiwa
terus abadi. Jiwa mesti merawat badan persis sebagaimana seorang peziarah,
dalam perjalanannya ke Makkah, merawat ontanya. Tetapi jika sang
peziarah menghabiskan waktunya
untuk memberi makan
dan menghiasi ontanya, kafilah
pun akan meninggalkannya dan ia
akan mati di padang pasir.
Kebutuhan-kebutuhan jasmaniah
manusia itu sederhana
saja, hanya terdiri dari
tiga hal; makanan,
pakaian dan tempat
tinggal. Tetapi nafsu-nafsu jasmaniah yang tertanam di dalam
dirinya dan keinginan untuk memenuhinya cenderung untuk memberontak melawan
nalar yang lebih belakangan tumbuh dari
nafsu-nafsu itu. Sesuai
dengan itu, sebagaimana
kita lihat di
atas, mereka perlu dikekang dan dikendalikan dengan hukum-hukum Tuhan
yang disebarkan oleh para nabi.
Sedangkan mengenai
dunia yang mesti
kita garap, kita
dapati ia terkelompokkan dalam
tiga bagian, hewan, tetumbuhan dan barang tambah. Produk-produk dari
ketiganya terus-menerus dibutuhkan
oleh manusia dan telah mengembangkan
tiga pekerjaan besar;
pekerjaan para penenun, pembangun dan
pekerja logam. Sekali
lagi, semuanya itu
memiliki banyak cabang yang
lebih rendah seperti
penjahit, tukang batu
dan tukang besi.
Tidak ada
daripadanya yang bisa
sama sekali bebas
dari yang lain.
Hal ini menimbulkan berbagai
macam hubungan perdagangan
dan seringkali mengakibatkan kebencian,
iri hari, cemburu
dan lain-lain penyakit
jiwa. Karenanya timbullah pertengkaran
dan perselisihan, kebutuhan
akan pemerintahan politik dan sipil serta ilmu hukum.
Demikianlah,
pekerjaan-pekerjaan dan bisnis-bisnis didunia ini telah menjadi semakin rumit
dan menimbulkan kekacauan.
Sebab utamanya adalah manusia
telah lupa bahwa kebutuhan-kebutuhan
mereka sebenarnya hanya tiga; pakaian, makanan dan tempat tinggal, dan bahwa
kesemuanya itu ada hanya demi menjadikan
jasad sebagai kendaraan
yang layak bagi
jiwa di dalam perjalanannya
menuju dunia berikutnya. Mereka
terjerumus ke dalam kesalahan
yang sama sebagaimana
sang peziarah menuju
Makkah yang, karena melupakan
tujuan ziarah dan dirinya sendiri, terpaksa menghabiskan seluruh waktunya untuk
memberi makan dan menghiasi ontanya. Seseorang pasti akan
terpikat dan terseibukkan
oleh dunia -
yang oleh Rasulullah dikatakan sebagai
tukang sihir yang
lebih kuat daripada Harut dan
Marut - kecuali jika orang
tersebut menyelenggarakan pengawasan yang paling ketat.
Watak penipu
dari dunia ini
bisa mengambil berbagai
bentuk. Pertama, ia berpura-pura seakan-akan
bakal selalu tinggal
dengan anda, sementara nyatanya ia
pelan-pelan menyingkir dari
anda dan menyampaikan
salam perpisahan, sebagaimana suatu
bayangan yang tampaknya tetap, tetapi kenyatannya selalu
bergerak. Demikian pula,
dunia menampilkan dirinya
di balik kedok nenek
sihir yang berseri-seri
tetapi tak bermoral,
berpura-pura mencintai anda, menyayangi
anda dan kemudian
membelot kepada musuh anda, meninggalkan anda mati merana
karena rasa kecewa dan putus asa. Isa
a.s. melihat dunia
terungkapkan dalam bentuk seorang wanita tua
yang buruk muka. Ia
bertanya kepada wanita
itu, berapa banyak
suami yang dipunyainya, dan
mendapat jawaban, jumlahnya
tak terhitung. Ia
bertanya lagi, telah matikah
mereka ataukah diceraikan.
Kata si wanita,
ia telah memenggal mereka
semua. "Saya heran",
kata Isa a.s.,
"atas kepandiran orang yang
melihat apa yang telah kamu kerjakan kepada orang lain, tetapi masih tetap
menginginimu." Wanita sihir ini mematut dirinya dengan pakaian indah-indah
dan penuh permata, menutupi mukanya dengan cadar, kemudian mulai merayu
manusia. Sangat banyak
dari mereka yang
mengikutinya menuju kehancuran diri mereka sendiri. Rasulullah saw.
Bersabda bahwa di Hari Pengadilan, dunia
ini akan tampak
dalam bentuk seorang nenek
sihir yang seram, dengan mata yang hijau dan gigi bertonjolan.
Orang-orang yang melihat mereka akan
berkata, "Ampun! Siapa
ini?" Malaikat pun
akan menjawab, "Inilah dunia yang deminya engkau bertengkar dan berkelahi
serta saling merusakkan kehidupan
satu sama lain."
Kemudian wanita itu
akan dicampakkan ke dalam
neraka sementara dia
menjerit keras-keras, "Oh Tuhan, di
mana pencinta-pencintaku dahulu?"
Tuhan pun kemudian
akan memerintahkan agar mereka juga dilemparkan mengikutinya.
Siapa
pun yang mau secara serius merenung tentang keabadian yang telah lalu, akan
melihat bahwa kehidupan
ini seperti sebuah
perjalanan yang babakannya dicerminkan
oleh tahun, liga-liga
(ukuran jarak, kira-kira
sama dengan tiga mil) oleh bulan, mil-mil oleh hari, danlangkah-langkah
oleh saat. Kemudian, kata-kata apa yang bisa menggambarkan ketololan manusia
yang berupaya untuk menjadikannya tempat tinggal abadi dan membuat rencana-rencana
untuk sepuluh tahun mendatang mengenai apa-apa yang boleh jadi tak pernah
ia butuhkan, karena
sangat mungkin ia
sepuluh hari lagi
sudah berada di bawah tanah.
Orang-orang yang
telah mengumbar diri
tanpa batas dengan
kesenangan-kesenangan dunia ini, pada saat kematiannya akan seperti seseorang yang memenuhi perutnya
dengan bahan makanan
terpilih dan lezat, kemudian memuntahkannya. Kelezatannya
telah hilang, tetapi
ketidak-enakannya tinggal.
Makin berlimpah harta
yang telah mereka
nikmati - taman-taman, budak-budak laki
dan perempuan, emas,
perak dan lain
sebagainya - akan makin
keraslah mereka rasakan
kepahitan berpisah dari
semuanya itu. Kepahitan ini
akan terasa lebih
berat dari kematian, karena jiwa
yang telah menjadikan
ketamakan sebagai suatu
kebiasaan tetap akan
menderita di dunia yang akan
datang akibat kepedihan nafsu-nafsu yang tak terpuasi.
Sifat berbahaya
lainnya dari benda-benda
duniawi adalah bahwa
pada mulanya mereka tampak sebagai sekadar hal-hal sepele, tetapi
hal-hal yang dianggap sepele ini
masing-masing bercabang tak
terhitung banyaknya sampai menelan
seluruh waktu dan
energi manusia. Isa
a.s. bersabda: "Pencinta
dunia ini seperti
seseorang yang minum
air laut; makin
banyak minum, makin hauslah
ia sampai akhirnya
mati akibat kehausan
yang tak terpuasi,"
Rasulullah saw. bersabda: "Engkau tak bisa lagi bercampur dengan dunia
tanpa terkotori olehnya, sebagaimana engkau tak bisa menyelam dalam air tanpa
menjadi basah".
Dunia
ini seperti sebuah meja yang terhampar bagi tamu-tamu yang datang dan pergi
silih berganti. Ada
piring-piring emas dan
perak, makanan dan parfum yang berlimpah-limpah. Tamu yang
bijaksana makan sebanyak yang ia
butuhkan, menghirup harum-haruman, mengucapkan
terima kasih pada tuan
rumah, lalu pergi.
Sebaliknya tamu-tamu yang
tolol mencoba untuk membawa beberapa piring emas dan perak
hanya dengan akibat semua itu direnggutkan
dari tangannya dan ia pun
dicampakkan ke dalam
keadaan kecewa dan malu.
Akan
kita tutup gambaran tentang sifat-menipu dunia dengan tamsil pendek
berikut ini. Misalkan sebuah
kapal akan sampai
pada sebuah pulau
yang berhutan lebat. Kapten kapal berkata kepada para penumpang bahwa ia
akan berhenti selama beberapa
jam di sana,
dan mereka boleh
berjalan-jalan di pantai
sebentar, tetapi memperingatkan mereka agar tidak terlalu lama. Maka para penumpang
pun turun dan
bertebaran ke berbagai
arah. Meskipun demikian, orang
yang paling bijaksana
akan segera kembali,
menemukan bahwa kapal itu
kosong, lalu memilih
tempat yang paling nyaman di dalamnya.
Kelompok penumpang yang
kedua menghabiskan waktu
yang agak lebih lama
di pulau tersebut,
mengagumi dedaunan, pepohonan
dan mendengarkan nyanyian burung-burung. Ketika
kembali ke kapal
mereka temui tempat-tempat yang paling nyaman
di kapal tersebut
telah terisi dan terpaksa
puas dengan tempat
yang agak kurang
nyaman. Kelompok ketiga berjalan-jalan lebih lauh lagi dan
menemukan batu-batu berwarna yang amat indah,
lalu membawanya kembali
ke kapal. Keterlambatan
itu memaksa mereka untuk
mendekam jauh di
bagian paling rendah
kapal itu, tempat mereka
dapati batu-batuan yang
mereka bawa -
yang ketika itu
telah kehilangan segenap keindahannya
- mengganggu mereka
di perjalanan. Kelompok terakhir berjalan-jalan sedemikian jauh sehingga
tak bisa dijangkau lagu oleh suara
kapten kapal yang
memanggil mereka untuk
kembali ke kapal. Sehingga
kapal itu pun
akhirnya terpaksa berlayar
tanpa mereka. Meraka luntang-lantung dalam
keadaan tanpa harapan
dan akhirnya mati kelaparan, atau menjadi mangsa binatang
buas.
Kelompok pertama
mencerminkan orang-orang beriman
yang sama sekali menjauhkan diri
dari dunia, dan
kelompok yang terakhir
adalah kelompok orang kafir
yang hanya mengurusi
dunia ini dan
sama sekali tidak mengacuhkan yang akan datang. Dua
kelompok di antaranya adalah orangorang
yang masih mempunyai
iman, tapi menyibukkan
diri mereka, sedikit atau banyak,
dengan kesia-siaan benda-benda sekarang.
Meskipun
telah kita katakan banyak hal yang menentang dunia, mesti diingat bahwa ada
beberapa hal di dunia ini yang tidak termasuk di dalamnya, seperti ilmu dan
amal baik. Seseorang membawa bersamanya ilmuyang ia miliki ke dunia yang
akan datang dan,
meskipun amal-amal baiknya
telah lampau, efeknya tetap
tinggal dalam pribadinya.
Khususnya dengan ibadah
yang menjadikan orang terus-menerus ingat dan cinta kepada Allah.
Semuanya ini termasuk "hal-hal yang baik", dan sebagaimana
difirmankan dalam al-Quran, "tidak akan hapus."
Ada hal-hal
lainnya yang baik
di dunia ini,
seperti perkawinan, makanan, pakaian dan
lain sebagainya, yang
oleh orang yang
bijaksana digunakan sekadarnya
untuk membantunya mencapai dunia yang akan
datang. Bendabenda lain yang memikat pikiran yang menyebabkan
setiapkepada dunia ini dan ceroboh tentang
dunia lain, adalah
benar-benar kejahatan dan disebutkan oleh
Rasulullah saw. dalam
sabdanya: "Dunia ini
terkutuk dan segala sesuatu yang
terdapat di dalamnya juga terkutuk, kecuali zikir kepada Allah dan segala
sesuatu yang mendukung perbuatan itu."
4
PENGETAHUAN TENTANG AKHIRAT
Berkenaan dengan
nikmat surgawi dan
siksaan-siksaan neraka yang
akan mengikuti kehidupan ini,
semua orang yang
percaya pada al-Qur'an
dan Sunnah sudah cukup
mengetahuinya. Tapi ada
suatu hal yang sering terlewatkan oleh
mereka, yaitu bahwa
ada juga suatu
surga ruhaniah dan neraka ruhaniah. Mengenai surga ruhaniah,
Allah berfirman kepada NabiNya, "Mata
tidak melihat, tidak
pula telinga mendengarnya, tak pernah
pula terlintas dalam hati manusia apa-apa yang disiapkan bagi
orang-orang yang takwa."
Di dalam hati
manusia yang tercerahkan
ada sebuah jendela
yang membuka ke arah hakikat-hakikat dunia ruhaniah, sehingga ia
mengetahui - bukan dari kabar
angin atau kepercayaan
tradisional, melainkan dengan pengalaman nyata - segala sesuatu yang
menyebabkan kerusakan ataupun kebahagiaan
di dalam jiwa,
persis sama jelas
dan tegasnya sebagaimana seorang dokter
mengetahui apa yang
menyebabkan penyakit ataupun
menyehatkan tubuh. Ia
tahu bahwa pengetahuan
tentang Allah dan
ibadah bersifat mengobati, dan bahwa kejahilan dan dosa adalah racun-racun
maut bagi jiwa. Banyak
orang, bahkan juga
yang disebut sebagai
ulama, karena mengikuti secara
membuta pendapat orang lain, tidak mempunyai keyakinan yang sesungguhnya
dalam iman mereka
berkenaan dengan kebahagiaan atau penderitaan jiwa di akhirat.
Tetapi orang yangmau mempelajari masalah ini
dengan pikiran yang
tak terkotori oleh
prasangka akan sampai
pada keyakinan yang jelas tentang masalah ini.
Akibat kematian
atas sifat gabungan
(komposit) manusia adalah
sebagai berikut. Manusia punya dua jiwa, jiwa hewani dan jiwa ruhani. Jiwa ruhani ini bersifat malaikat.
Tempat jiwa hewaniah adalah dalamhati, tempat dari mana jiwa ini menyebar
seperti uap halus dan menyelusupisemua anggota tubuh, memberikan tenaga
atau kemampuan melihat pada mata,
mendengar pada telinga, serta
kepada semua anggota
tubuh memberikan kemampuan untuk
menyelenggarakan fungsi-fungsinya. Hal
ini bisa dibandingkan
dengan sebuah lampu yang
ditempatkan di dalam
suatu pondok yang cahayanya jatuh pada dinding-dinding ke
mana pun ia pergi. Hati adalah sumbu lampu ini, dan jika penyaluran minyaknya
diputus karena suatualasan, maka matilah lampu itu. Seperti itulah kematian
jiwa hewani. Tidak demikian halnya dengan jiwa ruhani atau jiwa manusiawi. Ia
tak terpilahkan dan dengannya manusia mengenali Allah. Boleh dikatakan dialah
pengendara jwa hewani. Dan ketika jiwa
hewani musnah, ia tetap tinggal,
tetapi laksana seorang
penunggang kuda yang telah turun atau seperti seorang
pemburu yan gtelah kehilangan
senjatanya. Kuda dan senjata-senjata itu
dianugerahkan pada jiwa manusia agar dengan itu semua ia bisa
mengejar dan menangkap keabadian cinta dan pengetahuan tantang Allah. Jika ia
telah berhasil melakukan penangkapan itu, maka
bukannya berkeluh kesah,
ia pun merasa
lega ketika bisa menyingkirkan senjata-senjata itu. Oleh
karena itu Rasulullah saw. bersabda, "Kematian adalah
suatu hadiah Tuhan
yang diharap-harapkan oleh
para mukminin." Tapi celakalah kalau jiwa itu kehilangan kuda
dan senjata-senjata pemburuannya
sebelum berhasil memperoleh
hadiah tersebut. Kesedihan dan penyesalannya akan tak terperikan.
Pembahasan
yang agak lebih jauh akan menunjukkan betapa bedanya jiwa manusia dari
jasad dan anggota-anggotanya. Setiap
anggota tubuh bisa rusak dan berhenti bekerja, tapi
individualitas jiwa tak terganggu. Lebih jauh lagi, jasad
yang anda miliki
sekarang tidak lagi
berupa jasad sebagaimana yang anda
miliki pada waktu
kecil, melainkan sudah
berbeda sama sekali. Meskipun demikian, kepribadian anda
sekarang ini sama dengan pada waktu itu. Karena itu, sangat mudahlah untuk
membayangkannya sebagai terus ada bersama-sama sifat-sifat esensialnya yang tak
tergantungpada tubuh, seperti pengetahuan
dan cinta akan Tuhan. Inilah arti ayat
al-Qur'an, "hal-hal yang baik
itu abadi." Tetapi,
jika sebaliknya daripada
membawa pengetahuan bersama anda,
anda malah menyeleweng
dalam kejahilan tentang
Allah. Kejahilan ini juga
merupakan suatu sifat
esensial dan akan
tinggal abadi bagai kegelapan
jiwa dan benih
kesedihan. Oleh karena itu,
al-Qur'an berkata, "Orang yang buta di dalam hidup ini akan buta
di akhirat dan tersesat dari jalan yang lurus."
Alasan
bagi kembalinya ruh manusia yang sedang kita bicarakan ini merujuk ke dunia
yang lebih tinggi adalah bahwa ia berasal dari sana dan bahwa ia bersifat
malaikat. Ia dikirim ke ruang yang lebih rendah ini berlawanan dengan
kehendaknya demi memperoleh pengetahuan dan pengalaman, sebagaimana Allah
berfirman di dalam al-Qur'an, "Turunlah dari sini kamu semuanya, akan
datang padamu perintah-perintah dari-Ku
dan siapa yang
menaatinya tidak perlu takut dan
tak perlu pula mereka gelisah." Ayat: "Aku tiupkan ke dalam
diri manusia ruh-Ku" juga
menunjukkan asal samawi
jiwa manusia. Sebagaimana kesehatan
jiwa hewani adalah
berupa kesimbangan dari bagian-bagian penyusunannya, dan
keseimbangan ini bisa
dipulihkan jika mengalami gangguan,
oleh obat-obat yang
sehat, demikian pulalah kesehatan jiwa
manusia berbentuk suatu
keseimbangan moral yang dipelihara dan
diperbaiki, jika dibutuhkan,
oleh perintah-perintah etis
dan ajaran-ajaran moral.
Berkenaan
dengan kemaujudan dunia di masa yang akan datang, telah kita lihat bahwa jiwa
manusia secara esensial tak tergantung
pada tubuh. Semua keberatan
terhadap kemaujudannya setelah
kematian, didasarkan pada dugaan
adanya keperluan akan
pemulihan jasad terdahulunya
yang telah jatuh ke
tanah. Beberapa ahli
kalam menduga bahwa
jiwa manusia tak termusnahkan setelah
mati, malah terpulihkan.
Tetapi hal ini sesungguhnya bertentangan baik
dengan nalar maupun
al-Qur'an. Yang disebut
terdahulu menunjukkan pada kita
bahwa kematian tidak menghancurkan individualitas esensial seorang manusia dan
al-Qur'an berkata, "Jangan kamu
pikir orangorang yang terbunuh du jalan Allah itu telah mati. Tidak! Mereka
masih hidup, bergembira dengan kehadiran Tuhan mereka dan di dalam limpahan
karunia atas mereka." Tidak satukata pun disebutkan di dalam syariah
tentang orangorang mati, yang
baik maupun jahat,
sebagai termusnahkan. Malah,
Nabi saw. diriwayatkan telah
bertanya kepada arwah
orang-orang kafir yang terbunuh
tentang apakah mereka
mendapati hukuman-hukuman yang diancamkan kepada
mereka sesuatu yang
benar atau tidak.
Ketika para pengikutnya bertanya
kepadanya apa gunanya
bertanya kepada mereka, beliau menjawab:
"Mereka bisa mendengar
kata-kataku lebih baik
daripada engkau."
Beberapa
orang sufi telah dapat menampak dunia dan neraka yang tak kasat mata, diungkapkan
kepada mereka pada
saat-saat mereka berada dalam keadan
kerasukan (trance) seperti
mati. Pada saat
pulihnya kesadaran,
muka-muka mereka menggambarkan
sifat ungkapan-ungkapan yang
telah mereka terima dengan
tanda-tanda kegembiraan yang
luar biasa ataupun kepanikan. Tapi
tidak perlu lagi
visi untuk membuktikan
kepada manusia-manusia yang
berpikir apa-apa yang akan terjadi. Yaitu ketika kematian telah mencabut indera-inderanya dan
meninggalkannya tanpa sesuatu
apa pun kecuali kepribadian
telanjangnya, jika ketika
di atas bumi
ia terlalu asyik menyibukkan dirinya
dengan benda-benda cerapan
indera - seperti isteri, anak,
kekayaan, tanah, budak
laki-laki dan perempuan dan sebagainya - ia
akan menderita ketika kehilangan benda-benda
ini. Sebaliknya, jika ia telah membalikkan punggung
sejauh-jauhnya dari semua
benda-benda duniawi dan
meneguhkan kasih sayangnya yang amat besar terhadap Allah, ia akan
menyambut kematian sebagai
suatu sarana untuk
melarikan diri dari kerepotan-kerepotan duniawi
dan bergabung dengan
Ia yang dicintainya. Dalam kasus ini, sabda Rasul
akan terbukti: "Kematian adalah jembatan yang menyatukan sahabat dengan
sahabat"; "dunia ini surga bagi orang kafir, dan penjara bagi
orang-orang mukmin."
Di pihak
lain, semua derita yang ditanggung oleh jiwa setelah mati bersumber pada cinta
yang berlebih-lebihan terhadap dunia. Rasulullah bersabda bahwa semua orang kafir
setelah mati akan
disiksa oleh 99
ular, masing-masing memiliki 9
kepala. Beberapa orang
yang berpikiran sederhana
telah memeriksa kuburan orang-orang
kafir ini dan
bertanya-tanya mengapa mereka tak
bisa melihat ular-ular ini. Mereka tidak paham bahwa ular-ular ini bersemayam di dalam ruh
orang-orang kafir itu
dan bahwa kesemuanya itu
sudah ada di dalam diri
orang-orang kafir tersebut,
bahkan sebelum ia
mati. Karena semuanya itu
sesungguhnya adalah simbol-simbol sifat jahatnya, seperti cemburu,
kebencian, kemunafikan, kesombongan,
kelicikan dan lain sebagainya. Sifat-sifat
itu semuanya bersumber,
secara langsung maupun tidak, pada kecintaan terhadap dunia
ini. Itulah neraka yang disediakan bagi orang-orang yang
di dlam al-Qur'an
dikatakan "meneguhkan hati
mereka pada dunia ini
lebih daripada akhirat". Jika
ular-ular itu sekadar
bersifat eksternal belaka, mereka
akan bisa berharap
untuk melarikan diri
dari siksanya, meskipun hanya untuk sesaat saja. Tetapi jika semuanya itu
sudah menjadi sifat-sifat bawaan
mereka, bagaimana mereka
bisa melarikan diri?. Ambillah contoh
kasus seseorang yang
menjual seorang budak
perempuan tanpa tahu seberapa
jauh ia telah
terikat dengannya sampai
ketika perempuan itu telah
sama sekali berada
di luar jangkauannya.
Kemudian kecintaan pada budak
itu, yang selama ini tertidur,
bangun di dalam dirinya dengan suatu
intensitas yang menyiksanya,
menyengatnya seperti ular. Ia bisa
gila karenanya, mencapakkan
dirinya ke dalam
api atau air
untuk melarikan diri darinya.
Inilah akibat cinta terhadap
dunia, yang tidak pernah terbayang dalam
diri orang-orang yang
memilikinya sampai ketika
dunia direnggut dari mereka
dan kemudian siksaan
kesia-siaan membuat mereka mau dengan senang hati menukarnya
dengan sekadar ular-ular dan kepiting-kepiting
eksternal belaka, berapa
pun jumlahnya. Karenanya,
setiap orang yang berbuat
dosa membawa perkakas-perkakas hukumannya
sendiri ke dunia di
balik kematian. Benar
kata al-Qur'an: "Sesungguhnya kalian
akan melihat neraka. Kalian
akan melihatnya dengan
mata keyakinan (ainulyaqin)", dan
"neraka mengitari orang-orang
kafir." Ia tidak
berkata akan mengitari mereka,
karena neraka sudah mengitari mereka sekarang juga.
Mungkin ada
orang yang berkeberatan.
Jika demikian halnya,
kemudian siapakah yang bisa
menghindar dari neraka,
karena siapakah orang
yang sedikit banyak tidak terikat
pada dunia dengan berbagai ikatan
kesenangan dan kepentingan. Atas pertanyaan ini kita menjawab bahwa ada
orang-orang, terutama para faqir, yang telah sama sekali melepaskan diri mereka
dari cinta terhadap dunia. Tetapi
bahkan di antara
orang-orang yang memiliki kekayaan-kekayaan duniawi - seperti
isteri, anak, rumah dan lain sebagainya
- masih
ada juga orang-orang
yang, meskipun mereka
memiliki kecintaan terhadap benda-benda
ini, mencintai Allah
lebih dari segalanya.
Kasus mereka adalah seperti seseorang yang, meskipun mempunyai sebuah
tempat tinggal yan gia
cintai di suatu
kota, ketika diminta
oleh sang raja
untuk mengisi suatu pos kekuasaan di kota lain, ia melakukannya dengan
senang hati, karena pos kekuasaan itu
lebih berharga baginya daripada tempat tinggalnya terdahulu. Para nabi dan
banyak di antara para wali adalah orang-orang
seperti itu.
Dalam
jumlah besar, ada pula orang-orang lain yang memiliki kecintaan pada Allah,
tetapi kecintaannya terhadap dunia ini demikianberlebihan dalam diri
mereka sehingga mereka
akan harus menderita
siksaan yang cukup
besar setelah kematian sebelum
mereka sama sekali
terbebaskan daripadanya.
Banyak yang memiliki
kecintaan kepada Allah,
tapi seseorang bisa
dengan mudah menguji dirinya
dengan melihat ke
mana cenderungnya lengan timbangan cintanya ketika
perintah-perintah Allah datang berbenturan dengan beberapa keinginannya.
Pemilikan akan cinta kepada Allah yang tidak cukup menahan seseorang
dari pembangkangan kepada
Allah adalah suatu kebohongan.
Telah kita
lihat di atas
bahwa salah satu
jenis neraka ruhani
itu berbentuk pemisahan secara
paksa dari benda-benda
duniawi yang kepadanya
hati terikat terlalu erat. Banyak orang yang tanpa sadar membawa dalam
dirinya kuman-kuman neraka seperti
itu. Mereka akan
merasa seperti seorang raja yang
setelah menjalani hidup mewah, dicampakkan dari
singgasananya dan menjadi bahan tertawaan.
Jenis
kedua neraka ruhani adalah malu, yaitu ketika seseorang dibangunkan untuk melihat
sifat tindakan-tindakan yang
dulu dilakukannya dalam
hakikat telanjangnya. Orang yang
mengumpat akan melihat
dirinya dalam bentuk seorang kanibal yang makan daging
saudaranya yang telah mati. Orang yang mempunyai sifat iri hati akan tampak
sebagai seseorang yang melemparkan batu-batu
ke dinding, kemudian
batu-batu itu memantul kembali dan mengenai mata anaknya sendiri.
Neraka
jenis ini, yaitu malu, bisa disimpulkan dengan perumpamaan ringkas berikut ini.
Misalkan seorang raja baru
selesai merayakan perkawinan
anak laki-lakinya. Pada malam
harinya, laki-laki muda
itu pergi keluar
dengan beberapa orang sahabat
dan kemudian kembali
ke istana dalam
keadaan mabuk. Ia memasuki sebuah kamar yang terang dan kemudian
berbaring di samping tubuh yang
diduganya sebagai mempelai wanitanya. Pagi harinya, ketika kesadarannya pulih, ia terperanjat ketika mendapati
dirinya berada di dalam sebuah
kamar mayat para
penyembah api. Sofanya
adalah tandu jenazah, dan
bentuk yang disalah-mengertikannya sebagai mempelai perempuannya adalah
mayat seorang wanita
tua yang mulai
membusuk. Ketika keluar dari
kamar mayat dengan pakaian kumuh, betapa malunya
ia ketika ayahnya, sang raja, menghampirinya dengan serombongan tentara.
Itu gambaran perumpamaan tentang rasa
malu yang akan dirasakan di akhirat oleh orang-orang yang dengan
serakah telah memasrahkan diri mereka pada hal-hal yang mereka anggap sebagai
kebahagiaan.
Neraka ruhaniah
ketiga berbentuk kekecewaan
dan kegagalan untuk mencapai obyek
kemaujudan yang sesungguhnya.
Manusia diciptakan dengan maksud
untuk mencermini cahaya
pengetahuan akan Tuhan.
Tapi jika ia sampai
di akhirat dengan
jiwa yang tersaput
tebal oleh karat pengumbaran nafsu inderawi, ia akan
sama sekali gagal untuk memperoleh tujuan
penciptaannya. Kekecewaannya bisa
digambarkan dengan cara berikut.
Misalkan seseorang sedang melewati
sebuah hutan gelap
bersama beberapa orang sahabat. Di sana-sini berkelap-kelip diatas
tanah, bertebaran batu-batu berwarna. Para sahabatnya mengumpulkan dan membawa
benda-benda itu seraya
menasehatinya agar ia
turut melakukan hal
yang sama. "Karena,"
kata mereka, "kami dengar
batu-batu itu akan
memperoleh harga tinggi di tempat
yang akan kita datangi." Tapi orang ini malah menertawakan mereka dan
menyebut mereka sebagai
orang-orang pandir karena
menyimpan harapan sia-sia untuk memperoleh sesuatu, sementara ia sendiri bisa
berjalan bebas tak berbebani. Kemudian mereka pun menjelang terang tanah dan
mendapati bahwa batu-batu yang berwarna-warni itu ternyata batu-batu delima,
Zamrud dan permata-permata lain
yang tak terkira
harganya. Kekecewaan dan penyesalan orang itu, karena tidak mengumpulkan
benda-benda yang sudah berada dalam jangkauannya itu, lebih mudah dibayangkan
daripada diperikan. Seperti itulah jadinya penyesalan orang-orang yang ketika
melalui dunia ini tidak berusaha memperoleh permata-permata kebajikan dan
perbendaharaan-perbendaharaan agama.
Perjalanan manusia
di dunia ini
bisa dikelompokkan dalam
empat tahap - yang
inderawi, eksperimental, instingtif
dan rasional. Dalam tahap
yang pertama ia seperti
seekor rayap yang,
meskipun memiliki
penglihatan, tak punya kemampuan
mengingat dan akan
menghapuskan dirinya terusmenerus pada lilin yang sama. Tahap
kedua, ia seperti seekor anjing yang,
setelah sekali digigit, akan lari ketika melihat sebatang rotan pemukul. Pada
tahap ketiga, ia
seperti seekor kuda
atau domba yang, secara
instingtif, terbang seketika tatkala
melihat seekor macan
atau srigala -
musuh-musuh alaminya - sementara
mereka tak akan
lari jika melihat
seekor onta atau kerbau, meskipun kedua binatang ini
lebih besar ukurannya. Di dalam tahap yang
keempat manusia sama
sekali mengatasi batas-batas
binatang itu sehingga mampu,
sampai batas tertentu,
meramalkan dan mempersiapkan diri bagi masa depan.
Gerakan-gerakannya pada mulanya bisa dibandingkan dengan berjalan
biasa di atas
tanah, kemudian menyeberangi
laut dengan sebuah kapal,
kemudian pada pendaratan
keempat - ketika
ia sudah akrab dengan hakikat-hakikat - berjalan di
atas air. Sementara itu, di balik dataran ini masih ada dataran kelima yang
dikenal oleh para nabi dan wali yang bisa dibandingkan dengan terbang
mengarungi udara.
Jadi manusia
punya kemampuan untuk
dada pada berbagai
dataran yang berbeda, mulai
dari dataran hewaniah
sampai dataran malaikat. Dan
persis dalam hal inilah terletak bahayanya, yaitu dari kemungkinan jatuh
ke dataran yang paling rendah. Di dalam al-Qur'an tertulis, "Telah Kami
tawarkan (yaitu tanggung jawab atau
kehendak bebas) kepada
lelangit dan bumi
serta gunung-gunung; mereka menolak
untuk menanggungnya. Tetapi
manusia mau mananggungnya. Sesungguhnya manusia itu bodoh." Tidak
hewan tidak pula malaikat bisa
mengubah tingkat dan
tempat ia ditempatkan.
Tetapi seseorang bisa tenggelamke
dataran hewaniah atau
terbang ke dataran malaikat, dan inilah arti dari
"penanggungan beban"sebagaimana disebutkan di atas oleh al-Qur'an.
Sebagian besar manusia memilih untuk berada di dua tahap terndah
tersebut di atas,
dan yang tetap
tinggal biasanya selalu bersikap bermusuhan
dengan orang yang
bepergian atau musafir
yang jumlahnya jauh lebih sedikit.
Banyak orang
dari kelas yang
disebut terdahulu, karena
tidak memiliki keyakinan yang
teguh tentang dunia yang akan datang, ketika dikuasai oleh nafsu-nafsu inderawi,
menolaknya sama sekali.
Mereka berkata bahwa neraka
adalah suatu temuan
para ahli ilmu
kalam belaka untuk
menakutnakuti orang. Mereka memandang para ahli ilmu kalam dengan
penghinaan terbuka. Berbdebat dengan orang-orang seperti ini sedikit sekali
manfaatnya. Meskipun demikian, ada
yang bisa dikatakan
pada orang yang
seperti ini yang mungkin
bisa membuatnya berhenti
dan merenung. "Benarkah anda sungguh-sungguh berpikir bahwa 124.000
nabi dan wali yang percaya pada
kehidupan masa akan datang semuanya salah dan anda, yang menolaknya,
benar?" Jika ia menjawab, "Ya," saya sedemikian yakin - sebagaimana saya yakin bahwa dua lebih besar
daripada satu - bahwasanya jiwa dan kehidupan masa depan
dalam bentuk kebahagiaan
maupun hukuman itu tidak
ada, maka manusia seperti
itu sudah tidak
mempunyai harapan lagi. Yang
bisa diperbuat hanyalah meninggalkannya sendiri sembari mengingat
kata-kata alQur'an, "Meskipun kau peringatkan mereka, mereka tak akan
ingat."
Tetapi jika
ia berkata bahwa
kehidupan masa depan
adalah suatu
ke-boleh-jadi-an, hanya bahwa
doktrin itu penuh
mengandung keraguan dan misteri, sehingga tidak mungkin untuk
bisa memutuskan benarkah hal itu atau tidak,
maka seseorang bisa
berkata kepadanya, "Jika
demikian, sebaiknya anda
selesaikan baik-baik keraguan itu." Misalkan anda sedang akan makan
makanan, kemudian seseorang berkata kepada anda bahwa seekor ular telah
meludahkan bisa ke dalamnya, maka mungkin sekali anda akan menahan diri
dan lebih baik
menahan kepedihan rasa
lapar daripada memakannya,
meskipun orang yang memberi informasi pada anda mungkin hanya bercanda
atau berbohong belaka.
Atau misalkan anda
sedang sakit dan
seorang penulis syair berkata, "Beri saya satu dirham dan saya akan
menulis sebuah puisi yang bisa
kau ikatkan di lehermu,
yang akan menyembuhkannya dari sakit." Anda
boleh jadi akan
memberikan dirham yang
dimintanya dengan harapan bisa
mendapatkan manfaat jimat
itu. Atau jika
seorang peramal berkata, "Pada saat bulan telah sampai ke suatu
bentuk tertentu, minumlah obat ini
dan itu dan
engkau pun akan
sembuh." Meskipun mungkin
anda sedikir sekali percaya
pada astrologi, kemungkinan
besar anda akan mencoba
juga pengalaman itu
dengan harapan bahwa
orang itu benar. Tidakkah anda berpikir bahwa kebenaran
yang bisa dipercaya juga terdapat dalam
kata-kata nabi, para
wali dan orang-orang
suci, yang menyakinkan orang akan
adanya kehidupan mendatang,
sebagaimana janji seorang penulis jampi-jampi
atau seorang peramal.
Orang berani melakukan perjalanan lewat laut yan gpenuh
resiko demi mengharap suatu keuntungan, maka tidak maukah anda menanggung
sedikir penderitaan di masa sekarang demi kebahagiaan abadi di akhirat?
Sayyidina Ali
Zainal Abidin (Putra
Hesain bin Ali
bin Abi Thalib,
cucu Rasulullah SAW) ketika berdebat dengan seorang kafir pernah
berkata, "Jika anda benar, maka
tidak seoran gpun
di antara kita
yang akan menderita keadaan yang lebih buruk di masa
depan. Tetapi jika kami yang benar, maka kami
akan terhindar dan anda akan menderita." Hal
inidikatakannya bukan karena ia
sendiri berada dalam
keraguan, tetapi hanya demi
menciptakan suatu kesan bagi orang kafir itu. Berdasar semua pembahasan
di atas, dapat disimpulkan bahwa urusan
utama manusia di
dunia ini adalah
untuk mempersiapkan diri bagi dunia yang akan datang. Sekalipun jika ia
ragu-ragu tentang kemaujudan masa depan,
nalar mengajarkan bahwa
ia harus bertindak seakan-akan
hal itu ada
dengan mempertimbangkan akibat
luar biasa yang mungkin
terjadi. Keselamatan atas
orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran Allah.
5
TENTANG MUSIK DAN TARIAN SEBAGAI
PEMBANTU KEHIDUPAN KEAGAMAAN
Hati manusia
diciptakan oleh Yang
Maha Kuasa bagai
sebuah batu api.
Ia mengandung api tersembunyi
yang terpijar oleh
musik dan harmoni
serta menawarkan kegairahan bagi
orang lain, di
samping dirinya. Harmoni-harmoni ini adalah gema dunia
keindahan yang lebih tinggi, yang kita sebut dunia ruh.
Ia mengingatkan manusia
akan hubungannya dengan
dunia tersebut, dan membangkitkan emosi yang sedemikian dalam dan asing
dalam dirinya, sehingga ia
sendiri tak berdaya
untuk menerangkannya. Pengaruh musik dan tarian amat dalam,
menyalakan cinta yang telah tidur di dalam hati - cinta
yang bersifat keduniaan
dan inderawi, ataupun
yang bersifat ketuhanan dan
ruhaniah.
Sesuai
dengan itu, terjadi perdebatan di kalangan ahli teologi mengenai halal dan
haramnya musik dan tarian dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Suatu sekte, Zhahariah,
berpendapat bahwa Allah
sama sekali tak
dapat dibandingkan dengan manusia,
seraya menolak kemungkinan
bahwa manusia bisa benar-benar
merasakan cinta kepada
Allah. Mereka berkata bahwa
manusia hanya bisa
mencinta sesuatu yang
termasuk dalam spesiesnya. Jika
ia "benar-benar" merasakan
sesuatu yang ia
pikir sebagai cinta kepada
Sang Khalik, kata
mereka hal itu
tak lebih daripada
sekadar proyeksi belaka, atau bayang-bayang yang diciptakan oleh
khayalannya, atau suatu pantulan cinta
kepada sesama mahluk.
Musik dan tarian,
menurut mereka, hanya berurusan
dengan cinta kepada
makhluk, dan karenanya haram dalam kegiatan keagamaan.
Jika kita tanya mereka, apakah arti "cinta kepada Allah" yang
diperintahkan oleh syariat, mereka menjawab bahwa hal itu berarti
ketaatan dan ibadah.
Kesalahan ini akan kita
sanggah pada bab yang akan membahas kecintaan kepada
Allah. Saat ini, baiklah kita puaskan diri kita dengan berkata bahwa musik dan
tari tidak memberikan sesuatu yang sebelumnya
tidak ada di
dalam hati, tapi
hanyalah membangunkan emosi yang
tertidur. Oleh karena
itu, menyimpan cinta
kepada Allah di dalam
hati yang diperintahkan oleh syariat itu sama sekali dibolehkan. Malah
ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang memperbesarnya patut dipuji. Di pihak
lain, jika hatinya penuh dengan
nafsu inderawi, musik
dan tarian hanya
akan menambahnya; karena itu,
terlarang baginya. Sementara
itu, jika mendengarkan musik
hanyalah sebagai hiburan
belaka, maka hukumnya mubah. Karena,
sekadar kenyataan bahwa
musik itu menyenangkan
tidak lantas membuatnya haram,
sebagaimana mendengarkan seekor
burung berbunyi; atau melihat rumput hijau dan air mengalir tidak
diharamkan. Watak tak-berdosa dari musik
dan tarian yang
diperlakukan sekadar sebagai hiburan, juga dibenarkan oleh hadis
shahih yang kita terima dari Siti Aisyah
yang meriwayatkan:
Pada
suatu hari raya, beberapa orang Habsyi menari di masjid. Nabi berkata
kepadaku, "Inginkah engkau
melihatnya?" Aku jawab,
"Ya".
Lantas aku diangkatnya dengan
tangannya sendiri yang
dirahmati, dan aku menikmati pertunjukan itu
sedemikian lama, sehingga
lebih dari sekali beilau
berkata, "Belum cukupkah?"
Hadis
lain dari Siti Aisyah adalah sebagai berikut:
Pada suatu
hari raya, dua
orang gadis datang
ke rumahku dan
mulai bernyanyi dan menari. Nabi masuk dan berbaring di sofa sambil
memalingkan mukanya. Tiba-tiba Abu
Bakar masuk dan,
melihat gadis-gadis itu
bermain, dia berseru: "Hah!
Seruling setan di rumah
Nabi!" Nabi menoleh
karenanya dan berkata: "Biarkan mereka, Abu Bakar, hari ini
adalah hari raya."
Terlepas dari
kasus-kasus yang melibatkan
musik dan tarian yang membangunkan nafsu-nafsu setan
yang telah tidur di dalam hati, kita dapati adanya kasus-kasus yang menunjukkan
mereka sama sekali halah. Misalnya nyanyian orang-orang yang sedang menjalankan
ibadah haji yang merayakan keagungan Baitullah di Makkah, yang dengan demikian
mendorong orang lain untuk pergi haji;
dan musik yang
membangkitkan semangat perang
di dara para pendengarnya
dan memberikan mereka
semangat untuk memerangi orang-orang kafir.
Demikian pula, musik-musik
sendu yang membangkitkan kesedihan karena
telah berbuat dosa
dan kegagalan dalam kehidupan keagamaan juga diperbolehkan:
seperti misalnya musik Nabi Daud, nyanyian penguburan yang
menambah kesedihan karena
kematian tidak
diperbolehkan, karena tertulis
dalam al-Qur'an: "Jangan bersedih
atas apa yang hilang
darimu." Di pihak
lain, musik-musik gembira di
pesta-pesta, seperti
perkawinan dan khitanan
atau kembali dari
perjalanan, hukumnya halal.
Sekarang
kita sampai pada penggunaan musik dan tarian yang sepenuhnya bersifat keagamaan.
Para sufi memanfaatkan
musik untuk membangkitkan cinta yang lebih
besar kepada Allah
dalam diri mereka, dean
dengannya mereka seringkali mendapatkan
penglihatan dan kegairanan
ruhani. Dalam keadaan ini hati
mereka menjadi sebersih perak yang dibakar dalam tungku, dan mencapai suatu
tingkat kesucian yang tak akan pernah bisa dicapai oleh sekadar hidup prihatin,
walau seberat apapun. Para sufi itu kemudian menjadi sedemikian sadar akan
hubungannya dengan dunia ruhani,
sehingga mereka kehilangan
segenap perhatiannya akan
dunia ini dan
kerap kali kehilangan kesadaran
inderawinya.
Meskipun demikian,
para calon sufi
dilarang ikut ambil
bagian dalam tarian mistik ini tanpa bantuan pir (syaikh
atau guru ruhani)nya. Diriwayatkan bahwa Syaikh Abul-Qasim Jirjani, ketika
salah seorang muridnya meminta izin untuk ambil
bagian dalam tarian
semacam itu, berkata:
"Jalani puasa yang
ketat selama tiga hari, kemudian suruh mereka memasak makanan-makanan
yang menggiurkan. Jika kemudian engkau masih lebih menyukai tarian itu, engkau
boleh ikut." Bagaimanapun
juga, seorang murid
yang hatinya belum seluruhnya tersucikan
dari nafsu-nafsu duniawi
- meskipun mungkin
telah mendapat penglihatan sepintas
akan jalur tasawwuf
- mesti dilarang
oleh syaikhnya untuk ambil bagian dalam tarian-tarian semacam itu,
karena hal itu hanya akan lebih banyak mendatangkan mudharat daripada mashlahatnya.
Orang-orang yang
menolak hakikat ekstase
(kegairahan) dan pengalaman-pengalaman ruhani
para sufi, sebenarnya
hanya mengakui kesempitan pikiran dan kedangkalan wawasan
mereka saja. Meskipun demikian, mereka haruslah dimaafkan, karena mempercayai
hakikat suatu keadaan yang belum dialami secara pribadi adalah sama sulitnya
dengan memahami kenikmatan menatap rumput hijau dan air mengalir bagi seorang
buta, atau bagi seorang anak untuk mengerti
kenikmatan melaksanakan pemerintahan.
Karenanya seorang bijak, meskipun
ia sendiri mungkin
tidak mempunyai pengalaman tentang keadaan-keadaan tersebut,
tak akan menyangkal hakikatnya. Sebab,
kesalahan apa lagi yang lebih besar daripada orang yang menyangkal hakikat
sesuatu hanya karena ia sendiri belum mengalaminya! Mengenai orang-orang ini,
tertulis dalam al-Qur'an: "Orang-orang yang tidak mendapatkan petunjuk
akan berkata, 'Ini adalah kemunafikan yang nyata'."
Sedang
mengenai puisi erotis yang dibaca pada pertemuan-pertemuan para sufi -
yang banyak orang
merasa keberatan terhadapnya
- mesti kita
ingat bahwa jika dalam puisi seperti ini disebut-sebut tentang pemisahan
dari atau persekutuan dengan yang
dicintai, maka para
sufi - yang
amat cinta pada Allah - menggunakan ungkapan semacam itu
untuk menjelaskan pemisahan dan persekutuan dengan Dia. Demikian pula,
"jalan-jalan buntuk yang gelap" dipakai untuk
menjelaskan kegelapan kekafiran;
"kecerahan wajah" untuk cahaya
keimanan; dan "mabuk" sebagai
ekstase (kegairanan) sang
sufi. Ambil sebagai misal, bait dari sebuah puisi berikut ini:
Mungkin
sudah kuatur anggur
beribu
takaran
Tapi,
sampai 'kau habis mereguknya
tiada kegembiraan kau rasakan
Dengan itu
penulisnya bermaksud untuk
mengatakan bahwa kenikmatan agama yang
sejati tak akan
bisa diraih lewat
perintah resmi, tapi dengan rasa tertarik dan keinginan. Seseorang
boleh jadi telah banyak berbicara dan menulis tentang cinta, keimanan,
ketakwaan dan sebagainya, tapi sebelum ia sendiri memiliki
sifat-sifat ini, semuanya
itu tak bermanfaat
baginya. Jadi, orang-orang yang
mencari-cari kesalahan para sufi, karena sufi-sufi tersebut sangat terpengaruh
- bahkan sampai mencapai ekstase - oleh bait-bait seperti itu, hanyalah
orang-orang dangkal dan
tak toleran. Onta
sekalipun kadang-kadang terpengaruh
oleh lagu-lagu Arab
yang dinyanyikan penunggangnya sehingga ia
akan berlari kencang,
memikul beban berat, sampai
akhirnya tersungkur kelelahan.
Meskipun demikian,
orang-orang yang mendengar
syair pada sufi
berada dalam bahaya dikutuk,
jika ia menerapkan
syair-syair yang didengarnya
itu untuk Allah. Misalnya,
ketika ia dengar
syair seperti "Engkau berubah
dari kecenderungan-semulamu", ia tak boleh menerapkannya untuk Allah - yang tak boleh
berubah - melainkan
untuk dirinya dan
ragam suasana hatinya sendiri. Allah bagaikan mentari yang
selalu bersinar, tetapi bagi kita
kadang-kadang cahaya-Nya terhalang oleh beberapa obyek yang ada di antara kita dan Dia.
Diriwayatkan
bahwa beberapa ahli mencapai tingkat ekstase sedemikian rupa sehingga diri mereka
hilang dalam Allah.
Demikian halnya dengan
Syaikh Abul-Hasan Nuri yang ketika mendengar seuntai syair tertentu,
terjatuh dalam keadaan ekstase dan
menerobos ke dalam
ladang yang penuh dengan
batang-batang tebu yang
baru dipotong, berlari
kian-kemari sampai kakinya berdarah penuh luka dan akhirnya mati
tak lama sesudah itu. Dalam kasus-kasus semacam itu, beberapa orang berpendapat
bahwa Tuhan telah benar-benar turun ke dalam manusia, tapi ini
adalah kesalahan yang sama
besar dengan yang dilakukan
oleh seseorang yang
ketika pertama kali
melihat bayangannya di cermin,
berpendapat bahwa ia
telah tersatukan dengan cermin
itu, atau bahwa
warna-warni merah-putih yang
dipantulkan oleh cermin adalah
sifat-sifat bawaan cermin itu.
Keadaan-keadaan ekstase
yang dialami para
sufi beragam, sesuai dengan emosi-emosi yang dominan di dalamnya,
yakni cinta, ketakutan, nafsu, tobat dan
sebagainya. Keadaan-keadaan ini,
sebagaimana kita sebut
di atas, dicapai seringkali
tidak hanya sebagai
hasil mendengarkan ayat-ayat
alQur'an, tetapi juga
syair yang merangsang.
Sementara orang keberatan terhadap pembacaan syair,
sebagaimana juga al-Qur'an,pada kesempatan-kesempatan seperti itu. Tapi mesti
diingat bahwa tidak seluruh ayat al-Qur'an dimaksudkan untuk membangkitkan
emosi - seperti misalnya, perintah bahwa seorang laki-laki
mesti mewariskan seperenam
hartanya untuk ibunya
dan sebagainya untuk saudara perempuannya, atau bahwa seorang wanita
yang ditinggal mati suaminya
mesti menunggu empat
bulan sebelum boleh menikah lagi dengan orang lain. Sangat
sedikit orang dan hanya yang sangat peka sajalah yang bisa tercebur ke dalam ekstase
keagamaan oleh ayat-ayat seperti itu.
Alasan
lain yang membenarkan penggunaan syair, juga ayat-ayat al-Qur'an, dalam kesempatan-kesempatan seperti
ini adalah bahwa
orang-orang telah sedemikian akrab
dengan al-Qur'an, banyak
di antaranya bahkan
telah menghafalnya, sehingga pengaruh
pembacannya telah sedemikian ditumpulkan oleh
perulangan yang berkali-kali.
Seseorang tidak bisa
selalu mengutip ayat-ayat al-Qur'an baru sebagaimana yang bisa dilakukan
dengan syair. Suatu kali ketika beberapa orang Arab Badui mendengarkan
al-Qur'an untuk pertama kalinya
dan menjadi sangat
tergerak olehnya, Abu
Bakar berkata kepada mereka, "Kami dulu pernah seperti kamu,
tetapi sekarang hati kami telah mengeras," berarti
bahwa al-Qur'an telah
kehilangan sebagian pengaruhnya
atas orang-orang yang akrab dengannya. Dengan alasan yang sama, Khalifah
Umar biasa memerintahkan
para peziarah haji
ke Makkah agar segera
meninggalkan tempat itu secepatnya. Karena, katanya, "saya khawatir, jika
kalian menjadi terlalu
akrab dengan Kota
Suci itu, ketakjuban kalian terhadapnya akan sirna dari
hati-hati kalian."
Ada pula
penggunaan nyanyian dan
peralatan musik -
seperti seruling dan genderang
- secara tak
berbobot dan sembrono,
paling tidak di
mata masyarakat awam. Keagungan
al-Qur'an tak pantas,
meskipun sementara,
dikaitkan dengan hal-hal
seperti ini. Diriwayatkan
bahwa sekali waktu
Nabi saw. memasuki rumah
Rai'ah putri Mu'adz. Beberapa orang
gadis-penyanyi yang ada di
sana secara tiba-tiba
mulai mengalunkan nyanyiannya
untuk menghormati beliau. Beliau dengan segera meminta mereka untuk
berhenti, karena puji-pujian bagi
Nabi adalah tema
yang terlalu sakral
untuk diperlakukan demikian. Akan
timbul pula bahaya
jika ayat-ayat al-Qur'an dipergunakan secara
khusus, sehingga pendengar-pendengarnya akan mengaitkannya dengan
penafsiran mereka sendiri,
dan hal ini terlarang.
Di pihak lain, tak
ada bahaya yang
mungkin timbul dalam menafsirkan baris-baris
syair dengan berbagai
cara, karena memang
makna yang diberikan seseorang atas
suatu syair tak
harus sama dengan
yang diberikan oleh penulisnya.
Bentuk lain
dari tarian-tarian mistik
ini adalah dengan
melukai diri sendiri sembari mengoyak-ngoyakkan pakaian.
Jika hal ini
adalah hasil dari
suatu keadaan ekstase murni,
maka tak ada
sesuatu yang bisa
dikatakan untuk menentangnya.
Tapi jika hal ini dilakukan oleh orang-orang yang sok disebut "ahli",
maka hal ini adalah suatu kemunafikan belaka. Dalam setiap hal, orang yang
paling ahli adalah yang mampu mengendalikan dirinya, hingga ia benarbenar berasa
wajib untuk memberikan
penyaluran kepada
perasaanperasannya. Diriwayatkan bahwa
seorang murid Syaikh
Juaid, ketika mendengar sebuah
nyanyian pada suatu
pertemuan para sufi,
tak bisa menahan diri
sehingga mulai memekik
dalam keadaan ekstase.
Junaid berkata kepadanya: "Jika
kau lakukan hal itu
sekali lagi, jangan
tinggal bersamaku
lagi." Setelah kejadian
itu, sang anak
muda berusaha untuk menahan dirinya. Tapi pada akhirnya
pada suatu hari emosinya sedemikian kuat
terbangkitkan sehingga, setelah
sedemikan lama dan
sedemikian kuat tertekan, ia
melontarkan pekikan dan kemudian mati.
Kesimpulannya, dalam
menyelenggarakan pertemuan-pertemuan semacam itu, perhatian mesti diberikan kepada
tempat dan waktu, dan bahwa tidak ada pemirsa dengan niat yang tak patut ikut
hadir di dalamnya. Orang-orang yang ikut
serta di dalamnya
mesti duduk berdiam
diri, tidak saling
melihat, menundukkan kepala - sebagaimana dalam shalat - dan memusatkan
pikiran mereka kepada Allah. Setiap orang mesti waspada terhadap segala sesuatu
yang mungkin terilhamkan ke dalam hatinya, dan tidak melakukan gerakan-gerakan
apa pun yang bersumber dari rangsangan sadar-diri belaka. Tetapi jika ada
seseorang di antara
mereka yang bangkit
dalam keadaan ekstase murni, maka segenap orang yang hadir
mesti bangkit pula bersamanya, dan jika
ada sorban seseorang
yang tanggal, maka
orang lain pun mesti meletakkan sorbannya.
Meskipun
hal ini merupakan hal baru dalam Islam dan tidak diterima dari para
sahabat, mesti kita
ingat bahwa tidak
semua hal itu
terlarang, melainkan hanya yang
secara langsung bertentangan
dengan syariat. Misalnya, shalat Tarawih. Shalat ini
dilembagakan pertama kali oleh Khalifah Umar. Nabi saw. bersabda: "Hiduplah dengan
setiap orang sesuai
dengan kebiasaan dan wataknya." Oleh
karena itu, kita
dibenarkan untuk mengerjakan
hal-hal tertentu demi menyenangkan
orang, jika sikap
tidak-berkompromi akan
menyakitkan hati mereka.
Memang benar bahwa
para sahabat tidak mempunyai kebiasaan untuk berdiri
ketika Nabi saw. masuk, karena mereka tidak
menyukai praktek ini;
tetapi di daerah-daerah
yang mempunyai kebiasaan seperti
ini, dan tidak melakukannya akan bisa
menimbulkan rasa tidak senang, lebih
baik berkompromi dengannya.
Orang-orang Arab punya kebiasaan sendiri,
orang-orang Persia pun
demikian, dan Allah tahu
mana yang paling baik.
6
PEMERIKSAAN DIRI DAN DZIKIR
KEPADA ALLAH
Ketahuilah wahai
saudaraku, bahwa di
dalam al-Qur'an Tuhan telah berfirman, "Akan Kami pasang
satu timbangan yang adil di Hari
Perhitungan dan tak akan ada jiwa yang dianiaya dalam segala hal. Siapa pun
yang telah menempa satu butir
kebaikan atau maksiat,
kelak pada hari
itu akan melihatnya." Di
dalam al-Qur'an juga
tertulis, "Setiap jiwa
akan melihat apa yang
diperbuat sebelumnya pada
Hari Perhitungan." Khalifah
Umar pernah berkata, "Tuntutlah pertanggungjawaban dari dirimu sebelum
dituntut pertanggungjawabanmu."
Dan Tuhan berfirman,
"Wahai kaum mukminin, bersabar dan
berjuanglah melawan nafsu-nafsumu
dan kemudian
beristiqamahlah." Semua wali
paham bahwa mereka
datang ke dunia
ini untuk menyelenggarakan suatu
lalu-lintas ruhaniah. Perolehan
ataupun kerugian yang menjadi akibatnya adalah surga atau neraka. Oleh
karena itu, mereka selalu menatap dengan pandangan waspada kepada badan mereka
yang berkhianat, bisa menyebabkan mereka menderita kerugian besar. Oleh
karena itu, hanya
orang-orang bijaksana sajalah
yang setelah shalat subuhnya menghabiskan
satu jam penuh
untuk mengadakan perhitungan ruhaniah dan
berkata kepada jiwanya,
"Wahai jiwaku, engkau
hanya mempunyai satu hidup.
Tidak satu pun
saat yang telah
lewat bisa dikembalikan, karena
dalam perbendaharaan Allah
jumlah nafas bagianmu sudah tertentu dan tidak bisa
ditambah. Ketika kehidupan telah berakhir, tidak ada lagi lalu-lintas ruhaniah
yang mungkin kau peroleh. Karena itu, apa yang bisa kau kerjakan, kerjakanlah
sekarang. Perlakuan hari ini sedemikian rupa seakan-akan hidupmu
telah kau habiskan
sama sekali dan
bahwa hari ini adalah
hari tambahan yang
dianugerahkan kepadamu oleh
rahmat Tuhan Yang Maha
Kuasa. Kekeliruan apa
lagi yang lebih
besar dari pada
menyia-nyiakannya?"
Pada
Hari Kebangkitan seseorang akan mendapati seluruh jam-jam hidupnya terjajar
seperti satu deret lemari perbendaharaan.
Pintu salah satu lemari itu akan terbuka dan akan tampak penuh dengan
cahaya. Hal itu mencerminkan saat
yang dihabiskan untuk melakukan kebaikan.
Hatinya akan dipenuhi dengan kegembiraan sedemikian besar
sehingga sebagian dari padanya saja sudah akan membuat penghuni neraka melupakan
api itu. Pintu lemari yang kedua akan
terbuka; di dalamnya
gelap pekat dan dari dalamnya
terpancar bau tidak
enak, yang menyebabkan
setiap orang menutup
hidungnya. Itu mencerminkan saat-saat
yang dihabiskan untuk
berbuat maksiat. Ia
akan merasakan takut yang sedemikian besar sehingga sebagian dari padanya
saja sudah akan segera membuat penghuni surga gelisah dan memohon rahmat.
Pintu lemari yang
ketiga pun terbuka; di dalamnya
tampak kosong, tak ada cahaya
tidak pula gelap. Ini mencerminkan saat-saat yang tidak dipakai untuk
melakukan kebaikan maupun
maksiat. Waktu itu
ia akan merasa
sangat menyesal dan bingung
laksana seorang yang
memiliki harta banyak,
tapi menyia-nyiakannya atau membiarkannya
lepas begitu saja
dari genggamannya. Jadi, seluruh
rangkaian saat-saat hidupnya
akan dipertunjukkan satu demi
satu di depan
matanya. Lantaran itu,
seseorang mesti berkata kepada jiwanya setiap pagi: "Allah telah
memberimu khazanah dua puluh empat jam. Berhati-hatilah agar engkau tidak
kehilangan satu pun di antaranya, karena
engkau tidak akan mampu menahan penyesalan yang akan mengikuti kerugian
seperti itu."
Para
wali telah berkata, "Sekalipun, misalnya, Allah akan mengampuni anda yang menyia-nyiakan kehidupan,
anda tidak akan
bisa mencapai tingkatan orang-orang saleh dan mesti akan
menyesali kerugian anda. Oleh karena itu, awasilah dengan
ketat lidah anda,
mata anda dan
segenap anggota rubuh anda,
karena masing-masing daripadanya
mungkin menjadi pintu
gerbang menuju neraka. Ucapkanlah
pada badan anda, 'Jika engkau memberontak, sesungguhnya aku
akan menghukummu' karena
meskipun badan itu
keras kepala, ia mampu
menerima perintah dan
bisa dijinakkan dengan
keprihatinan." Itulah tujuan
pemeriksaan diri, dan
Nabi saw. telah
berkata, "Kebahagiaan
itu bagi orang
yang sekarang mengerjakan
amal-amal yang akan memberikan
keuntungan baginya setelah mati."
Sekarang sampailah
kita pada dzikrullah
yang berarti ingatnya
seseorang bahwa Allah mengamati seluruh tindakan dan pikirannya. Orang-orang
hanya melihat penampilan luar,
sementara Allah melihat
keduanya; yang di
luar maupun yang di dalam diri manusia. Orang yang benar-benar
mempercayai hal ini akan mampu mendisiplinkan wujud-luar maupun wujud-dalamnya.
Jika ia menyangkal hal
ini, maka ia
adalah seorang kafir;
dan jika sementara mempercayainya dia
bertindak bertentangan dengan
kepercayaannya itu, maka dia
telah melakukan kesalahan
berupa bersikap angkuh
yang paling parah.
Suatu hari
seorang Habsy datang
kepada Rasulullah dan
berkata, "Wahai Rasulullah,
saya telah melakukan banyak dosa. Mungkinkah
tobat saya bisa diterima?"
Nabi menjawab, "Ya." Kemudian
sang Habsy berkata, "Wahai Rasulullah, setiap
saya melakukan dosa,
adakah Tuhan benar-benar melihatnya?" "Ya,"
jawab beliau. Sang Habsy pun melontarkan pekikan dan kemudian jatuh
tak sadar. Sebelum
seseorang benar-benar yakin
akan kenyataan bahwa ia selalu berada di dalam pengamatan Allah, tidak
mungkin ia bertindak di jalan yang benar.
Seorang
Syaikh suatu kali mempunyai seorang murid
yang ia sayangi lebih dari
yang lain, sehingga
membangkitkan rasa iri
mereka. Suatu hari
sang Syaikh memberi masing-masing muridnya seekor unggas dan
memerintahkan mereka untuk pergi
dan membunuhnya di
suatu tempat yang
tak ada yang bisa
melihat. Sesuai dengan
itu, setiap muridnya
membunuh unggasnya di tempat
yang tersembunyi dan
membawanya kembali, kecuali murid
Syaikh yang paling disayanginya itu. Ia membawa kembali unggas itu dalam
keadaan hidup seraya berkata, "Saya tak bisa menemukan tempat seperti
itu, karena Allah selalu melihatku
di mana-mana." Sang
Syaikh pun berkata kepada muridnya yang lain, "Sekarang kamu tahu
tingkatan anak muda ini. Ia telah
mencapai tingkat selalu mengingati Allah."
Ketika
Zulaikha menggoda Yusuf, ia menutupkan kain ke atas wajah berhala yang biasa
disembanya. Yusuf berkata kepadanya, "Wahai Zulaikha, engaku malu di
hadapan seonggokan batu, maka tidakkah aku mestimalu di hadapan Dia yang
menciptakan tujuh langit
dan bumi." Satu
kali seseorang datang kepada Wali Junaid dan berkata, "Saya
tidak bisa menahan pandangan mata saya
dari melihat hal-hal
yang menggairahkan. Apa
yang mesti saya perbuat?" Jawab
Junaid, "Dengan mengingat
bahwa Allah melihatmu jauh lebih jelas daripada kamu melihat orang
lain." Di dalam hadits qudsi
tertulis bahwa Allah berfirman, "surga itu bagi orang-orang yang sempat
berkeinginan untuk mengerjakan dosa
tapi kemudian ingat
bahwa mataKu ada
di atas mereka dan kemudian
mereka menahan diri."
Abdullah bin
Dinar meriwayatkan, bahwa
suatu kali ia
berjalan bersama Khalifah Umar
di dekat Makkah
ketika bertemu seorang
anak laki-laki penggembala sedang
menggembalakan sekawanan domba.
Umar berkata kepadanya, "Juallah
seekor domba padaku."
Anak laki-laki itu
menjawab, "Domba-domba
ini bukan milikku,
tapi milik tuanku."
Kemudian untuk mengujinya, Umar
berkata, "Engkau kan
bisa berkata kepadanya
bahwa seekor srigala telah menyambar salah satu di antaranya,dan dia
tidak akan tahu apa-apa mengenai
hal itu?" "Tidak,
memang dia tak
akan tahu," kata anak
itu, "tapi Allah
akan mengetahuinya." Umar
pun menangis dan mendatangi majikan
anak laki-laki itu
untuk membelinya dan
kemudian membebaskannya sambil berkata, "Ucapanmu itu telah
membuatmu bebas di dunia ini akan akan membuatmu bebas pula di akhirat."
Ada dua
tingkatan DZIKRULLAH ini.
Tingkatan PERTAMA
adalah tingkatan para
wali yang pikiran-pikirannya seluruhnya terserap
dalam perenungan dan
keagungan Allah, dan
sama sekali tidak menyisakan
lagi ruang di
hati mereka untuk
hal-hal lain. Inilah tingkatan zikir, yang lebih rendah,
karena ketika hati manusia sudah tetap dan anggota-anggota tubuhnya
sedemikian terkendalikan oleh
hatinya sehingga mereka
menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang sebenarnya halal, maka ia sama
sekali tak lagi
butuh akan alat
ataupun penjaga terhadap
dosa-dosanya. Terhadap zikir seperti inilah Nabi
saw. berkata, "Orang yang bangun dipagi
hari hanya dengan Allah
di dalam pikirannya
maka Allah akan menjaganya di dunia ini maupun di
akhirat."
Beberapa
di antara penzikir ini sampai sedemikian larut dalam ingatan akan Dia, sehingga,
mereka tidak mendengarkan
orang yang bercakap
dengan mereka, tidak melihat
orang berjalan di
depan mereka, tetapi
terhuyung-huyung seakan-akan melanggar dinding. Seorang wali
meriwayatkan bahwa suatu hari ia
melewati tempat para
pemanah sedang mengadakan perlombaan memanah. Agak jauh dari
situ, seseorang duduk sendirian. "Saya mendekatinya dan
mencoba mengajaknya berbicara,
tetapi dia menjawab, 'Mengingat Allah lebih baik
daripada bercakap.' Saya berkata,
'Tidakkah anda kesepian?"
'Tidak,' jawabnya, 'Allah
dan dua malaikat
bersama saya.' Sembari menunjuk
kepada para pemanah
saya bertanya, 'Mana
di antara mereka yang
telah berhasil menggondol
gelar juara?' 'Orang
yang telah ditakdirkan Allah
untuk menggondolnya,' jawabnya. Kemudian saya bertanya, 'Jalan ini
datang dari mana?"
Terhadap pertanyaan ini
dia mengarahkan matanya ke
langit, kemudian bangkit
dan pergi seraya berkata, "Ya
Rabbi, banyak mahlukMu menghalang-halangi orang dari mengingatMu.'
"
Wali Syibli
suatu hari pergi
mengunjungi sufi Tsauri. Didapatinya Tsauri sedang duduk tafakur sedemikian tenang
sehingga tidak satu pun rambut di tubuhnya bergerak. Syibli pun bertanya
kepadanya, "Dari siapa anda belajar mempraktekkan ketenangan
tafakur seperti itu?" Tsauri
menjawab, "Dari seekor
kucing yang saya lihat menunggu di depan lobang
tikus dengan sikap yang bahkan jauh lebih tenang daripada yang saya
lakukan."
Ibnu Hanif
meriwayatkan, "Kepada saya
diberitakan bahwa di
kota Sur seorang syaikh
dengan seorang muridnya
selalu duduk dan
larut di dalam dzikrullah. Saya
berangkat ke sana
dan mendapati mereka
berdua duduk dengan wajah
menghadap ke Makkah.
Saya mengucapkan salam
kepada mereka tiga kali, tapi mereka tidak menjawab. Saya berkata,
"Saya meminta dengan sangat, demi
Allah, agar anda
menjawab salam saya."
Yang lebih muda mengangkat
kepalanya dan menjawab,
"Wahai Ibnu Hanif,
dunia ini hanya ada
untuk waktu yang
singkat saja. Dan
dari waktu yang
singkat itu hanya sedikit
yang masih tersisa.
Anda telah menghalang-halangi kami dengan
menuntut agar kami
membalas salam anda."
Ia kemudian menundukkan kepalanya
kembali dan diam. Saya waktu itu merasa lapar dan haus, tetapi keingintahuan
akan kedua orang itu membuat saya seakan lupa diri. Saya
bersembahyang 'Ashar dan
Maghrib bersama mereka,
kemudian meminta mereka memberi nasehat-nasehat ruhaniah. Yang muda
menjawab, "Wahai Ibnu Hanif, kami ini orang sengsara, kami tidak memiliki
lidah untuk memberikan nasehat." Saya tetap berdiri di sana tiga hari tiga malam. Tidak satu patah kata pun
terlontar dari kami dan tak seorang pun
tidur. Kemudian saya berkata dalam
hati, "Saya minta
mereka dengan sangat,
demi Allah, untuk memberi
saya beberapa nasehat." Yang
muda mengkasyaf pikiran saya,
kemudian sekali lagi
mengangkat kepalanya, "Pergi dan carilah seseorang yang
dengan mengunjunginya akan
membuat anda mengingati Allah, dan
menanamkan rasa takut
akan Dia di
dalam hati anda,
dan yang akan memberi anda
nasehat melalui diamnya, bukan lewat cakapnya."
Itu semua
adalah zikir para
wali, yaitu berada
dalam keadan terserap keseluruhan dalam perenungan akan
Allah.
Tingkatan KEDUA
dari dzikrullah adalah
zikir "golongan kanan"
(ashabulYamin). Orang-orang ini
sadar bahwa Allah
mengetahui segala sesuatu tentang
mereka dan merasa malu dalam kehadiranNya. Meskipun demikian, mereka tidak
larut dalam pikiran
tentang keagungan-keagunganNya,
melainkan tetap sepenuhnya sadar diri.
Keadaan merekaseperti seseorang yang tiba-tiba terperangah di dalam keadaan
telanjang dan dengan terburuburu
menutupi dirinya. Kelompok
tingkatan pertama tadi
menyerupai seseorang yang tiba-tiba
mendapati dirinya di
hadapan seorang raja dan merasa bingung serta kaget. Kelompok
tingkatan kedua menyelidiki dengan teliti semua hal yang terlintas dalam
pikiran mereka,karena pada hari akhir tiga pertanyaan akan ditanyakan berkenaan
dengan setiap tindakan: kenapa engkau
melakukannya?; bagaimana kamu
melakukannya; apa tujuanmu melakukannya? Yang
pertama ditanyakan karena
seorang semestinya bertindak
berdasarkan dorongan (impuls) Ilahiah dan bukan dorongan setan atau badaniah
belaka. Jika pertanyaan
ini dijawab dengan
baik, maka pertanyaan kedua akan menguji tentang bagaimana pekerjaan itu
dilakukan secara bijaksana atau
ceroboh dan lalai.
Dan yang ketiga,
pekerjaan itu dilakukan hanya
demi mencari ridha Tuhan ataukah demi memperoleh pujian manusia. Jika seseorang
memahami arti pertanyaan-pertanyaan ini, ia akan menjadi sangat
awas terhadap kadaan
hatinya dan terhadap
bagaimana ia berpikiran sebelum
akhirnya bertindak. Memperbedakan
pikiran-pikiran itu adalah hal
yang sulit dan musykil dan orang yang tidak mampu melakukannya mesti mengaitkan
dirinya pada seorang pengarah ruhani yang bisa menerangi hatinya. Ia
mesti benar-benar menghindar
dari orang-orang terpelajar
yang sepenuhnya bersikap duniawi. Mereka itu agen setan. Allah berfirman
kepada Daud a.s. "Wahai Daud, jangan bertanya tentang orang-orang
terpelajar yang teracuni oleh cinta
dunia, karena ia
akan merampok kecintaanKu
darimu." Dan Nabi saw. bersabda, "Allah mencintai orang yang
cermat dalam meneliti soal-soal yang meragukan dan yang tidak membiarkan
akalnya dikuasai oleh nafsunya."
Nalar dan pembedaan
berkaitan erat, dan
orang yang di
dalam dirinya nalar tidak
mengendalikan nafsu tidak
akan cermat melakukan penyelidikan.
Di samping
beberapa peringatan tentang
penelitian sebelum bertindak, seseorang juga
mesti dengan ketat
menuntut pertanggungjawaban dirinya atas tindakan-tindakan masa
lampaunya. Setiap malam iamesti
memeriksa hatinya berkenaan dengan
apa yang telah
ia kerjakan., demi melihat
telah beruntung ataukah merugi
ia dalam modal
ruhaninya. Inilah yang
lebih penting, karena hati itu seperti rekanan dagang yang khianat yang
selalu siap untuk menipu dan
mengelabui. Kadang-kadang ia
menampakkan perasaan
mementingkan-diri-sendirinya dalam bentuk
ketaatan kepada Allah sedemikian rupa, sehingga seseorang
menyangka bahwa ia telah beruntung padahal sebenarnya ia merugi.
Seorang
wali bernama Amiya, berumur enam puluh tahun, menghitung harihari dalam
hidupnya dan ia
dapati bahwa hari-harinya
itu berjumlah 21.600 hari. Ia berkata kepada dirinya
sendiri, "Celaka aku, sekiranya aku melakukan satu dosa
saja setiap harinya,
bagaimana aku bisa
melarikan diri dari timbunan 21.600 dosa?" Ia pun
memekik dan rubuh ke tanah. Ketika orangorang datang untuk membangunkannya,
mereka dapati ia telah mati.
Tetapi
sebagian besar manusia bersifat lalai
dan tidak pernah berfikir untuk meminta
pertanggungjawaban dirinya sendiri.
Jika bagi setiap
dosa yang dilakukannya, seseorang
menempatkan sebutir batu di dalam sebuah rumah kosong, segera
saja akan ia
dapati rumah itu
penuh dengan batu.
Jika malaikat pencatat menuntut
upah darinya bagi
pekerjaan menuliskan dosadosanya,
maka semua uangnya
akan cepat sirna.
Orang menghitung biji tasbih dengan rasa puas diri setiap kali
mereka selesai menyebut nama Allah, tetapi
mereka tidak mempunyai
tasbih untuk menghitung kata-kata sia-sia yang
tak terbilang banyaknya yang
telah mereka ucapkan. Oleh
karena itu, Khalifah Umar berkata,
"Timbang benar-benar kata-kata dan
tindakan-tindakanmu sebelum semuanya itu ditimbang pada saat pengadilan
nanti." Ia sendiri sebelum beristirahat
pada setiap malamnya
biasa memukul kakinya dengan disertai
rasa ngeri kemudian
berseru, "Apa yang
telah kau lakukan hari
ini?" Abu Thalhah
suatu kali shalat
di sebuah kebun
korma ketika menampak seekor
burung indah yang melintas menyebabkannya salah hitung jumlah sujud
yang telah dilakukannya.
Untuk menghukum dirinya karena kelalaiannya ini, ia memberikan kebun
kormanya kepada orang lain. Wali-wali seperti itu tahu bahwa sifat inderawi
mereka cenderung untuk tersesat. Oleh karena itu mereka mengawasi dengan ketat
dan menghukumnya untuk setiap kesalahan yang dilakukannya.
Jika seseorang
mendapati dirinya bebal
dan menolak sikap
cermat dan disiplin diri,
ia mesti selalu
bersama-sama dengan seseorang
yang cakap dalam praktek-praktek seperti
itu agar ia
tertulari entusiasme sang
ahli tersebut. Seorang wali
biasa berkata, "Jika
saya ogah-ogahan dalam melakukan disiplin
diri, saya menatap
Muhammad ibn Wasi,
dan memandangnya saja sudah akan menyalakan kembali semangat saya,
paling tidak untuk seminggu." Jika
seorang tidak bisa
menemukan teladan sikap cermat
seperti itu di
sekitarnya, maka baik
baginya utnuk mempelajari kehidupan para Wali. Ia juga
mesti mendorong jiwanya!
"Wahai
jiwaku, kau anggap dirimu cerdas, dan marah jika disebut tolol. Lalu
sebetulnya kau ini
apa? Kau persiapkan
pakaianmu untuk menutupi
dirimu dari gigitan musim
dingin, tapi tidak
kau persiapkan diri untuk
akhiratmu. Keadaanmu seperti seseorang
yang di tengah
musim dingin berkata,
'Saya tak akan mengenakan
pakaian hangat, tetapi
percaya pada rahmat
Tuhan untuk melindungi saya
dari dingin.' Ia
lupa bahwa bersamaan
dengan menciptakan dingin, Allah
menunjuki manusia cara membuat pakaian
untuk melindungi diri darinya
dan menyediakan bahan-bahan
untuk pakaian itu. Ingatlah
juga, wahai diri,
bahwa hukumanmu di
akhirat bukan karena
Allah marah pada ketidak-taatanmu, dan jangan berpikir: "Bagaimana
mungkin dosa saya mengganggu Allah?"
Nafsumu sendirilah yang
akan menyalakan kobaran neraka
dalam dirimu. Makanan tidak sehat yang dimakan seseorang menimbulkan penyakit
pada tubuh orang
itu, bukan karena dokter
jengkel kepadanya karena melanggar nasehat-nasehatnya.
"Celakalah 'kau,
wahai diri, karena
cintamu yang berlebihan
kepada dunia! Jika kau
tidak percaya pada
surga dan neraka,
bagaimana mungkin kau percaya pada mati yang akan merenggut
semua kenikmatan duniawi dirimu dan
menyebabkan kau menderita
oleh perpisahan itu
sebanding dengan
keterikatanmu pada kenikmatan
duniawi itu. Kenapa
kau dicipta setelah dunia? Jika
semuanya, dari timur
sampai barat, adalah milikmu dan menyembahmu, toh
dalam waktu singkat
semuanya itu akan menjelma menjadi debu
bersama dirimu, dan
pemusnahan akan menghapuskan namamu sebagaimana
raja-raja sebelummu. Tetapi
sekarang, mengingat bahwa kau
hanyalah memiliki sebagian sangat kecil dari dunia ini dan itu pun bagian yang
kotor daripadanya, akankah
kau begitu gila
untuk menukar kebahagiaan abadi
dengannya, permata yang
mahal dengan sebuah
gelas pecah yang terbuat
dari lempung dan
menjadikan dirimu bahan
tertawaan orang-orang di sekitarmu?"
7
PERKAWINAN SEBAGAI PENDORONG
ATAU PENGHALANG DALAM KEHIDUPAN KEAGAMAAN
Perkawinan memainkan
peran yang besar
dalam kehidupan manusia,
sehingga ia perlu
diperhitungkan dalam membahas
soal kehidupan keagamaan dan
dibicarakan dalam dua
aspeknya, yaitu keuntungan
dan kerugiannya.
Mengetahui
bahwa Allah, sebagaimana kata al-Qur'an,
"Hanya menciptakan manusia dan jin untuk beribadah," maka
keuntungan yangpertama dan nyata dalam
perkawinan adalah bahwa
para penyembah Allah
menjadi makin banyak jumlahnya.
Oleh karena itu,
para ahli ilmu
kalam telah menyusun seuntai pepatah:
lebih baik tersibukkan
dalam tugas-tugas perkawinan daripada dalam ibadah-ibadah
sunnah. Keuntungan lain daripada perkawinan adalah sebagaimana disabdakan oleh
Nabi: "Doa anak-anak bermanfaat bagi orang
tuanya jika orang
tuanya itu telah
meninggal, dan anak-anak yang meninggal sebelum
orang tuanya akan
memintakan ampun bagi
mereka di Hari Pengadilan."
Sabda Nabi pula: "Ketika seorang anak diperintahkan untuk masuk surga, dia
menangis dan berkata, "Saya tak akan memasukinya tanpa ayah dan ibu
saya." Juga, suatu hari Nabi dengan keras menarik lengan baki
seseorang ke arah
dirinya sambil bersabda,
"Demikianlah anak-anak akan
menarik orang tuanya
ke surga." Beliau
menambahkan, "Anak-anak
berkumpul berdesak-desakan di pintu gerbang surga dan menjerit memanggil ayah
dan ibunya, hingga keduanya yang masih berada diluar diperintahkan untuk masuk
dan bergabung dengan anak-anak mereka."
Diriwayatkan dari
seorang Wali yang
termasyhur bahwa suatu
kali ia bermimpi bahwa Hari
Pengadilan telah tiba. Mataharitelah mendekat ke bumi dan orang-orang mati
karena kehausan. Sekelompok anak-anak berjalan kian kemari memberi mereka air
dari cawan-cawan emas dan perak. Tetapi ketika sang Wali
meminta air, ia
ditolak, dan salah
seorang anak itu
berkata kepadanya,
"Tidak salah seorang
pun di antara
kami ini anak-anak
anda." Segera setelah sang Wali bangun ia berencana untuk kawin.
Keuntungan
lain dari perkawinan adalah bahwa duduk bersama dan bersikap baik terhadap
istri adalah suatu
perbuatan yang memberikan
rasa santai kepada pikiran
setelah asyik mengerjakan
tugas-tugas keagamaan. Dan setelah santai seperti itu seseorang bisa
kembali beribadah dengan semangat baru.
Demikianlah Nabi saw.
sendiri, ketika merasakan
beban turunnya wahyu menekan
terlalu berat atasnya,
ia menyentuh istrinya
Aisyah dan berkata: "Berbicaralah padaku
wahai 'Aisyah, berbicaralah
padaku!" Dilakukannya hal ini karena dari sentuhan kemanusiaan
yang hangat itu bisa mendapatkan
kekuatan untuk menerima
wahyu-wahyu baru. Untuk
alasan yang sama ia
biasa meminta Bilal
untuk mengumandangkan azan
dan kadang-kadang ia juga
membaui wawangian yang
harum. Salah satu haditsnya yang
terkenal adalah: "Saya
mencintai tiga hal
di dunia ini: wewangian, wanita dan penyegaran kembali
dengan shalat." Suatu kali Umar bertanya kepada
Nabi tentang hal-hal
yang paling penting
untuk dicari di dunia
ini. Beliau saw.
menjawab: "Lidah yang
selalu berzikir kepada
Allah, hati yang penuh rasa syukur dan istri yang amanat."
Keuntungan
lain dari perkawinan adalah adanya seseorang yang memelihara rumah, memasak
makanan, mencuci piring, menyapu lantai
dan sebagainya. Jika seoran glaki-laki sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan
itu, maka ia tak bisa mencari ilmu, menjalankan
perdagangannya atau melakukan
ibadahibadahnya dengan sepatutnya. Untuk alasan ini Abu Sulaiman
berkata: "Istri yang baik bukan
saja rahmat di
dunia ini, tetapi
juga di akhirat, karena
ia memberikan waktu senggang
kepada suaminya untuk
berpikir tentang akhirat." Dan
salah satu di
antara ucapan Khalifah
Umar adalah: "Setelah iman, tidak ada rahmat yang
bisa menyamai istri yang baik."
Tambahan lagi,
perkawinan masih memiliki
keuntungan yang lain,
yaitu bersikap sabar dengan
tetek-bengek kewanitaan -
memberikan kebutuhankebutuhan istri dan
menjaga mereka agar
tetap berada di
jalan hukum - adalah
suatu bagian yang
amat penting dari
agama. Nabi saw.
bersabda; "Memberi nafkah kepada istri lebih penting daripada
memberi sedekah."
Suatu kali,
ketika Ibnu Mubarak
sedang berpidato di
hadapan orang-orang kafir, salah
seorang sahabatnya bertanya kepadanya: "Adakah pekerjaan lain yang lebih
memberikan ganjaran daripada
jihad?" "Ya," jawabnya,
"Yaitu memberi makan dan
pakaian kepada istri
dan anak dengan
sepatutnya." Waliyullah
yang termasyhur Bisyr
Hafi berkata: "Lebih baik
bagi seseorang untuk bekerja
bagi istri dan
anak daripada bagi
dirinya sendiri." Di
dalam hadits diriwayatkan bahwa
beberapa dosa hanya
bisa ditebus dengan menanggung beban keluarga.
Berkenaan
dengan seorang wali, diriwayatkan bahwa istrinya meninggal dan ia tak bermaksud
kawin lagi meski orang-orang mendesaknya seraya berkata bahwa dengan begitu
akan lebih mudah baginya untuk memusatkan diri dan pikirannya di
dalam uzlah. Pada
suatu malam ia
melihat dalam mimpinya pintu surga terbuka dan sejumlah
malaikat turun, lalu mendekatinya dan salah satu di antara mereka bertanya: "Inikah
orang yang celaka yang egois itu?" dan
rekan-rekannya menjawab: "Ya,
inilah dia." Wali
itu sedemikian
terperangahnya sehingga tidak
sempat bertanya tentang
siapakah yang mereka maksud.
Tetapi tiba-tiba seorang
anak laki-laki lewat
dan ia pun bertanya kepadanya. "Andalah yang
sedang mereka bicarakan," jawab sang anak, "baru minggu yang
lalu perbuatan-perbuatan baik anda dicatat di surga bersama dengan
wali-wali yang lain,
tetapi sekarang mereka
telah menghapuskan nama anda
dari buku catatan
itu." Setelah
terjaga dengan pikiran penuh
tanda tanya, dia
pun segera membuat
rencana untuk kawin. Dari semua hal di atas, tampak bahwa
perkawinan memang diinginkan.
Sekarang akan
kita bicarakan kerugian-kerugian perkawinan.
Salah satu di antaranya
adalah adanya suatu
bahaya, khususnya di
masa sekarang ini, bahwa
seorang laki-laki mesti
mencari nafkah dengan
sarana-sarana yang haram untuk
menghidupi keluarganya, padahal
tidak ada perbuatan-perbuatan
baik yang bisa menebus dosa ini. Nabi saw. bersabda bahwa pada Hari Kebangkitan
akan ada laki-laki yang membawa tumpukan perbuatan baik setinggi gunung dan
menempatkannya di dekat Mizan. Kemudian ia ditanya; "Dengan cara
bagaimana engkau menghidupi
keluargamu?" Ia tak
bisa memberikan jawaban yang memuaskan, maka semua perbuatan baiknya pun
akan dihapuskan dan
suatu pernyataan akan
dikeluarkan berkenaan dengannya: "Inilah
orang yang keluarganya telah menelan semua perbuatan baiknya!"
Kerugian lain
dari perkawinan adalah
bahwa memperlakukan keluarga dengan baik dan sabar dan
menyelesaikan masalah-masalah mereka hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang
memiliki tabiat baik. Ada bahaya besar jika
seorang laki-laki memperlakukan
keluarganya dengan kasar
atau mengabaikan mereka, sehingga menimbulkan dosa bagi dirinya sendiri.
Nabi saw. bersabda: "Seseorang yang
meninggalkan istri dan anak-anaknya adalah seperti
budak yang lari.
Sebelum ia kembali
kepada mereka, puasa dan shalatnya tidak akan diterima oleh
Allah." Ringkasnya, manusia memiliki sifat-sifat rendah, dan sebelum ia
bisa mengendalikan sifatnya itu, lebih
baik ia tidak memikul tanggung jawab untuk mengendalikan orang lain. Seseorang
bertanya kepada Wali
Bisyr Hafi, kenapa
ia tidak kawin. "Saya takut,"
ia menjawab, "akan ayat
al-Qur'an: 'hak-hak wanita
atas laki-laki persis
sama dengan hak-hak laki-laki atas wanita'."
Kerugian ketiga
dari perkawinan adalah
bahwa mengurus sebuah
keluarga seringkali
menghalangi seseorang dari
memusatkan perhatiannya kepada Allah
dan akhirat. Dan
boleh jadi, kecuali
kalau ia berhati-hati,
hal itu akan menyeretnya kepada
kehancuran, karena Allah
telah berfirman: "Janganlah istri-istri dan
anak-anakmu memalingkanmu dari
mengingat Allah." Orang yang
berpikir, bahwa dengan
tidak kawin ia
bisa memusatkan perhatiannya lebih baik
pada kewajiban-kewajiban keagamaannya,
lebih baik ia tetap sendirian; dan
orang-orang yang takut
untuk terjatuh ke
dalam dosa jika
ia tidak kawin, lebih baik ia kawin.
Sekarang kita
sampai pada sifat-sifat
yang mesti dicari
dalam diri seorang istri. Pertama, yang paling penting
di antaranya, adalah kesucian akhlak. Jika seseorang mempunyai
istri yang berakhlak
tidak-baik dan ia tetap
diam, ia mendapatkan nama
jelek dan terhambat
kehidupan keagamaannya. Jika
ia angkat bicara, hidupnya menjadi rusak. Dan bila ia ceraikan istrinya,
ia akan menderita kepedihan perpisahan.
Seorang istri yang
cantik tapi berakhlak buruk adalah
bencana yang sedemikian
besar, sehingga lebih
baik bagi suaminya untuk
menceraikannya. Nabi saw. bersabda; "Orang yang mencari istri demi
kecantikannya atau kekayaannya akan kehilangan keduanya."
Sifat baik
kedua dalam diri
seorang istri adalah
tabiat yang baik. Istri
yang bertabiat buruk - tidak berterima
kasih, suka bergunjing atau angkuh
- membuat hidup tak
tertanggungkan dan merupakan
halangan besar untuk menjalin kehidupan takwa.
Sifat ketiga
yang harus dicari
adalah kecantikan, karena
hal ini akan menimbulkan cinta
dan kasih sayang.
Oleh karena itu,
seseorang mesti melihat seorang
wanita sebelum mengawininya.
Nabi saw. bersabda;
"Wanita-wanita dari suku
ini dan itu
memiliki cacat di
mata-mata mereka. Seorang yang
ingin mengawini seseorang di antara mereka mesti melihatnya dulu." Orang
bijak berkata bahwa seseorang yang mengawini seorang wanita tanpa melihatnya
lebih dulu, pasti
akan menyesal kelak.
Memang benar bahwa seseorang
tidak seharusnya kawin demi kecantikan, tetapi hal ini tidak berarti bahwa
kecantikan mseti dianggap tidak penting sama sekali.
Hal penting
keempat tentang seorang
istri adalah bahwa
besarnya mahar dibayarkan oleh
seorang laki-laki kepada
istrinya mesti dalam jumlah pertengahan. Nabi saw. bersabda: "Wanita yang
paling baik untuk diperistri adalah yang
maharnya kecil dan
nilai kecantikannya besar."
Beliau sendiri memberi mahar
kepada beberapa calon istrinya sekitar sepuluh dirham, dan mahar putri-putri
beliau sendiri tidak lebih daripadaempat ratus dirham.
Sifat-sifat
lain yang harus dimiliki seorang istri yang
baik adalah: berasal dari keturunan baik-baik, belum kawin sebelumnya
dan tidak terlalu dekat dalam hubungan kekeluargaan dengan suaminya.
Hal-hal yang Harus Dikerjakan
dalam Perkawinan
Pertama; karena
perkawinan adalah suatu
lembaga keagamaan, maka
ia mesti diperlakukan secara keagamaan. Jika tidak demikian, pertemuan
antara laki-laki dan wanita
itu tidak lebih
baik daripada pertemuan
antar hewan. Syariat memerintahkan
agar diselenggarakan perjamuan
dalam setiap perkawinan. Ketika
Abdurrahman bin 'Auf
merayakan perkawinannya Nabi saw. berkata kepadanya: "Buatlah
suatu pesta perkawinan, meskipun hanya dengan seekor kambing." Ketika Nabi
saw. sendiri merayakan perkawinannya dengan
Shafiyyah, beliau membuat
pesta perkawinan dan
menghidangkan kurma dan gandum saja. Demikian pula, perkawinan sebaiknya
dimeriahkan dengan memukul rebana
dan memainkan musik,
karena manusia adalah mahkota penciptaan.
Kedua; seorang suami istri mesti
terus bersikap baik terhadap istrinya. Hal ini tidak berarti
bahwa ia tidak
boleh menyakitinya, melainkan
sebaiknya menanggung dengan sabar
semua perasaan tidak
enak yang diakibatkan oleh istrinya,
baik itu karena
ketidak-masuk-akal-an sikap istrinya
atau sikap tidak ber-terimakasih-nya. Wanita
diciptakan lemah dan
membutuhkan perlindungan;
karenanya ia mesti
diperlakukan dengan sabar
dan terus dilindungi. Nabi
saw. bersabda: "Seseorang yang
mampu menanggung ketidak-enakan yang ditimbulkan oleh istrinya dengan
penuh kesabaran akan memperoleh pahala sebesar yang diterima oleh Ayub a.s.atas
kesabarannya menanggung bala (ujian)
yang menimpanya." Pada
saat-saat sebelum wafatnya, orang
mendengar pula Nabi saw. bersabda: "Teruslah berdoa dan perlakukan istri-istrimu
dengan baik, karena
mereka adalah tawanan-tawananmu." Beliau
sendiri selalu menanggung
dengan sabar tingkah
laku istri-istrinya. Suatu hari
istri Umar marah
dan mengomelinya, ia
berkata kepadanya: "Hai kau yang berlidah tajam, berani kau
menjawabku?" Istrinya menjawab, "Ya, penghulu para nabi lebih
baik daripadamu, sedangkan istri-istrinya saja mendebatnya." Ia
menjawab: "Celakalah Hafshah (Purti
Sayidina Umar, istri Nabi saw.) jika ia tidak merendahkan dirinya
sendiri." Dan ketika ia berjumpa
Hafshah, ia berkata,
"Awas, kau jangan
mendebat Rasul." Nabi saw.
juga berkata: "Yang
terbaik di antaramu
adalah yang terbaik
sikapnya kepada keluarganya sendiri,
dan akulah yang
terbaik sikapnya terhadap keluargaku."
Ketiga; seorang
suami istri mesti
berkenan terhadap rekreasi-rekreasi dan kesenangan-kesenangan istrinya
dan tidak mencoba
menghalanginya. Nabi saw. sendiri
pada suatu waktu pernah berlomba lari dengan istrinya, 'Aisyah. Pada kali
pertama Nabi saw.
mengalahkan 'Aisyah dan
pada kali kedua, 'Aisyah mengalahkannya. Di waktu lain,
beliau menggendong 'Aisyah agar ia bisa melihat beberapa orang Habsy menari.
Pada kenyataannya akan sulitlah untuk
menemukan seseorang yang bersikap
sedemikian baik terhadap
istri-istrinya seperti yang
dilakukan Nabi saw.
Orang-orang bijak berkata: "Seorang suami mesti pulang
dengan tersenyum dan makan apa saja yang tersedia dan tidak meminta apa-apa
yang tidak tersedia." Meskipun demikian, ia tidak boleh berlebihan
agar istrinya tidak kehilangan penghargaan atasnya. Jika ia melihat sesuatu
yang nyata-nyata salah dilakukan oleh istrinya, ia tidak boleh mengabaikannya,
melainkan harus menegurnya. Atau jika tidak, ia akan menjadi sekadar
bahan tertawaan saja.
Dalam al-Qur'an tertulis: "Laki-laki adalah pemimpin
bagi wanita," dan
Nabi saw. berkata: "Celakalah laki-laki yang menjadi
budak istrinya." Seharusnya
istrinyalah yang menjadi pelayannya. Orang-orang bijak
berkata; "Berkonsultasilah dengan wanita dan berbuatlah yang
bertentangan dengan apa yang mereka
nasehatkan." Memang ada suatu sikap suka melawan dalam diri wanita;dan
jika mereka diizinkan meskipun sedikit, mereka akan sama sekali lepas dari
kendali dan sulitlah untuk mengembalikannya kepada
sikap yang baik.
Dalam urusan dengan mereka,
seseorang mesti berusaha menggunakan gabungan antara ketegasan dan rasa kasih
sayang dengan kasih sayang sebagai bagian yang lebih besar. Nabi saw. berkata:
"Wanita diciptakan seperti sepotong tulang iga yang bengkok. Jika kau coba
meluruskannya, kau akan mematahkannya; jika kau
biarkan demikian, ia
akan tetap bengkok. Karena
itu perlakukanlah ia dengan penuh kasih sayang."
Keempat; dalam hal pelanggaran
susila, seorang suami harus sangat berhatihati
agar tidak membiarkan
istrinya dipandang atau
memandang seorang asing, karena
awal dari seluruh
kerusakan itu adalah
dari mata. Sebisabisanya
jangan izinkan ia
untuk keluar rumah,
berdiri di loteng
rumah atau berdiri di pintu.
Meskipun demikian, anda mesti hati-hati agar tidak cemburu tanpa alasan
dan bersikap terlalu
ketat. Suatu hari
Nabi saw. bertanya kepada anaknya, Fathimah:
"Apakah yang terbaik bagi wanita?" Ia menjawab: "Mereka tidak
boleh menemui orang-orang
asing, tidak pula
orang-orang asing boleh menemui mereka." Nabi saw. senang mendengar
jawaban ini dan memeluknya seraya berkata;
"Sesungguhnya engkau adalah sebagian dari hatiku." Amirul
Mu'minin Umar berkata:
"Jangan memberi wanita
pakaianpakaian yang baik,
karena segera setelah
mereka mengenakannya mereka berkeinginan untuk
keluar rumah." Pada
masa hidup Nabi,
wanita-wanita diizinkan pergi ke masjid dan tinggal di barisan paling
belakang. Tapi secara bertahap hal ini dilarang.
Kelima; seorang
suami mesti memberi
nafkah secukupnya kepada
istrinya dan tidak bersifat kikir kepadanya. Memberi nafkah yang
selayaknya kepada istri lebih baik
daripada memberi sedekah.
Nabi saw. bersabda:
"Misalkan seorang
laki-laki menghabiskan satu
dinar untuk berjihad, satu dinar
lagi untuk menebus seorang budak, satu dinar lagi untuk sedekah dan
memberikan satu dinar juga
kepada istrinya, maka
pahala pemberian yang
terakhir ini melebihi jumlah pahala
ketiga pemberian lainnya."
Keenam; seorang
suami tidak boleh
makan sesuatu yang
lezat sendirian; atau
kalaupun ia telah
memakannya, ia mesti
diam dan tidak
memujinya di depan istrinya. Jika
tidak ada tamu, lebih baik bagi pasangan suami istri untuk makan bersama,
karena Nabi saw. bersabda: "Jika mereka melakukan hal itu, Allah menurunkan
rahmatNya atas mereka
dan para malaikat
pun berdoa untuk mereka."
Hal yang paling penting adalah bahwa nafkah yang diberikan kepada istri itu
harus didapatkan dengan cara-cara halal.
Jika istri
bersikap memberontak dan
tidak taat, pertama
sekali suami mesti menasehatinya dengan lemah lembut. Jika
hal ini tidak cukup keduanya mesti tidur di kamar terpisah untuk tiga malam.
Jika hal ini juga tidak berhasil, maka suami
boleh memukulnya, tetapi
tidak di mulutnya,
tidak pula terlalu
keras hingga bisa melukainya.
Jika istri lalai
dalam tugas-tugas keagamaannya, suami mesti
menunjukkan sikap tidak
senang kepadanya selama sebulan penuh, sebagaimana pernah
dilakukan oleh Nabi kepada istri-istrinya.
Selalulah
bertindak hati-hati agar perceraian bisa dihindari; karena, meskipun
perceraian diizinkan, Allah
tidak menyukainya. Perkataan
cerai saja sudah mengakibatkan penderitaan
bagi seseorang wanita,
dan bagaimana bisa dibenarkan seseorang menyakiti orang
lain? Jika perceraian terpaksa sekali dilakukan, maka
ucapan itu tidak
boleh diulangi tiga
kali sekaligus, tetapi harus pada tiga waktu yang berlainan.
Seorang perempuan mesti dicerai baikbaik, tidak dengan kemarahan ataupun
penghinaan, tidak pula tanpa alasan.
Setelah perceraian, seorang
laki-laki mesti memberikan
pemberian (mut'ah) kepada bekas
istrinya, dan tidak
menceritakan kepada orang
lain alasan-alasan atau
kesalahan-kesalahan yang dilakukan
istrinya sehingga mereka bercerai. Dari seorang suami yang
hendak menceraikan istrinya, diriwayatkan bahwa
orang-orang bertanya kepadanya:
"Mengapa engkau
menceraikannya?" Ia menjawab:
"Saya tak akan
membongkar rahasia-rahasia istri
saya." Ketika akhirnya ia benar-benar menceraikannya, ia ditanya lagi dan
berkata; "Dia sekarang orang asing bagiku; saya tidak lagi berurusan
dengan soal-soal pribadinya."
Sejauh
ini telah kita bahas hak-hak istri atas suaminya, tetapi hak-hak suami atas istrinya lebih
mengikat lagi. Nabi saw.
bersabda: "Jika saja dibolehkan untuk menyembah sesuatu selain
Allah, akan aku perintahkan agar para istri menyembah suami-suami mereka."
Seorang istri
tidak boleh menggembar-gemborkan kecantikannya
di depan suaminya, tidak
boleh membalas kebaikan
sang suami dengan
perasaan tidak terima kasih.
Istri tidak boleh
berkata kepada suaminya:
"Kenapa kau perlakukan aku begini dan begitu?" Nabi saw.
bersabda: "Aku melihat ke dalam
neraka dan menampak
banyak wanita di
sana. Kutanyakan sebab-sebabnya dan mendapat jawaban, karena
mereka berlaku tidak baik kepada
suami-suami mereka dan tidak berterima kasih kepadanya."
8
CINTA KEPADA ALLAH
Kecintaan kepada
Allah adalah topik
yang paling penting
dan merupakan tujuan akhir
pembahasan kita sejauh ini. Kita telah berbicara tentang bahayabahaya ruhaniah
karena mereka menghalangi kecintaan kepada Allah di hati manusia. Telah
pula kita bicarakan
tentang berbagai sifat
baik yang diperlukan untuk
itu. Penyempurnaan kemanusiaan
terletak di sini,
yaitu bahwa kecintaan kepada
Allah mesti menaklukkan hati manusia dan menguasainya sepenuhnya.
Kalaupun kecintaan kepada
Allah tidak menguasainya sepenuhnya,
maka hal itu
mesti merupakan perasaan
yang paling besar di
dalam hatinya, mengatasi
kecintaan kepada yang
lain-lain. Meskipun demikian, mudah dipahami bahwa kecintaan kepada Allah adalah sesuatu yang
sulit dicapai, sehingga
suatu aliran teologi
telah kenyataan sama sekali
menyangkal, bahwa manusia
bisa mencitai suatu
wujud yang bukan merupakan spesiesnya
sendiri. Mereka telah mendefinisikan kecintaan kepada Allah
sebagai sekedar ketaatan
belaka. Orang-orang yang berpendapat demikian
sesungguhnya tidak tahu
apakah agama itu sebenarnya.
Seluruh muslim sepakat bahwa
cinta kepada Allah adalah
suatu kewajiban. Allah berfirman
berkenaan dengan orang-orang
mukmin: "Ia mencintai
mereka dan mereka
mencitaiNya." Dan Nabi
saw. Bersabda, "Sebelum seseorang mencintai Allah
dan NabiNya lebih daripada mencintai yang lain, ia tidak memiliki
keimanan yang benar." Ketika
Malaikat Maut datang
untuk mengambil nyawa Nabi Ibrahim, Ibrahim berkata: "Pernahkan
engkau melihat seorang sahabat mengambil
nyawa sahabatnya?" Allah
menjawabnya, "Pernahkan
engkau melihat seorang
kawan yang tidak
suka untuk melihat kawannya?" Maka Ibrahim pun
berkata, "Wahai Izrail, ambillah nyawaku!"
Doa
berikut ini diajarkan oleh Nabi saw. kepada parasahabatnya; "Ya Allah,
berilah aku kecintaan
kepadaMu dan kecintaan
kepada orang-orang yang mencintaiMu, dan
apa saja yang
membawaku mendekat kepada
cintaMu. Jadikanlah cintaMu lebih
berharga bagiku daripada
air dingin bagi
orang-orang yang kehausan." Hasan
Basri seringkali berkata:
"Orang yang mengenal Allah
akan mencintaiNya; dan
orang yang mengenal
dunia akan membencinya."
Sekarang kita
akan membahas sifat
esensial cinta. Cinta
bisa didefinisikan sebagai suatu
kecenderungan kepada sesuatu yang menyenangkan. Hal ini tampak nyata
berkenaan dengan lima
indera kita. Masing-masing
indera mencintai segala sesuatu
yang memberinya kesenangan.
Jadi, mata mencintai
bentuk-bentuk yang indah, telinga mencintai musik, dan seterusnya. Ini adalah
sejenis cinta yang
juga dimiliki oleh
hewan-hewan. Tetapi ada indera
keenam, yakni fakultas
persepsi, yang tertanamkan
dalam hati dan tidak
dimiliki oleh hewan-hewan.
Dengannya kita menjadi
sadar akan keindahan dan
keunggulan ruhani. Jadi, seseorang yanghanya akrab dengan
kesenangan-kesenangan inderawi tidak
akan bisa memahami
apa yang dimaksud oleh
Nabi saw. ketika
bersabda bahwa ia
mencintai shalat lebih daripada wewangian dan wanita, meskipun
keduanya itu juga menyenangkan baginya.
Tetapi orang yang
mata-hatinya terbuka untuk
melihat keindahan dan
kesempurnaan Allah akan meremehkan semua
penglihatan-penglihatan luar, betapa pun indah tampaknya semua itu.
Manusia yang
hanya akrab dengan
kesenangan-kesenangan
inderawi akan berkata bahwa
keindahan ada pada
warna-warni merah putih,
anggota-anggota tubuh yang
serasi dan seterusnya,
sedang ia buta
terhadap keindahan moral yang
dimaksudkan oleh orang-orang
ketika mereka berbicara tentang
orang ini dan
orang itu yang
memiliki tabiat baik.
Tetapi orang-orang yang memiliki persepsi yang lebih dalam merasa sangat
mungkin untuk bisa mencintai
orang-orang besar yang
telah jauh mendahului
kita - seperti kata
Khalifah Umar dan
Abu Bakar -
berkenaan dengan sifat-sifat mulia mereka,
meskipun jasad-jasad mereka
telah sejak dahulu
sekali bercampur dengan debu. Kecintaan seperti itu tidak diarahkan
kepada bentuk luar melainkan kepada
sifat-sifat ruhaniah. Bahkan
ketika kita ingin membangkitkan rasa cinta di dalam diri
seorang anak kepada orang lain, kita tidak
menguraikan keindahan luar
bentuk itu atau
yang lainnya, melainkan kunggulan-keunggulan ruhaniahnya.
Jika kita terapkan prinsip
ini untuk kecintaan
kepada Allah, maka
akan kita dapati bahwa Ia sendiri
sajalah yang pantas dicintai. Dan jika seseorang tidak mencintaiNya, maka hal
itu disebabkan karena ia tidak mengenaliNya. Karena alasan inilah,
maka kita mencintai
Muhammad saw., karena
ia adalah Nabi dan kecintaan Allah; dan kecintaan
kepada orang-orangberilmu dan bartakwa adalah
benar-benar kecintaan kepada
Allah. Kita akan
melihat hal ini
lebih jelas kalau kita membahas sebab-sebab yang bisa membangkitkan
kecintaan.
Sebab pertama
adalah kecintaan seseorang atas dirinya dan kesempurnaan sifatnya sendiri.
Hal ini membawanya
langsung kepada kecintaan
kepada Allah, karena kemaujudan
asasi dan sifat-sifat
manusia tidak lain adalah
anugerah Allah. Kalau
bukan karena kebaikanNya,
manusia tidak akan pernah
tampil dari balik
tirai ketidak-maujudan ke
dunia kasat-mata ini. Pemeliharaan dan
pencapaian kesempurnaan manusia
juga sama sekali tergantung para kemurahan Allah.
Sungguh aneh jika
seseorang mencari
perlindungan dari panas
matahari di bawah
bayangan sebuah pohon
dan tidak bersyukur kepada pohon yang tanpanya tidak akan adabayangan
sama sekali. Sama seperti
itu, kalau bukan
karena Allah, manusia
tidak akan maujud (ada) dan sama
sekali tidak pula mempunyai sifat-sifat. Oleh sebab itu ia
akan mencintai Allah
kalau saja bukan
karena ke-masa-bodoh-an
terhadapNya. Orang-orang bodoh
tidak bisa mencintaiNya,
karna kecintaan kepadaNya memancar
langsung dari pengetahuan
tentangNya. Dan sejak kapankah seorang bodoh mempunyai
pengetahuan?
Sebab kedua
dari kecintaan ini
adalah kecintaan manusia kepada sesuatu yang
berjasa kepadanya, dan
sebenarnyalah satu-satunya yang
berjasa kepadanya hanyalah Allah; karena, kebaikan apa pun yang diterimanya
dari sesama manusia disebabkan
oleh dorongan langsung
dari Allah. Motif
apa pun yang menggerakkan seseorang memberikan kebaikan kepada orang
lain, apakah itu keinginan
untuk memperoleh pahala
atau nama baik,
Allah-lah yang mempekerjakan motif itu.
Sebab ketiga
adalah kecintaan yang terbangkitkan oleh perenungan tentang sifat-sifat Allah,
kekuasaan dan kebijakanNya, yang jika dibandingkan dengan kesemuanya itu
kekuasaan dan kebijakan
manusia tidak lebih
daripada cerminan-cerminan yang paling remeh. Kecintaan ini mirip dengan
cinta yang kita rasakan terhadap orang-orang besar di masa lampau, seperti Imam
Malik dan Imam Syafi'i,
meskipun kita tidak
pernah mengharap untuk
menerima keuntungan pribadi dari
mereka. Dan oleh
karenanya, cinta ini
merupakan jenis cinta yang
lebih tak berpamrih.
Allah berfirman kepada
Nabi Daud, "AbdiKu yang
paling cinta kepadaKu
adalah yang tidak
mencariku karena takut untuk
dihukum atau berharap mendapatkan pahala,
tetapi hanya demi membayar hutangnya kepada KetuhananKu." Di
dalam Injil tertulis: "Siapakah yang lebih kafir daripada orang yang
menyembahKu karena takut neraka atau mengharapkan surga?
Jika tidak Kuciptakan
semuanya itu, tidak
akan pantaskah Aku untuk disembah?"
Sebab keempat
dari kecintaan ini adalah "persamaan" antara manusia dan Allah. Hal
inilah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi saw.: "Sesungguhnya Allah menciptakan
manusia dalam kemiripan
dengan diriNya sendiri." Lebih jauh lagi Allah telah berfirman: "Hambaku
mendekat kepadaKu sehingga Aku menjadikannya
sahabatKu. Aku pun
menjadi telinganya, matanya
dan lidahnya." Juga Allah
berfirman kepada Musa
as.: "Aku pernah
sakit tapi engkau tidak
menjengukku!" Musa menjawab: "Ya Allah, Engkau adalah Rabb
langit dan bumi;
bagaimana Engkau bisa
sakit?" Allah berfirman:
"Salah seorang
hambaKu sakit; dan
dengan menjenguknya berarti
engkau telah mengunjungiKu."
Memang ini
adalah suatu masalah
yang agak berbahaya
untuk diperbincangkan,
karena hal ini
berada di balik
pemahaman orang-orang awam. Seseorang
yang cerdas sekalipun
bisa tersandung dalam membicarakan soal ini dan percaya pada
inkarnasi dan kersekutuan dengan Allah. Meskipun demikian,
"persamaan" yang maujud di antara manusia dan Allah menghilangkan
keberatan para ahli Ilmu Kalam yang telah disebutkan di atas itu, yang
berpendapat bahwa manusia tidak bisa mencintai suatu wujud yang bukan dari
spesiesnya sendiri. Betapa pun jauh jarak yang memisahkan mereka, manusia bisa
mencintai Allah karena "persamaan"yang disyaratkan di dalam sabda
Nabi: "Allah menciptakan manusia
dalam kemiripan dengan diriNya
sendiri."
Menampak
Allah
Semua muslim
mengaku percaya bahwa
menampak Allah adalah
puncak kebahagiaan manusia, karena hal ini dinyatakan dalam syariah. Tetapi
bagi banyak orang hal ini hanyalah sekedar pengakuan di bibir belaka
yang tidak membangkitkan perasaan di
dalam hati. Hal
ini bersifat alami
saja, karena bagaimana bisa
seseorang mendambakan sesuatu
yang tidak ia
ketahui? Kami akan berusaha untuk menunjukkan secara ringkas, kenapa
menampak Allah merupakan kebahagiaan terbesar yang bisa diperoleh manusia.
Pertama
sekali, semua fakultas manusia memiliki fungsinya sendiri yang ingin
dipuasi. Masing-masing punya
kebaikannya sendiri, mulai
dari nafsu badani yang
paling rendah sampai
bentuk tertinggi dari
pemahaman intelektual.
Tetapi suatu upaya
mental dalam bentuk
rendahnya sekalipun masih memberikan kesenangan
yang lebih besar
daripada kepuasan nafsu jasmaniah. Jadi,
jika seseorang kebetulan
terserap dalam suatu permainan catur, ia tidak akan ingat makan
meskipun berulang kali dipanggil. Dan makin tinggi pengetahuan kita makin
besarlah kegembiraan kita akan dia. Misalnya, kita akan
lebih merasa senang
mengetahui rahasia-rahasia
seorang raja daripada rahasia-rahasia seorang
wazir. Mengingat bahwa
Allah adalah obyek pengetahuan
yang paling tinggi, maka pengetahuan tentangNya pasti akan memberikan
kesenangan yang lebih besar ketimbang
yang lain. Orang yang
mengenal Allah, di
dunia ini sekalipun,
seakan-akan merasa telah berada
di surga "yang
luasnya seluas langit
dan bumi"; surga yang
buah-buahnya sedemikian nikmat,
sehingga tak ada
seorang pun yang bisa mencegahnya untuk memetiknya; dan surga
yang tidak menjadi lebih sempit oleh banyaknya orang yang tinggal di dalamnya.
Tetapi nikmatnya
pengetahuan masih jauh
lebih kecil daripada
nikmatnya penglihatan,
persis seperti kesenangan
kita di dalam
melamunkan orang-orang yang kita
cintai jauh lebih sedikit daripada kesenangan yang diberikan oleh penglihatan
langsung akan mereka. Keterpenjaraan kita di dalam jasad yang terbuat
dari lempung dan
air ini, dan
kesibukan kita dengan ihwal inderawi, menciptakan
suatu tirai yang
menghalangi kita dari
menampak Allah, meskipun hal
itu tidak mencegah
kita dari memperoleh
beberapa pengethuan tentangNya. Karena alasan inilah, Allah berfirman
kepada Musa di Bukit Sinai: "Engkau tidak akan bisa melihatKu."
Hal yang
sebenarnya adalah sebagai
berikut. Sebagaimana benih
manusia akan menjadi seorang
manusia dan biji
korma yang ditanam
akan menjadi pohon korma, maka
pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh di bumi akan menjelma menjadi
penampakan Tuhan di akhirat kelak, danorang
yang tak pernah mempelajari pengetahuan
itu tak akan
pernah mengalami penampakan itu.
Penampakan ini tak akan terbagi sama kepada orang-orang yang tahu,
melainkan kadar kejelasannya
akan beragam sesuai
dengan pengetahuan mereka. Tuhan
itu satu, tetapi
Ia akan terlihat
dalam banyak cara yang
berbeda, persis sebagaimana
suatu obyek tercerminkan
dalam berbagai cara oleh
berbagai cermin; ada
yang mempertunjukkan bayangan yang
lurus, ada pula
yang baur, ada
yang jelas dan
yang lainnya kabur. Sebuah cermin
mungkin telah sedemikian
rusak sehingga bisa
membuat bentuk yang indah sekalipun tampa buruk, dan seseorang mungkin
membawa sebuah hati yang sedemikian gelap
dan kotor ke
akhirat, sehingga penglihatan
yang bagi orang
lain merupakan sumber
kebahagiaan dan kedamaian, baginya
malah menjadi sumber
kesedihan. Seseorang yang
di hatinya cinta terhadap
Tuhan telah mengungguli
yang lain akan
menghirup lebih banyak kebahagiaan
dari penglihatan ini
dibanding orang yang
di hatinya cinta itu
tak sedemikian unggul;
persis seperti halnya
dua manusia yang sama memiliki
pandangan mata yang tajam; ketika menatap sebentuk wajah yang cantik, maka
orang yang telah mencintai pemilik wajah itu akan lebih berbahagia
dalam menatapnya daripada
orang yang tidak
mencinta. Agar bisa menikmati kebahagiaan sempurna, pengetahuan saja
tanpa disertai cinta belumlah cukup. Dan cinta akan Allah tak bisa memenuhi
hati manusia sebelum ia disucikan
dari cinta akan
dunia yang hanya
bisa didapatkan dengan zuhud.
Ketika berada di
dunia ini, keadaan
manusia berkenaan dengan menampak
Allah adalah seperti seorang pencinta
yang akan melihat wajah kasihya di keremangan fajar, sementara
pakaiannya dipenuhi dengan lebah
dan kalajengking yang
terus menerus menyiksanya.
Tetapi jika matahari terbit
dan menampakkan wajah
sang kekasih dalam segenap keindahannya dan
binatang berbisa berhenti
menyiksanya, maka kebahagiaan
sang pencinta akan menjadi seperti kecintaan hamba Allah yang setelah keluar
dari keremangan dan terbebaskan dari bala yang menyiksa di dunia ini,
melihatNya tanpa tirai.
Abu Sulaiman berkata:
"Orang yang sibuk dengan
dirinya sekarang, akan sibuk dengan dirinya kelak;
dan orang yang tersibukkan dengan Allah sekarang, akan
tersibukkan denganNya kelak."
Yahya Ibnu
Mu'adz meriwayatkan bahwa
ia mengamati Bayazid
Bistami dalam shalatnya sepanjang malam. Ketika telah selesai, Bayazid
berdiri dan berkata: "O Tuhan!
Beberapa hamba telah
meminta dan mendapatkan kemampuan untuk membuat mukjizat,
berjalan di atas permukaan air, terbang di
udara, tapi bukan
semua itu yang
kuminta; beberapa yang
lain telah meminta dan mendapatkan harta benda, tapi bukan itu
pula yang kuminta." Kemudian Bayazid
berpaling dan ketika
melihat Yahya, ia
bertanya: "Engkaulah yang di sanan itu Yahya?" Ia jawab:
"Ya." Ia bertanya lagi: "Sejak kapan?" "Sudah
sejak lama." Kemudian
Yahya memintanya agar
mengungkapkan beberapa pengalaman
ruhaniahnya. "Akan
kuungkapkan", jawab Bayazid, "apa-apa
yang halal untuk
diceritakan kepadamu." Yang Kuasa telah mempertunjukkan kerajaanNya
kepadaku, dari yang paling mulia hingga
yang terenah. Ia
mengangkatku ke atas
'Arsy dan KursiNya dan ketujuh langit. Kemudian Ia berkata:
'Mintalah kepadaKu apa saja yang kau ingini.'
Saya jawab: 'Ya
Allah! Tak kuingini
sesuatu pun selain Engkau.' 'Sesungguhnya,' kataNya, 'engkau
adalah hambaKu."
Pada kali
lain Bayazid berkata:
"Jika Allah akan
memberikan padamu keakraban dengan
diriNya atau Ibrahim,
kekuatan dalam doa
Musa dan keruhanian Isa, maka
jagalah agar wajahmu terus mengarah kepadaNya saja, karena Ia
memiliki khazanah-khazanah yang
bahkan melampaui semuanya ini." Suatu
hari seorang sahabatnya
berkata kepadanya:
"Selama tiga puluh tahun aku
telah berpuasa di
siang hari dan
bersembahyang di malam
hari, tapi sama sekali tidak kudapati kebahagiaan ruhaniah yang kamu
sebut-sebut itu." Bayazid menjawab:
"Kalaupun engkau berpuasa
dan bersembahyang selama tiga ratus
tahun, engkau tetap
tak akan mendapatinya." "Kenapa?" tanya sang
sahabat. "Karena," kata
Bayazid, "perasaan
mementingkan-diri-sendirimu telah menjadi
tirai antara engkau
dan Allah." "Jika
demikian, katakan padaku cara
penyembuhannya."
"Cara itu takkan
mungkin bisa kau laksanakan." Meskipun
demikian ketika sahabatnya
itu memaksanya untuk mengungkapkannya, Bayazid
berkata: "Pergilah ke
tukang cukur terdekat dan
mintalah ia untuk
mencukur jenggotmu. Bukalah
semua pakaianmu kecuali korset
yang melingkari pinggangmu.
Ambillah sebuah kantong yang
penuh dengan kenari, gantungkan di lehermu, pergilah ke pasar dan berteriaklah:
'Setiap orang yang memukul tengkukku akan mendapatkan buah kenari'.
Kemudian dalam keadaan
seperti itu pergilah
ke tempat para qadhi
dan faqih." "Astaga!" kata
temannya, "saya benar-benar
tak bisa melakukannya. Berilah
cara penyembuhan yang
lain." "Itu tadi
adalah pendahuluan yang harus dipenuhi
untuk penyembuhannya,"jawab
Bayazid. "Tapi, sebagaimana telah
saya katakan padamu,
engkau tak bisa disembuhkan."
Alasan Bayazid
untuk menunjukkan cara
penyembuhan seperti itu
adalah kenyataan bahwa sahabatnya
itu adalah seorang
pengejar kedudukan dan kehormatan yang
ambisius. Ambisi dan
kesombongan adalah penyakit-penyakit yang
hanya bisa disembuhkan
dengan cara-cara seperti itu.
Allah berfirman kepada Isa: "Wahai Isa, jika Kulihat di hatipara
hambaKu kecintaan yang murni terhadap
diriKu yang tidak
terkotori dengan nafsu-nafsu mementingkan diri-sendiri
berkenaan dengan dunia ini atau dunia
yang akan datang, maka Aku akan menjadi penjaga cinta itu." Juga ketika orang-orang meminta Isa
a.s. menunjukkan amal
yang paling mulia,
ia menjawab: "Mencintai
Allah dan memasrahkan diri kepada kehendakNya." Wali Rabi'ah pernah
ditanya cintakah ia kepada Nabi. "Kecintaan kepada Sang Pencipta,"
katanya, "telah mencegahku dari mencintai mahluk." Ibrahim bin Adam
dalam doanya berkata: "Ya
Allah, di mataku
surga itu sendiri
masih lebih remeh daripada sebuah
agas jika dibandingkan
dengan kecintaan kepadaMu
dan kebahagiaan mengingat Engkau yang telah Kau anugerahkan
kepadaku."
Orang
yang menduga bahwa mungkin saja untuk menikmati kebahagiaan di akhirat tanpa
mencintai Allah, sudah
terlalu jauh tersesat,
karena inti kehidupan masa
yang akan datang
adalah untuk sampai
kepada Allah sebagaimana sampai
pada suatu obyek
keinginan yang sudah
lama didambakan dan diraih
melalui halangan-halangan yang tak
terbilang banyaknya.
Penikmatan akan Allah
adalah kebahagiaan. Tapi
jika ia tidak memiliki kesenangan
akan Allah sebelumnya,
ia tidak akan
bergembira di dalamnya kelak; dan
jika kebahagiaannya di dalam Allah
sebelumnya sangat kecil sekali, maka kelak ia pun akan kecil.
Ringkasnya, kebahagiaan kita di masa
datang akan sama persis kadarnya dengan kecintaan kita kepada Allah sekarang.
Tetapi na'udzu
billah, jika di
dalam hati seseorang
telah tumbuh suatu kecintaan terhadap sesuatu yang
bertentangan dengan Allah, maka keadaan kehidupan akhirat
akan saa sekali
asing baginya. Dan
apa-apa yang akan membuat orang lain bahagia akan
membuatnya bersedih.
Hal ini
bisa diterangkan dengan
anekdot berikut ini.
Seorang manusia pemakan bangkai
pergi ke sebuah pasar yang menjual wangi-wangian. Ketika membaui aroma yang
wangi ia jatuh pingsan. Orang-orang mengerumuninya dan memercikkan
air bunga mawar
padanya, lalu mendekatkan
misyk (minyak wangi) ke
hidungnya; tetapi ia
malah menjadi semakin parah. Akhirnya seseorang
datang; dia sendiri
adalah juga pemakan
bangkai. Ia mendekatkan sampah
ke hidung orang
itu, maka orang
itu segera sadar, mendesah penuh
kepuasan: "Wah, ini
baru benar-benar wangi-wangian!" Jadi, di akhirat nanti
manusia tak akan lagi mendapati kenikmatan-kenikmatan cabul dunia
ini; kebahagiaan ruhaniah
dunia itu akan sama
sekali baru baginya dan
malah akan meningkatkan
kebobrokannya. Karena, akhirat adalah suatu
dunia ruh dan
merupakan pengejawantahan dari
keindahan Allah; kebahagiaan adalah bagi manusia yang telah mengejarnya
dan tertarik padanya. Semua kezuhudan,
ibadah dan pengkajian-pengkajian akan menjadikan rasa tertarik itu sebagai
tujuannya dan ituadalah cinta. Inilah arti dari ayat al-Qur'an: "Orang
yang telah menyucikan jiwanya akan berbahagia." Dosa-dosa dan
syahwat langsung bertentangan
dengan pencapaian rasa tertarik
ini. Oleh karena
itu, al-Qur'an berkata:
"Dan orang yang
mengotori jiwanya akan merugi." Orang-orang
yang dianugerahi wawasan
ruhaniah telah benar-benar memahami
kebenaran ini sebagai
suatu kenyataan pengalaman, bukan sekadar sebuah pepatah tradisional
belaka. Pencerapan mereka yang amat
jelas terhadap kebenaran
ini membawa mereka
kepada keyakinan bahwa orang
yang membawa kebenaran
itu adalah benar-benar seorang Nabi,
sebagaimana yakinnya seseorang
yang telah mempelajari pengobatan ketika
ia mendengarkan omongan
seorang dokter. Ini
adalah sejenis keyakinan yang
tidak membutuhkan dukungan
berupa mukjizat-mukjizat, seperti
mengubah sebatang kayu menjadi seekor ular
yang masih mungkin digoncangkan dengan mukjizat-mukjizat luar biasa sejenisnya yang dilakukan oleh para ahli sihir.
Tanda-tanda
Kecintaan kepada Allah
Banyak orang
mengaku telah mencintai
Allah, tetapi masing-masing
mesti memeriksa diri sendiri berkenaan dengan kemurnian cinta yang ia
miliki. Ujian pertama
adalah: dia mesti
tidak membenci pikiran
tentang mati, kerena
tak ada seorang "teman" pun
yang ketakutan ketika
akan bertemu dengan "teman"nya. Nabi
saw. Berkata: "Siapa
yang ingin melihat
Allah, Allah pun ingin melihatnya." Memang benar
bahwa seorang pencinta Allah yang ikhlas mungkin saja
bisa takut akan
kematian sebelum ia
menyelesaikan persiapannya untuk ke akhirat, tapi jika ia ikhlas ia akan
rajin dalam membuat persiapan-persiapan itu.
Ujian keikhlasan
yang kedua ialah
seseorang mesti rela mengorbankan kehendaknya demi
kehendak Allah; mesti
berpegang erat-erat kepada
apa yang membawanya lebih dekat kepada Allah; dan mesti menjauhkan diri
dari tempat-tempat yang menyebabkan ia berada jauh dari Allah.
Kenyataan bahwa
seseorang telah berbuat
dosa bukanlah bukti
bahwa dia tidak mencintai Allah
sama sekali, tetapi hal itu hanya membuktikan bahwa ia tidak mencintaiNya
dengan sepenuhhati. Wali
Fudhail berkata pada seseorang: "Jika
seseorang bertanya kepadamu,
cintakah engkau kepada Allah, maka diamlah; karena jika
engkau berkata: 'Saya tidak mencintaiNya,' maka
engkau menjadi seorang
kafir; dan jika
engkau berkata: 'Ya,
saya mencintai Allah,' padahal perbuatan-perbuatanmu bertentangan dengan
itu."
Ujian
yang ketiga adalah bahwa dzikrullah mesti secara otomatis terus tetap
segar di
dalam hati manusia.
Karena, jika seseorang
memang mencintai, maka ia akan
terus mengingat-ngingat; dan jika cintanyaitu sempurna, maka ia tidak akan
pernah melupakan-Nya. Meskipun demikian, memang mungkin terjadi bahwa
sementara kecintaan kepada
Allah tidak menempati
tempat utama di hati
seseorang, kecintaan akan
kecintaan kepada Allahlah
yang berada di tempat itu, karena cinta adalah sesuatu dan kecintaan akan cinta adalah sesuatu yang
lain.
Ujian yang
keempat adalah bahwa
ia akan mencintai
al-Qur'an yang merupakan firman
Allah - dan Muhammad Nabiyullah. Jika cintanya memang benar-benar kuat, ia akan
mencintai semua manusia, karena mereka semua adalah hamba-hamba Allah. Malah
cintanya akan melingkupi semua mahluk, karena
orang yang mencintai
seseorang akan mencintai
karya-karya cipta dan tulisan
tangannya.
Ujian kelima
adalah, ia akan
bersikap tamak terhadap
'uzlah untuk tujuan ibadah. Ia akan terus
mendambakan datangnya malam
agar bisa berhubungan dengan
Temannya tanpa halangan.
Jika ia lebih
menyukai bercakap-cakap di siang hari dan tidur di malam hari daripada
'uzlah seperti itu, maka cintanya
itu tidak sempurna.
Allah berkata kepada
Daud a.s.: "Jangan terlalu
dekat dengan manusia,
karena ada dua
jenis orang yang menghalangi kehadiranKu: orang-orang
yang bernafsu untuk mencari imbalan dan
kemudian semangatnya mengendor
ketika telah mendapatkannya, dan orang-orang yang
lebih menyukai pikiran-pikirannya sendiri
daripada mengingatKu.
Tanda-tanda
ketidak-hadiranKu adalah bahwa
Aku meninggalkannya sendiri.”
Sebenarnyalah, jika
kecintaan kepada Allah
benar-benar menguasai hati
manusia, maka semua cinta kepada yang lain pun akan hilang. Salah seorang
dari Bani Israil
mempunyai kebiasaan untuk
sembahyang di malam
hari. Tetapi ketika tahu bahwa seekor burung bisa bernyanyi dengan
sangat merdu di atas sebatang pohon, ia pun mulai sembahyang di bawah pohon itu
agar dapat menikmati kesenangan
mendengarkan burung itu.
Allah memerintahkan Daud a.s. untuk pergi dan berkata kepadanya: "Engkau
telah mencampurkan kecintaan kepada
seekor burung yang
merdu dengan kecintaan kepadaKu; maka
tingkatanmu di kalangan
para wali pun terendahkan." Di
pihak lain, beberapa
orang telah mencintai
Allah dengan kecintaan sedemikian
rupa, sehingga ketika
mereka sedang berkhidmat dalam ibadah,
rumah-rumah mereka telah
terbakar dan mereka
tidak mengetahuinya.
Ujian keenam
adalah bahwa ibadah
pun menjadi mudah
baginya. Seorang wali berkata:
"Selama tiga puluh tahun
pertama saya menjalankan
ibadah malamku dengan susah payah, tetapi tiga puluh tahun kemudian hal
itu telah menjadi suatu kesenangan
bagiku." Jika kecintaan
kepada Allah sudah sempurna, maka
tak ada kebahagiaan
yang bisa menandingi kebahagiaan beribadah.
Ujian
ketujuh adalah bahwa pencinta Allah akan mencintai orang-orang yang menaatiNya, dan
membenci orang-orang kafir
dan orang-orang yang
tidak taat, sebagaimana kara
al-Qur'an: "Mereka bersikap
keras terhadap orang kafir
dan berkasih sayang
dengan sesamanya." Nabi
saw pernah bertanya kepada Allah:
"Ya Allah, siapakah
pencinta-pencintaMu?"
Dan jawabannya pun datang: "Orang-orang
yang berpegang erat-erat kepadaKu sebagaimana seorang anak
kepada ibunya; yang
berlindung di dalam
pengingatan kepadaKu sebagaimana seekor
burung mencari naungan
pada sarangnya; dan akan
sangat marah jika
melihat perbuatan dosa
sebagaimana seekor macan marah
yang tidak takut kepada apa pun."
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar