Senin, 16 Januari 2017

MITOLOGI JAWA

Sedikit tentang MITOLOGI JAWA ASLI

Kepercayaan Jawa yang asli menyatakan bahwa Dzat Tuhan yang disebut dengan Sang Hyang Toyo (Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Wisesa, Sang Hyang Widhiwasa, Sang Hyang Agung) adalah tidak bisa dibayangkan dengan pikiran manusia, tidak bisa dibuktikan dengan kelima indera kita, walaupun ke-agungan-Nya, nikmat-Nya, anugerah-Nya adalah nyata dapat dirasakan tapi adaNya dan kehadiranNya hanya dapat dirasakan dengan rasa sejati, dan dengan daya spiritual manusia. Namun Dia ada dan Dialah yang menciptakan alam semesta beserta seisinya.

Oleh karena itu Sunan Kalijogo berpendapat bahwa kepercayaan jawa yang asli seperti tersebut di atas adalah benar karena tidak keluar dari ajaran tauhid dalam islam, dan karena mereka belum mengenal nama Allah. Akan tetapi Penggunaan kata Sang Hyang Widhi juga ditemukan dalam kitab Wedhatama karya Sri Mangkunagoro IV, penggunaan ini untuk menyebut nama Tuhan, Allah dalam Islam.

Menurut Anand Krishna (1998) bahwa Sri Mangkunagoro IV merupakan seorang pujangga, seorang penguasa bijak dari Keraton Mangkunegaran di Surakarta. Menurut catatan sejarah, beliau lahir pada tahun 1809 dan meninggal pada tahun 1881. Salah satu pupuh dalam Wedhatama berbunyi sebagai berikut:

“Sajatine kang mangkana, Wis kakenan nugrahaning Hyang Widhi, Bali alaming asuwung, Tan karem karameyan, Ingkang sipat wisesa winisesa wus, Mulih mula-mulanira, Mulane wong anom sami. (Wedhatama 14).”

Artinya : “Sesungguhnya Ia yang telah mencapai kesadaran seperti itu, telah memperoleh berkat Allah. Ia menikmati keheningan dalam dirinya dan tidak tertarik lagi pada keramaian di luar. Hawa nafsu yang tadinya mengendalikan dia, sekarang terkendalikan olehnya. Ia kembali kepada sifat dasarnya, yang sederhana dan halus”.

Pujangga Sastra lainnya seperti Ngabehi Rangga Warsita juga biasa menggunakan kata Hyang Widhi untuk menyebut Tuhan, Allah. Pujangga-pujangga seperti beliau-beliau menyadari atau telah mencapai kesadaran tentang pengetahuan suci, tentang hakekat tertinggi bahwa Tuhan itu memiliki banyak nama, namun Tuhan hanyalah esa tiada duanya. Seperti dinyatakan dalam semboyan “Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa” : Berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran (Tuhan) yang kedua.

Menurut Mitologi Jawa, seluruh semesta seisinya adalah ciptaan Sang Hyang Wisesa di dalam haribaan-Nya sendiri. Artinya, Tuhan murba wasesa yang melingkupi dan memuat serta menguasai dan mengatur seluruh semesta yang luasnya tiada batas dan seluruh isinya.

Dalam Mitologi Jawa, Dzat Tuhan yang mampu dihampiri akal, rasa dan daya sepiritual (kebatinan) adalah Dzat Urip, yang kemudian disebut : Pangeran atau Gusti.  Sungguh Maha Sempurna Tuhan yang telah menciptakan semesta ini. Luasnya tiada terhingga dan semuanya teratur, selaras, dan sempurna. Disebut dalam mitologi Jawa, bahwa semesta tercipta dalam keadaan hayu (elok, indah, selaras dan sempurna).

Semoga bermanfaat, aamiin….


PERSEPSI LIMA INDERA

Manusia adalah mahakarya/makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Manusia diberi kemampuan kognitif untuk memproses informasi yang diperoleh dari lingkungan di sekelilingnya melalui indera yang dimilikinya. Hal-hal yang dapat mempengaruhi kemampuan kognitif pada manusia meliputi tingkat intelegensi, kondisi fisik, serta kecepatan system pemprosesan informasi pada manusia.

Persepsi dalam arti sempit melibatkan pengalaman kita, persepsi merupakan proses pengolahan data-data indera kita untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga kita dapat menyadari tentang segala sesuatu di sekeliling kita, termasuk sadar dengan diri kita sendiri.


PENGERTIAN PERSEPSI

Secara etimologis, persepsi (perception) artinya menerima atau mengambil. Persepsi (perception) dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimana cara seorang melihat sesuatu; sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu.
    
Persepsi merupakan proses yang terjadi di dalam individu yang dimulai dengan diterimanya rangsang, sampai rangsang itu disadari dan dimengerti oleh individu sehingga individu dapat mengenali dirinya sendiri akan keadaan di sekitarnya. Persepsi merupakan suatu proses pengenalan maupun proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh individu.


BENTUK-BENTUK PERSEPSI
1.  Persepsi Penglihatan.
2.  Persepsi Pendengaran.
3.  Persepsi Perabaan.
4.  Persepsi Penciuman.
5.  Persepsi Pengecap.


DUNIA PERSEPSI

Agar dihasilkan suatu penginderaan yang bermakna, ada ciri-ciri umum tertentu dalam dunia persepsi yaitu:

1.  Modalitas
Rangsang-rangsang yang diterima harus sesuai dengan modalitas tiap-tiap indera, yaitu sifat sensoris dasar dan masing-masing indera (cahaya untuk penglihatan, bau untuk penciuman, suhu bagi perasa, bunyi bagi pendengaran, sifat permukaan bagi peraba, dan sebagainya).

2.  Dimensi Ruang
Dunia persepsi mempunyai sifat ruang (dimensi ruang), kita dapat mengatakan atas bawah, tinggi rendah, luas sempit, latar depan latar belakang, dan lain-lain.

3.  Dimensi Waktu
Dunia persepsi mempunyai dimensi waktu, seperti: cepat-lambat, tua-muda, dan lain-lain.

4.  Struktur Konteks
Yaitu keseluruhan yang menyatu, objek-objek atau gejala-gejala dalam dunia pengamatan mempunyai struktur yang menyatu dengan konteksnya. Struktur dan konteks ini merupakan keseluruhan yang menyatu.


CIRI-CIRI PERSEPSI

1.  Proses pengorganisasian berbagai pengalaman.
2.  Proses menghubung-hubungkan antara pengalaman masa lalu dengan yang baru.
3.  Proses pemilihan informasi.
4.  Proses teorisasi dan rasionalisasi.
5.  Proses penafsiran atau pemaknaan pesan verbal dan nonverbal.
6.  Proses interaksi dan komunikasi berbagai pengalaman internal dan eksternal.
7.  Melakukan penyimpulan atau keputusan-keputusan, pengertian-pengertian dan yang membentuk wujud persepsi individu.


DIMENSI PENGINDERAAN

Pengalaman inderawi tergantung dari sifat-sifat diterimanya rangsang sehingga kita mempunyai pengalaman inderawi yang dapat kita paparkan dalam suatu bentangan kuat-lemah, lama-sebantar, kasar-halus, panas-dingin, dan sebagainya. Bentangan sifat-sifat seperti itulah yang disebut dimensi penginderaan. Ada empat dimensi penginderaan, yaitu:

Intensitas
Kuat lemahnya penginderaan suatu rangsang tertentu. Kita dapat membedakan cahaya kuat dan lemah, intensitas penginderaan kita jumpai pada semua indera.

Ekstensitas
Penghayatan terhadap tebal-tipis, luas-sempit, besar-kecil, dan lain-lain.

Lamanya
Penginderaan dapat berlangsung lama atau sebentar.

Kualitas
Kita dapat membedakan kualitas rangsang, misalnya nada atau warna.


ALAT-ALAT INDERA

Alat-alat indera adalah bagian-bagian tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsangan sesuai dengan modalitas masing-masing. Mata dan telinga dianggap sebagai higher senses karena memberikan informasi inderawi yang lebih kaya dibandingkan hidung, lidah, dan permukaan kulit. Meskipun persepsi bukanlah sekedar penjumlahan informasi yang diterima dari alat-alat indera ini, yaitu :

1.  Penglihatan
Alat penginderaan ini adalah mata. Dalam alat ini terdapat syaraf reseptor rangsang yang disebut conus (berbentuk kerucut) dan bacillus (berbentuk batang). Kedua syaraf ini terdapat pada retina mata. Baik conus maupun bacillus peka terhadap cahaya, perbedaannya hanya dalam penerimaannya (sensivitas terhadap cahaya). Bacillus peka terhadap cahaya remang-remang, oleh karena itu sangat sensitif, sedang conus peka terhadap cahaya yang kuat.
Bagian dari suatu ruang yang rangsangnya masih bisa dicapai mata kita disebut sebagai medan penglihatan, yaitu :
Daerah pusat : daerah yang  rangsang-rangsangnya terlihat paling jelas (tajam) lengkap dengan warna-warnanya.
Daerah tepi/prefir : daerah yang pusat penglihatannya kurang tajam.
Daerah paling tepi : daerah yang kualitas penglihatannya paling buruk.
Titik buta : daerah dimana tidak terjadi penglihatan.
      
2.  Pendengaran
Alat indera untuk pendengaran adalah telinga dengan segala perlengkapan di dalamnya, terutama gendang telinga (membrane timpani) dengan syaraf-syaraf reseptor getaran di telinga bagian dalam (cochiea).

3.  Penciuman
Alat indera untuk penciuman adalah hidung dan syaraf-syaraf reseptornya. Rangsang yang sesuai untuk indera ini adalah zat-zat kimiawi yang berbentuk gas.

4.  Pengecap
Alat indera untuk pengecap adalah lidah dengan syaraf-syaraf reseptor pada papil-papil rasa di atas dan di sekeliling lidah.

5.  Peraba
Alat indera peraba tidak terbatas pada permukaan kulit dengan respon-responnya, tetapi juga menyangkut alat-alat yang peka terhadap orientasi dan keseimbangan. Oleh karena itu, rangsang yang sesuai untuk indera ini juga bermacam-macam yaitu tekanan, suhu, rasa sakit, dan gerakan.


FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PERSEPSI

Karena persepsi lebih bersifat psikologis dari pada merupakan proses penginderaan saja, maka ada beberapa factor yang mempengaruhi, antara lain :

a.  Perhatian yang selektif
Setiap saat manusia pasti akan menerima banyak rangsang dari lingkungan. Meskipun demikian ia tidak harus menanggapi semua rangsang yang diterimanya. Tetapi individu hanya memusatkan perhatiannya pada rangsang-rangsang tertentu saja.

b.  Ciri-ciri rangsang
Rangsang yang bergerak diantara rangsang yang diam akan lebih menarik perhatian. Demikian juga rangsang yang paling besar diantara yang kecil, yang kontras dengan latar belakangnya dan intensitas rangsangnya paling kuat.

c.   Nilai dan kebutuhan individu
Seorang seniman tentu punya pola dan cita rasa yang berbeda dalam pengamatannya dibanding seorang bukan seniman. Penelitian juga menunjukkan bahwa anak-anak dari golongan ekonomi rendah melihat koin lebih besar daripada anak-anak orang kaya.

d.  Pengalaman dahulu
Pengalaman-pengalaman terdahulu sangat mempengaruhi bagaimana seseorang mempersepsi dunianya. Cermin bagi kita tentu bukan barang baru, tetapi lain halnya bagi orang-orang mentawai di pedalaman siberut atau saudara kita di pedalaman Irian.


FAKTOR-FAKTOR YANG BERPERAN DALAM PERSEPSI

Faktor-faktor yang berperan dalam persepsi dapat dikemukakan adanya beberapa faktor, yaitu:

1.  Objek yang dipersepsi
Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. Namun sebagian terbesar stimulus datang dari luar individu. 

2.  Alat indera, syaraf , dan susunan syaraf
Alat indera, atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus. Disamping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran, sebagai alat untuk mengadakan respon diperlukan syaraf motoris.   

3.  Perhatian
Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek.


OBJEK PERSEPSI

Objek persepsi dapat dibedakan atas objek yang manusia dan nonmanusia.

1.  Objek Manusia
Objek persepsi yang berwujud manusia ini disebut person perception atau juga ada yang menyebutkan sebagai social perception.

Manusia yang dipersepsi mempunyai kemampuan-kemampuan, perasaan, ataupun aspek-aspek lain seperti halnya pada orang yang mempersepsi.

2.  Objek Nonmanusia
Objek persepsi nonmanusia sering disebut sebagai nonsocial perception atau juga disebut sebagai things perception.). 


KESIMPULAN

Persepsi adalah daya fikir dan daya pemahaman  individu terhadap berbagai rangsangan yang datang dari luar. Dalam persepsi sendiri banyak bentuknya antara lain yaitu persepsi visual, Auditori, perabaan, penciuman, dan pengecapan. Sedangkan cirri-ciri umum dunia persepsi itu sendiri adalah :
Ø  Adanya dimensi ruang
Ø  Adanya dimensi waktu
Ø  Modalitas
Ø  Struktur konteks
Dalam dunia persepsi juga membutuhkan alat-alat indera seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap, dan peraba.









    

KIMIYATUS SA'ADAH / KIMIA KEBAHAGIAAN

"Jika Anda menemui sesuatu kesulitan di dalam memahami tawasuf, bacalah buku  saya  Kimyatus  Sa'adah  (Kimia  Kebahagiaan)  yang  akan  membimbing Anda  ke  jalan  yang  benar,  dan  memberi  Anda,  sekurang-kurangnya,  suatu kesempatan yang adil untuk memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang dikaruniakan oleh Allah kepada Anda." Demikianlah Al-Ghazali menulis dalam salah satu suratnya kepada Nizamuddin Fakhrul Mulk, wazir Seljuk.
Kimia Kebahagiaan adalah ringkasan dari karya monumental Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, ditulis sendiri secara populer oleh beliau dalam bahasa Parsi, tidak dalam bahasa Arab sebagaimana Ihya. Mengenai Ihya cukuplah kita kutipkan di  sini  pendapat  Muhaddits  Zainuddin  Iraqi:  "sebagai  seorang  ulama,  Al-Ghazali telah berhasil meringkaskan dan kadang-kadang menjelaskan ajaran-ajaran  Al-Qur'an  dan  hadis,  dalam  karya  abadinya  ini  yang  disamping  AlQur'an dan hadis, merupakan buku petunjuk praktis terakhir dan agama sejati yang ada."
Buku ini memuat delapan bagian dari naskah aslinya.
KATA PENGANTAR
1  -    Pengetahuan Tentang Diri
2  -    Pengetahuan Tentang Tuhan
3  -    Pengetahuan Tentang Dunia
4  -    Pengetahuan Tentang Akhirat
5  -    Tentang Musik dan Tarian Sebagai Pembantu Kehidupan Keagamaan
6  -    Pemeriksaan Diri dan Dzikir Kepada Allah
7   -    Perkawinan Sebagai Pendorong atau Penghalang Dalam Kehidupan Keagamaan
8  -    Cinta Kepada Allah

KATA PENGANTAR
Ketahuilah,  bahwa  manusia  tidak  diciptakan  secara  main-main  atau sembarangan.  Ia  diciptakan  dengan  sebaik-baiknya  dan  demi  suatu  tujuan agung. Meskipun bukan merupakan bagian Yang Kekal, iahidup selamanya; meski  jasadnya rapuh  dan membumi, ruhnya  mulia  dan bersifat ketuhanan. Ketika,  dalam  tempaan  hidup  zuhud,  ia  tersucikan  dari  nafsu  jasmaniah,  ia mencapai tingkat tertinggi; dan sebaliknya, dari menjadi budak nafsu angkara, ia  memiliki  sifat-sifat  malaikat.  Dengan  mencapai  tingkat  ini,  ia  temukan surganya di dalam perenungan tentang Keindahan Abadi, dan tak lagi pada kenikmatan-kenikmatan  badani.  Kimia  ruhaniah  yang  menghasilkan perubahan  ini  dalam  dirinya,  seperti  kimia  yang  mengubah  logam  rendah menjadi emas, tak bisa dengan mudah ditemukan. Untuk menjelaskan kimia dan metode operasinya itulah maka pengarang menyusun karya yang diberi judul Kimia Kebahagiaan ini.
Khazanah-khazanah Tuhan yang mengandung kimia ini, ada  pada hati para nabi. Siapa saja yang mencarinya di tempat lain akan kecewa dan bangkrut di hari kemudian, yakni ketika ia mendengar firman: "...Telah Kami angkat tirai itu darimu, dan pandanganmu pada hari ini sangatlah tajam." (QS 50:22)
Allah  telah  mengutus  ke  dunia  ini  seratus  dua puluh  empat  ribu nabi  untuk mengajar manusia tentang resep kimia ini, dan bagaimana cara mensucikan hati  mereka  dari  sifat-sifat  rendah  melalui  tempaan  zuhud.  Kimia  ini  dapat secara  ringkas  diuraikan  sebagai  berpaling  dari  dunia  untuk  menghadap kepada  Allah.  Bagiannya  ada  empat.  Pertama,  pengetahuan  tentang  diri. Kedua,  pengetahuan  tentang  Allah.  Ketiga,  pengetahuan  tentang  dunia  ini sebagaimana  adanya.  Keempat,  pengetahuan  tentang  akhirat  sebagaimana adanya.
Marilah kita mulai memaparkan keempat bagian ini secara berurutan.


1
Pengetahuan Tentang Diri

Pengetahuan  tentang  diri  adalah  kunci  pengetahuan  tentang  Tuhan,  sesuai dengan  Hadits:  "Dia  yang  mengetahui  dirinya  sendiri, akan  mengetahui Tuhan,"  dan  sebagaimana  yang  tertulis  di  dalam  al-Qur'an:  "Akan  Kami tunjukkan  ayat-ayat  kami  di  dunia  ini  dan  di  dalam  diri mereka,  agar kebenaran  tampak  bagi  mereka."  Nah,  tidak  ada  yang  lebih  dekat  kepada anda kecuali diri anda sendiri. Jika anda tidak mengetahui diri anda sendiri, bagaimana  anda  bisa  mengetahui  segala  sesuatu  yang  lain.  Jika  anda berkata" "Saya mengetahui diri saya"- yang berarti bentuk luar anda; badan, muka  dan  anggota-anggota  badan  lainnya  -  pengetahuan seperti  itu  tidak akan pernah bisa menjadi kunci pengetahuan tentang Tuhan. Demikian pula halnya  jika  pengetahuan  anda  hanyalah  sekedar  bahwa  kalau  lapar  anda makan,  dan  kalau  marah  anda  menyerang  seseorang;  akankah  anda dapatkan  kemajuan-kemajuan  lebih  lanjut  di  dalam  lintasan  ini,  mengingat bahwa dalam hal ini hewanlah kawan anda?
Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya, ada dalam  pengetahuan tentang hal-hal berikut ini:
Siapakah anda, dan dari mana anda datang? Kemana anda pergi, apa tujuan anda datang lalu tinggal sejenak di sini, serta di manakah kebahagiaan anda dan  kesedihan  anda  yang  sebenarnya  berada?  Sebagian  sifat  anda  adalah sifat-sifat binatang, sebagian yang lain adalah sifat-sifat setan dan selebihnya sifat-sifat  malaikat.  Mestai  anda  temukan,  mana  di  antara  sifat-sifat  ini  yang aksidental dan mana yang esensial (pokok). Sebelum anda ketahui hal ini, tak akan bisa anda temukan letak kebahagiaan anda yang sebenarnya.
Pekerjaan hewan hanyalah makan, tidur dan berkelahi.Oleh karena itu, jika anda  seekor  hewan,  sibukkan  diri  anda  dengan  pekerjaan-pekerjaan  ini. Setan selalu sibuk mengobarkan kejahatan, akal bulus dan kebohongan. Jika anda  termasuk  dalam  kelompok  mereka,  kerjakan  pekerjaan  mereka.
Malaikat-malaikat  selalu  merenungkan  keindahan  Tuhan dan  sama  sekali bebas dari kualitas-kualitas hewan. Jika anda punya sifat-sifat malaikat, maka berjuanglah  untuk mencapai sifat-sifat  asal  anda  agar  bisa  anda  kenali dan renungi  Dia  Yang  Maha  Tinggi,  serta  merdeka  dari  perbudakan  nafsu  dan amarah.  Juga  mesti  anda  temukan  sebab-sebab  anda  diciptakan  dengan kedua  insting  hewan  ini:  mestikah  keduanya  menundukkan  dan memerangkap  anda,  ataukah  anda  yang mesti  menundukkan mereka  dan  - dalam  kemajuan  anda  -  menjadikan  salah  satu  di  antaranya  sebagai  kuda tunggangan serta yang lainnya sebagai senjata.
Langkah pertama menuju pengetahuan tentang diri adalah menyadari bahwa anda  terdiri  dari  bentuk  luar  yang  disebut  sebagai  jasad,  dan  wujud  dalam yang  disebut  sebagai  hati  atau  ruh.  Yang  saya  maksudkan  dengan  "hati" bukanlah sepotong daging yang terletak di bagian kiribadan, tetapi sesuatu yang  menggunakan  fakultas-fakultas  lainnya  sebagai  alat  dan  pelayannya. Pada hakikatnya dia tidak termasuk dalam dunia kasat-mata, melainkan dunia maya;  dia  datang  ke  dunia  ini  sebagai  pelancong  yan g mengunjungi  suatu negeri asing untuk keperluan perdagangan dan yang akhirnya akan kembali ke tanah asalnya. Pengetahuan tentang wujud dan sifat-sifatnya inilah yang merupakan kunci pengetahuan tentang Tuhan.
Beberapa  gagasan  tentang  hakikat  hati  atau  ruh  bisa  diperoleh  seseorang yang  mengatupkan  matanya  dan  melupakan  segala  sesuatu  di  sekitarnya selain  individualitasnya.  Dengan  demikian,  ia  juga  akan  memperoleh penglihatan  sekilas  akan  sifat  tak  berujung  dari  individualitas  itu.  Meskipun demikian,  pemeriksaan  yang  terlalu  dekat  kepada  esensi  ruh  dilarang  oleh syariat. Di dalam al-Qur'an tertulis: "Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakan:  Ruh itu  adalah urusan Tuhanku."  (QS 17:85).  Yang  bisa diketahui adalah  bahwa  ia  merupakan  suatu  esensi  tak  terpisahkan  yang  termasuk dalam  dunia  titah,  dan  bahwa  ia  tidak  berasal  dari  sesuatu  yang  abadi, melainkan diciptakan. Pengetahuan filosofis yang tepat tentang ruh bukanlah merupakan pendahuluan yang perlu untuk perjalanan diatas lintasan agama, melainkan muncul lebih sebagai akibat disiplin-diri dan  kesabaran berada di atas  lintasan  itu,  sebagaimana  dikatakan  dalam  al-Qur'an:  "Siapa  yang berjuang di jalan Kami, pasti akan Kami tunjukkan padanya jalan yang lurus." (QS 29:69).
Untuk  melanjutkan  peperangan  ruhaniah  demi  mendapatkan pengetahuan tentang  diri  dan  tentang  Tuhan,  jasad  bisa  digambarkan  sebagai  suatu kerajaan,  jiwa  (ruh)  sebagai  rajanya  serta  berbagai  indera  dan  fakultas  lain sebagai tentaranya. Nalar bisa disebut sebagai wazir atau perdana menteri, nafsu sebagai pemungut pajak dan amarah sebagai petugas  polisi. Dengan berpura-pura  mengumpulkan  pajak,  nafsu  terus-menerus  cenderung  untuk merampas demi kepentingannya sendiri, sementara amarah selalu cenderung kepada  kekasaran  dan  kekerasan.  Pemungut  pajak  dan  petugas  polisi keduanya harus selalu ditempatkan di bawah raja, tetapi tidak dibunuh atau diungguli,  mengingat  mereka  memiliki  fungsi-fungsi  tersendiri  yang  harus dipenuhinya.  Tapi  jika  nafsu  dan  amarah  menguasai  nalar,  maka  -  tak  bisa tidak - keruntuhan jiwa pasti terjadi. Jiwa yang membiarkan fakultas-fakultas yang lebih rendah untuk menguasai yang lebih tinggi  ibarat seseorang yang menyerahkan  seorang  bidadari  kepada  kekuasaan  seekor  anjing,  atau seorang muslim kepada tirani seorang kafir.
Penanaman  kualitas-kualitas  setan,  hewan  ataupun  malaikat  menghasilkan watak-watak yang sesuai dengan kualitas tersebut – yang di Hari Perhitungan akan diwujudkan dalam bentuk kasat-mata, seperti nafsu sebagai babi, ganas sebagai anjing dan serigala, serta suci sebagai malaikat. Tujuan disiplin moral adalah  untuk  memurnikan  hati  dari  karat-nafsu  dan  amarah,  sehingga bagaikan cermin yan gjernih, ia memantulkan cahaya Tuhan.
Barangkali  di  antara  pembaca  ada  yang  akan  berkeberatan,  "Tapi  jika manusia telah diciptakan dengan kualitas-kualitas hewan, setan dan malaikat, bagaimana  bisa  kita  ketahui  bahwa  kualitas  malaikat  merupakan  esensinya yang sebenarnya, sementara kualitas hewan dan setan  hanyalah aksidental dan  peralihan  belaka?"  Atas  pertanyaan  ini,  saya  jawab  bahwa  esensi  tiap makhluk  adalah  sesuatu  yang  tertinggi  di  dalam  dirinya dan  khas  baginya. Kuda  dan  keledai  kedua-duanya  adalah  hewan  pengangkut  beban,  tetapi kuda  lebih  unggul  dari  keledai  karena  ia  dimanfaatkan  untuk  perang.  Jika gagal dalam hal ini, ia pun terpuruk ke tingkatan binatang pengangkut beban. Fakultas  tertinggi  di  dalamnya  adalah  nalar  yang  menjadikannya  bisa merenung  tentang  Tuhan.  Jika  fakultas  ini  dominan  dalam  dirinya,  maka ketika  mati  dia  tinggalkan  di  belakangnya  segenap  kecenderungan  kepada nafsu  dan  amarah,  sehingga  memungkinkannya  berkawan  dengan  para malaikat.  Dalam  hal  pemilikan  kualitas-kualitas  hewan,  manusia  kalah dibanding banyak hewan, tetapi nalar membuatnya lebih unggul dari mereka, sebagaimana  tertulis  di  dalam  al-Qur'an:  "Telah  Kami  tundukkan  segala sesuatu di atas bumi untuk manusia" (QS 45:13). Tetapi jika kecenderungan-kecenderungannya  yang  lebih  rendah  yang  menang,  maka  setelah kematiannya,  dia  akan  selamanya  menghadap  ke  bumi  dan  mendambakan kesenangan-kesenangan duniawi.
Selanjutnya,  jiwa  rasional  di  dalam  manusia  penuh  dengan  keajaiban - keajaiban  pengetahuan maupun kekuatan.  Dengan itu semua  ia  menguasai seni  dan  sains,  ia  bisa  menempuh  jarak  dari  bumi  ke  langit  bolak-balik secepat  kilat,  dan  mampu  mengatur  lelangit  dan  mengukur  jarak  antar bintang.  Dengan  itu  juga  ia  bisa  menangkap  ikan  dari lautan  dan  burung-burung dari udara, serta bisa menundukkan binatang-binatang seperti gajah, unta dan kuda.
Panca inderanya bagaikan lima pintu yang terbuka menghadap ke dunia luar. Tetapi ajaib dari semuanya ini, hatinya memiliki jendela yang terbuka ke arah dunia  ruh  yang  tak  kasat-mata.  Dalam  keadaan  tertidur,  ketika  saluran inderanya  tertutup,  jendela  ini  terbuka  dan  ia  menerima  kesan-kesan  dari dunia tak kasat mata; kadang-kadang bisa ia dapatkan isyarat tentang masa depan. Hatinya bagaikan sebuah cermin yang memantulkan segala sesuatu yang tergambar di dalam Lauhul-mahfuzh. Tapi, bahkan dalam keadaan tidur, pikiran-pikiran  akan  segala  sesuatu  yang  bersifat  keduniaan  akan memburamkan  cermin  ini,  sehingga  kesan-kesan  yang  diterimanya  tidak jelas.  Meskipun  demikian  setelah  mati  pikiran-pikiran  seperti  itu  sirna  dan segala sesuatu tampak dalam hakikat-telanjangnya. Dan kata-kata di dalam al-Qur'an  pun  menyatakan:  "Telah  Kami  angkat  tirai  darimu  dan  hari  ini penglihatanmu amat tajam."
Membuka  sebuah  jendela  di  dalam  hati  yang  mengarah  kepada  yang tak kasat mata ini juga terjadi di dalam keadaan-keadaan yang mendekati ilham kenabian,  yakni  ketika  intuisi  timbul  di  dalam  pikiran,  tak  terbawa  lewat saluran-indera apa pun. Makin seseorang memurnikan dirinya dari syahwat-syahwat  badani  dan  memusatkan  pikirannya  pada  Tuhan,  akan  makin pekalah  ia  terhadap  intuisi-intuisi  seperti  itu.  Orang-orang  yang  tidak  sadar akan hal ini tidak punya hak untuk menyangkal hakikatnya.
Intuisi-intuisi  seperti  itu  tidak  pula  terbatas  hanya  pada  tingkatan  kenabian saja. Sebagaimana juga besi, dengan memolesnya secukupnya, ia akan bisa dijelmakan  menjadi  sebuah  cermin.  Jadi,  dengan  disiplin  yang  memadai, pikiran  siapa  pun  bisa  dijadikan  mampu  menerima  kesan-kesan  seperti  itu. Kebenaran  inilah  yang  diisyaratkan  oleh  Nabi  ketika beliau  berkata:  "Setiap anak lahir dengan suatu fitrah (untuk menjadi muslim);  orang tuanyalah yang kemudian membuatnya menjadi seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi." Setiap manusia,  di  kedalaman  kesadarannya,  mendengar  pertanyaan  "Bukankah Aku  ini  Tuhanmu?"  dan  menjawab  "Ya".  Tetapi  ada  hati yang  menyerupai cermin yang telah sedemikian dikotori oleh karat dan kotoran sehingga tidak lagi memberikan pantulan-pantulan yang jernih. Sementara hati para nabi dan wali,  meskipun  mereka  juga  mempunyai  nafsu  seperti  kita,  sangat  peka terhadap segenap kesan-kesan ilahiah.
Bukan  hanya  dengan  nalar  pengetahuan  capaian  dan  intuitif  saja  jiwa manusia bisa menempati tingkatan palin gutama di antara makhluk-makhluk lain,  tetapi  juga  dengan  nalar  kekuatan.  Sebagaimana malaikat-malaikat berkuasa  atas  kekuatan-kekuatan  alam,  demikian  jugalah  jiwa  mengatur anggota-anggota badan. Jiwa yang telah mencapai suatu  tingkatan kekuatan khusus,  tidak  saja  mengatur  jasadnya  sendiri,  melainkan  juga  jasad  orang lain. Jika mereka ingin agar seseorang yang sakit bisa sembuh, maka si sakit pun akan sembuh, atau menginginkan seseorang yang sehat agar jatuh sakit, maka  sakitlah  orang  itu,  atau  jika  ia  inginkan  kehadiran  seseorang,  maka datanglah  orang  itu  kepadanya.  Sesuai  dengan  baik-buruknya  akibat  yang ditimbulkan  oleh jiwa  yang  sangat kuat  ini,  hal  tersebut  diistilahkan sebagai mukjizat dan sihir. Jiwa ini berbeda dari orang biasa dalam tiga hal:
1.    Yang hanya dilihat oleh orang-orang lain sebagaimimpi, mereka lihat pada saat-saat jaga.
2.    Sementara  kehendak  orang  lain  hanya  mempengaruhi  jasad  mereka saja, jiwa ini, dengan kekuatan kehendaknya, bisa pula menggerakan jasad-jasad di luar mereka.
3.    Pengetahuan  yang  oleh  orang  lain  diperoleh  dengan  belajar  secara sungguh-sungguh, sampai kepada mereka lewat intuisi.
Tentunya bukan hanya tiga tanda ini sajalah yang membedakan mereka dari orang-orang  biasa,  tetapi  hanya  ketiganya  itulah  yang  bisa  kita  ketahui. Sebagaimana  halnya,  tidak  ada  sesuatu  pun  yang  mengetahui  sifat-sifat Tuhan  yang sebenarnya, kecuali Tuhan  sendiri,  maka  tak  ada  seorang  pun yang mengetahui sifat sebenarnya seorang Nabi, kecuali seorang Nabi. Hal ini tak perlu kita herankan, sama halnya dengan di dalam peristiwa sehari-hari kita  melihat  kemustahilan  untuk  menerangkan  keindahan  puisi  pada seseorang  yang telinganya  kebal  terhadap  irama,  atau  menjelaskan keindahan  warna  kepada  seseorang  yang  sama  sekali  buta.  Di  samping ketidakmampuan,  ada  juga  hambatan-hambatan  lain  di  dalam  pencapaian kebenaran  ruhaniah.  Salah  satu  di  antaranya  adalah  pengetahuan  yang dicapai  secara  eksternal.  Sebagai  misal,  hati  bisa  digambarkan  sebagai sumur  dan  pancaindera  sebagai  lima  aliran  yang  dengan  terus-menerus membawa  air  ke  dalamnya.  Agar  bisa  menemukan  kandungan  hati  yang sebenarnya, maka aliran-aliran ini mesti dihentikan untuk sesaat dengan cara apa pun dan sampah yang dibawa bersamanya mesti dibersihkan dari sumur itu.  Dengan  kata  lain,  jika  kita  ingin  sampai  kepada  kebenaran  ruhani  yang murni, pada saat itu mesti kita buang pengetahuan yang telah dicapai dengan proses-proses eksternal dan yang sering sekali mengeras menjadi prasangka dogmatis.
Kesalahan  dari  jenis  lain,  berlawanan  dengan  itu,  dibuat  oleh  orang-orang yang  dangkal  yang  -  dengan  menggemakan  beberapa  ungkapan  yang mereka tangkap dari guru-guru Sufi - ke sana ke mari menyebarkan kutukan terhadap  semua  pengetahuan.  Ia  bagaikan  seseorang  yang  tidak  capak  di bidang  kimia  menyebarkan  ucapan:  "Kimia  lebih  baik  dari  emas,"  dan menolak  emas  ketika  ditawarkan kepadanya. Kimia  memang  lebih  baik dari emas, tapi para ahli kimia sejati amatlah langka, demikian pula Sufi-sufi sejati. Seseorang yang hanya memiliki pengetahuan yang dangkal tentang tasawuf, tidak lebih unggul daripada seorang yang terpelajar. Demikian pula seseorang yang  baru  mencoba  beberapa  percobaan  kimia,  tidak  punya  alasan  untuk merendahkan seorang kaya.
Setiap orang yang mengkaji persoalan ini akan melihat bahwa kebahagiaan memang terkaitkan dengan pengetahuan tentang Tuhan. Tiap fakultas dalam diri kita senang dengan segala sesuatu yang untuknya ia diciptakan. Syahwat senang memuasi nafsu, kemarahan senang membalas dendam, mata senang melihat obyek-obyek yang indah, dan telinga senang mendengar suara-suara yang  selaras.  Fungsi  tertinggi  jiwa  manusia  adalah  pencerapan  kebenaran, karena itu dalam mencerap kebenaran tersebut ia mendapatkan kesenangan tersendiri.  Bahkan  soal-soal  remeh,  seperti  mempelajari  catur,  juga mengandung  kebaikan.  Dan  makin  tinggi  materi  subyek  pengetahuan didapatnya,  makin  besarlah  kesenangannya.  Seseorang  akan senang  jika dipercayai untuk jabatan Perdana  Menteri, tetapi betapa lebih senangnya ia jika sang raja sedemikian akrab dengannya sehingga membukakan soal-soal rahasia baginya.
Seorang  ahli  astronomi  yang  dengan  pengetahuan-nya  bisa  memetakan bintang-bintang dan menguraikan lintasan-lintasannya, mereguk lebih banyak kenikmatan  dari  pengetahuannya  dibanding  seorang  pemain  catur.  Setelah mengetahui bahwa tak ada sesuatu yang lebih tinggi dari Allah, maka betapa akan besarnya kebahagiaan yang memancar dari pengetahuan sejati tentangNya itu!
Orang yang telah kehilangan keinginan akan pengetahuan seperti ini adalah bagaikan seorang yang telah kehilangan seleranya terhadap makanan sehat, atau  yang  untuk  hidupnya  lebih  menyukai  makan  lempung  daripada  roti. Semua  nafsu  badani  musnah  pada  saat  kematian  bersamaan dengan kematian organ-organ yang biasa diperalat nafsu-nafsu  tersebut. Tetapi jiwa tidak. Ia simpan segala pengetahuan tentang Tuhan yang dimilikinya, malah menambahnya.
Suatu bagian penting dari pengetahuan kita tentang Tuhan timbul dari kajian dan  renungan  atas  jasad  kita  sendiri  yang  menampakkan  pada  kita kebijaksanaan,  kekuasaan,  serta  cinta  Sang  Pencipta.  Dengan  kekuasanNya,  Ia  bangun  kerangka  tubuh  manusia  yang  luar  biasa  dari  hanya  suatu tetesan  belaka.  Kebijakan-Nya  terungkapkan  di  dalam  kerumitan  jasad  kita serta  kemampuan  bagian-bagiannya  untuk  saling  menyesuaikan,  Ia perlihatkan  cinta-Nya  dengan  memberikan  lebih  dari  sekadar  organ-organ yang memang mutlak perlu bagi eksistensi - seperti hati,jantung dan otak - tetapi  juga  yang  tidak  mutlak  perlu  -  seperti  tangan,  kaki,  lidan  dan  mata. Kepada semuanya ini telah Ia tambahkan sebagai hiasan hitamnya rambut, merahnya bibir dan melengkungnya bulu mata.
Manusia  dengan  tepat  disebut  sebagi  'alamushshaghir'  atau  jasad-kecil  di dalam  dirinya.  Struktur  jasadnya  mesti  dipelajari,  bukan  hanya  oleh  orangorang  yang  ingin  menjadi  dokter,  tetapi  juga  oleh  orang-orang  yang  ingin mencapai pengetahuan yang lebih dalam tentang Tuhan, sebagaimana studi yang mendalam tentang keindahan dan corak bahasa di dalam sebuah puisi yang agung akan mengungkapkan pada kita lebih banyak tentang kejeniusan pengarangnya.
Di atas semua itu, pengetahuan tentang jiwa memainkan peranan yang lebih penting dalam membimbing ke arah pengetahuan tentang Tuhan ketimbang pengetauhan  tentan  gjasad  kita  dan  fungsi-fungsinya.  Jasad  bisa diperbandingkan dengan seekor kuda dengan jiwa sebagai penunggangnya. Jasad diciptakan untuk jiwa dan jiwa untuk jasad. Jika seorang manusia tidak mengetahui  jiwanya  sendiri  -  yang  merupakan  sesuatu  yang  paling  dekat dengannya - maka apa arti klaimnya bahwa ia telah mengetahui hal-hal lain. Kalau  demikian,  ia  bagaikan  seorang  pengemis  yang  tidak  memiliki persediaan makanan, lalu mengklaim bisa memberi makan seluruh penduduk kota.
Dalam bab ini kita telah berusaha sampai tingkat tertentu untuk memaparkan kebesaran  jiwa  manusia.  Seseorang  yang  mengabaikannya  dan  menodai kapasitasnya dengan karat atau memerosotkannya, pasti menjadi pihak yang kalah  di  dunia  ini  dan  di  dunia  mendatang.  Kebesaran  manusia  yang sebenarnya  terletak  pada  kapasitasnya  untuk  terus-menerus  meraih kemajuan. Jika tidak, di dalam ruang temporal ini, ia  akan menjadi makhluk yang  paling  lemah  di  antara  segalanya  -  takluk  oleh  kelaparan,  kehausan, panas,  dingin  dan  penderitaan.  Sesuatu  yang  paling  ia  senangi  sering merupakan  sesuatu  yang  paling  berbahaya  baginya.  Dan  sesuatu  yang menguntungkannya  tidak  bisa  ia  peroleh  kecuali  dengan  kesusahan  dan kesulitan. Mengenai inteleknya, sekadar suatu kekacauan kecil saja di dalam otaknya  sudah  cukup  untuk  memusnahkan  atau  membuatnya  gila. Sedangkan mengenai kekuatannya, sekadar sengatan tawon saja sudah bisa mengganggu  rasa santai  dan tidurnya.  Mengenai tabiatnya,  dia sudah akan gelisah  hanya  dengan  kehilangan  satu  rupiah  saja.  Dan tentang kecantikannya,  ia  hanya  sedikit  lebih  cantik  daripada  benda-benda memuakkan yang diselubungi dengan kulit halus. Jika tidak sering dicuci, ia akan menjadi sangat menjijikkan dan memalukan.
Sebenarnyalah manusia di dunia ini sungguh amat lemah dan hina. Hanya di dalam  kehidupan  yang  akan  datang  sajalah  ia  akan  mempunyai  nilai,  jika dengan sarana "kimia kebahagiaan" tersebut ia meningkat dari tingkat hewan ke  tingkat  malaikat.  Jika  tidak,  maka  keadaannya  akan  menjadi  lebih  buruk dari orang-orang biadab yang pasti musnah dan menjadi debu. Perlu baginya untuk  -  bersamaan  dengan  timbulnya  kesadaran  akan  keunggulannya sebagai  makhluk  terbaik  -  belajar  mengetahui  juga  ketidak-berdayaannya, karena hal ini juga merupakan salah satu kunci kepada  pengetahuan tentang Tuhan.
2
Pengetahuan Tentang Tuhan

Sebuah  hadits  Nabi  (SAW)  yang  terkenal  berbunyi  "Dia yang  mengenal dirinya,  mengenal  Allah."  Artinya,  dengan  merenungkan  wujud  dan  sifat-sifatNya, manusia sampai pada sebagian pengetahuan tentang Tuhan. Tetapi karena banyak orang yang merenungkan dirinya tidak juga menemui Tuhan, berarti bahwa tentulah ada cara-cara tersendiri untuk melakukan hal tersebut. Kenyataannya,  ada  dua  metode  untuk  bisa  sampai  pada  pengetahuan  ini. Salah  satu  di  antaranya  sedemikian  musykil  sehingga  tidak  bisa  dicerna dengan kecerdasan biasa dan karenanya lebih baik tidak dijelaskan.
Metode yang lain adalah sebagai berikut. Jika seorang manusia merenungkan dirinya, ia akan tahu bahwa sebelumnya ia tidak ada, sebagaimana tertulis di dalam al-Qur'an: "Tidakkah manusia tahu bahwa sebelumnya ia bukan apa-apa?" Selanjutnya ia ketahui  bahwa ia terbuat dari satu tetes  air yang tidak mengandung intelek, pendengaran, kepala, tangan, kaki dan sebagainya. Dari sini  jelaslah  bahwa,  setinggi  apa  pun  tingkat  kesempurnaannya,  ia  tidak menciptakan  dirinya  dan  tidak  pula  ia  mampu  mencipta  seutas  rambut sekalipun.
Betapa sangat tak berdayanya ia pada waktu ia baru hanya berupa setetes air itu!  Jadi,  sebagaimana  telah  kita  lihat  pada  bab  pertama  (Pengetahuan Tentang Diri - pen.), dia dapati pada wujudnya sendiri terpantulkan sebagai, katakanlah,  suatu  miniatur  kekuasaan,  kebijakan  dan  cinta  Sang  Pencipta. Jika  semu  orang  pandai  dari  seluruh  dunia  dikumpulkan  dan  hidup  mereka diperpanjang  sampai  waktu  yang  tidak  terbatas,  tidak  akan  bisa  mereka hasilkan perbaikan apa pun atas bangun satu bagian saja dari jasad manusia.
Misalnya,  pada  penyesuaian  geligi  depan  dan  samping  pada  pengunyahan makanan,  serta  pada  bangun  lidah,  kelenjar-kelenjar  air  liur  dan kerongkongan untuk penelanannya, kita dapati peralatan-peralatan yang tidak bisa  dibuat  lebih  baik  lagi.  Demikian  pula  seseorang  yang  merenungkan tangan dengan lima jari-jarinya yang tidak sama panjang - empat di antaranya dengan  tiga  persendian  dan  jempol  yang  hanya  mempunyai  dua  -  serta dengan  cara  bagaimana  ia  bisa  dipergunakan  untuk  mencekal,  menjinjing atau memukul, secara terus terang akan mengakui bahwa tidak akan mungkin kebijakan manusia bisa membuatnya lebih baik lagi dengan mengubah jumlah dan aturan jari-jari tersebut, atau dengan jalan lain apa pun.
Jika  seorang  manusia  lebih  lanjut  memikirkan  bagaimana  beragam keinginannya  akan  makanan,  penginapan  dan  lain  sebagainya, pemenuhannya  begitu  banyak  disodorkan  dari  gudang  penciptaan,  ia  pun menjadi sadar bahwa rahmat Allah adalah sebesar kekuasaan dan kebijakanNya,  sebagaimaan  Ia  sendiri  berkata:  "Rahmat-Ku  lebih luas  dari  kutukanKu."  Dan  menurut  hadits  Nabi  (SAW),  Allah  lebih  lembut  penciptaan  dirinya sendiri,  manusia  menjadi  tahu  akan  kemaujudan  Tuhan.  Dari  kerangka tubuhnya yang menakjubkan ia mengetahui kekuasaan dan kebijakkan Allah. Dan lewat karunia yang berlimpah untuk memenuhi berbagai kebutuhannya, ia  mengetahui  kecintaan  Allah.  Dengan  cara  ini  pengetahuan  tentang  diri menjadi kunci bagi pengetahuan tentang Allah.
Bukan  saja  sifat-sifat  manusia  merupakan  suatu  pantulan sifat-sifat  Tuhan, tetapi  bentuk  kemaujudan  jiwa  manusia  pun  menghasilkan suatu  wawasan tentang  bentuk  kemaujudan  Allah.  Dengan  demikian  bisa  dikatakan  bahwa Allah  dan  jiwa  kedua-duanya  tidak  terbatasi  oleh  ruang dan  waktu,  serta berada di luar pengelompokan-pengelompokan jumlah dan kualitas. Demikian pula  gagasan-gagasan  tentang  bentuk,  warna  atau  ukuran  tidak  bisa  pula dihubungkan  dengan  keduanya.  Orang  mengalami  kesulitan  untuk membentuk  suatu  konsepsi  tentang  hakikat  semacam  itu  yang  hampa kualitas,  jumlah,  dan  sebagainya,  padahal  kesulitan  yang sama  terkaitkan pula dengan konsepsi tentang perasaan kita sehari-hari, seperti marah, sakit, senang atau cinta. Semuanya itu adalah konsep-konsep pikiran dan tidak bisa dimengerti  oleh  indera,  sementara  kualitas,  jumlah  dan lain  sebagainya adalah  konsep-konsep  indera.  Sebagaimana  telinga  tidak  bisa  mengenali warna,  tidak  pula  mata  bisa  mengenali  suara;  dalam  ketidakmampuan  kita membayangkan  hakikat-hakikat  puncak,  yaitu  Allah  dan  ruh,  kita  dapati  diri kita berada di dalam suatu wilayah di mana konsep-konsep indera tidak bisa ambil bagian. Meskipun demikian, sebagaimana bisa kita lihat, Allah adalah pengatur jagat dan Ia - yang berada di luar ruang dan waktu, kuantitas dan kualitas  -  mengatur  apa-apa  yang  sedemikian  terkondisikan.  Begitu  pulalah ruh mengatur jasad dan anggota-anggotanya dalam keadaan ia sendiri tidak kasat-mata, tidak terbagi-bagi dan tidak tertempatkan  di suatu bagian khusus mana  pun.  Karena,  bagaimana  bisa  sesuatu  yang  tidak  terbagi-bagi tertempatkan di dalam sesuatu yang bisa tergagi-bagi. Dari semuanya ini bisa kita lihat betapa benarnya hadits Nabi (SAW): "Allah  menciptakan manusia di dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri."
Dan  setelah  kita  sampai  pada  sebagian  pengetahuan  tentang  esensi  dari sifat-sifat Allah lewat perenungan akan esensi dan sifat-sifat ruh, maka akan bisa  kita  pahami  metode  kerja,  pengaturan  dan  pendelegasian  kekuasaan Allah kepada kekuatan-kekuatan kemalaikatan dan sebagainya, yaitu dengan jalan mengamati bagaimana masing-masing kita mengatur  kerajaan-kerajaan kecilnya sendiri. Sebagai contoh sederhana, misalkan seorang manusia ingin menulis nama Allah. Pertama sekali keinginan ini terbetik di dalam hati, baru kemudian dibawa ke otak oleh ruh-ruh vital. Bentuk kata  "Allah" tergambar di dalam  relung-relung  otak,  kemudian  berjalan  sepanjang  saluran  syaraf  dan menggerakkan  jari-jari  yang  pada  gilirannya  menggerakkan  pena.  Dengan demikian  nama  "Allah"  terguratkan  di  atas  kertas  tepat  sebagaimana dibayangkan  di  dalam  otak  penulisnya.  Demikian  pula,  jika  Allah menghendaki  sesuatu,  maka  sesuatu  itu  tampil  di  dalam  dataran  ruhaniah yang  di  dalam  al-Qur'an  disebut  sebagai  "Singgasana"  (al-'arsy).  Dari singgasana itu ia berlalu lewat suatu arus spiritual ke arah suatu dataran yang lebih rendah yang disebut kursi (al-kursiy), kemudian bentuknya tampil dalam al-lauh  'al-mahfuzh  yang,  dengan  perantaraan  kekuatan-kekuatan  yang disebut sebagai "malaikat-malaikat", mewujud dan tampildi atas bumi dalam bentuk  tetanaman,  pepohonan  dan  hewan-hewan,  sebagai  pencerminan keinginan  dan  pikiran  Allah,  sebagaimana  huruf-huruf yang  tertulis mencerminkan keinginan yang terbetik di dalam hati dan bentuk yang hadir di dalam otak sang penulis.
Tidak seorang pun bisa memahami seorang raja kecuali seorang raja. Karena itu Tuhan telah menjadikan masing-masing kita sebagai,  katakanlah, seorang raja  dalam  miniatur,  atas  suatu  kerajaan  yang  merupakan  tiruan  dari kerajaan-Nya yang telah disusutkan secara tidak terbatas. Di dalam kerajaan manusia,  singgasana  Allah  dicerminkan  oleh  ruh,  malaikat  (Jibril)  oleh  hati, kursy oleh otak dan lauhul-mahfuzh oleh ruang-gudang pikiran. Jiwa - yang ia sendiri tak tertempatkan dan tak terbagi-bagi - mengatur jasad sebagaimana Allah mengatur jagad.  Pendeknya, kepada kita diamanatkan  suatu kerajaan kecil, dan kita diwajibkan untuk tidak ceroboh dalam mengaturnya.
Mengenai  pengenalan  tentang  bagaimana  Allah  memelihara,  ada  banyak tingkatan  pengetahuan.  Ahli  fisika  biasa,  seperti  seekor  semut  yang merangkak  di  atas  selembar  kertas  dan  mengamati  huruf-huruf  hitam  yang tersebar  di  atasnya,  akan  menunjukkan  "sebab"  hanya  kepada  pena  saja. Seorang astronom, seperti seekor semut dengan pandangan agak lebih luas, bisa  melihat  jari-jari  yang  menggerakkan  pena.  Maksudnya,  ia  mengetahui bahwa  bintang-bintang berada  di  bawah kekuasaan  malaikat-malaikat.  Jadi, sehubungan dengan berbagai tingkat persepsi orang, perdebatan mesti timbul dalam  melacak  sebab  dari  akibat.  Orang-orang  yang  matanya  tidak  pernah melihat  ke  balik  dunia-gejala,  adalah  seperti  orang-orang  yang  salah menempatkan hamba-hamba dari tingkatan yang paling rendah ke tingkatan raja. Hukum-hukum tentang gejala mesti tetap atau, jika tidak, tak akan ada sains  dan  sebagainya;  tetapi  untuk  menempatkan  hamba-hamba  sebagai majikan adalah suatu kesalahan besar.
Selama perbedaan di dalam fakultas perseptif para pengamat ini masih ada, perdebatan  memang  mesti  perlu  berlanjut.  Bagaikan  beberapa  orang  buta yang mendengar  bahwa seekor gajah telah datang ke kotanya, lantas pergi menyelidikinya.  Pengetahuan  yang  bisa  mereka  peroleh hanyalah  lewat indera  perasaan,  sehingga  ketika  seorang  memegang  kaki sang  binatang, yang  satu  lagi  memegang  gadingnya  dan  yang  lain  telinganya,  dan,  sesuai dengan  persepsi  mereka  masing-masing,  mereka  menyatakannya  sebagai suatu batangan, suatu tabung  yang tebal  dan suatu lapisan kapas, masing-masing mengambil sebagian  untuk menyatakan keseluruhannya.  Jadi, sang ahli fisika dan astronomi mengacaukan hukum-hukum yang mereka tangkap dengan  Sang  Penetap  hukum-hukum.  Kesalahan  yang  sama  dilemparkan kepada Ibrahim di dalam al-Qur'an yang meriwayatkan bahwa ia berturut-turut berpaling kepada  bintang-bintahg, bulan dan matahari sebagai obyek-obyek penyembahan, sampai kemudian menjadi sadar tentang Dia  yang membuat segala  sesuatu,  Ibrahim pun  berseru: "Saya  tidak  menyukai segala sesuatu yang terbenam." (QS 6:76).
Kita memiliki sebuah  contoh  yang  sudah  umum  tentang  pengacuan kepada sebab-sebab kedua apa-apa yang seharusnya diacu kepada Sebab Pertama, yaitu  dalam  persoalan  apa  yang  disebut  sebagai  penyakit.  Misalnya  jika seseorang  kehilangan  rasa  tertariknya  apda  urusan  duniawi,  memiliki  rasa benci  terhadap  kesenangan-kesenangan  umum,  dan  tampak  tenggelam dalam  depresi,  dokter  akan  berkata:  "Ini  adalah  kasus  melankoli  yang membutuhkan resep ini dan itu." Seorang ahli fisika akan berkata: "Ini adalah persoalan kekeringan otak yang disebabkan oleh cuaca panas dan tidak bisa disembuhkan  sampai  udara  menjadi  lembab  kembali."  Sang ahli  astrologi akan mengaitkan hal ini dengan konjungsi atau oposisi tertentu planet-planet. "Sejauh  jangkauan  kebijakan  mereka,"  kata  al-Qur'an.  Tidak  terbayangkan oleh  mereka  bahwa  yang  sesungguhnya  terjadi  adalah  seperti  demikian: bahwa  Yang  Maha  Kuasa  berkehendak  mengurus  kesejahteraan  orang  itu, dan  oleh  karenanya  telah  memerintahkan  hamba-hamba-Nya,  yakni  planet-planet atau unsur-unsur, agar menciptakan keadaan seperti itu di dalam diri orang  tersebut,  sehingga  ia  bisa  berpaling  dari  dunia  ke  arah  Penciptanya. Pengetahuan  tentang  kenyataan  ini  merupakan  suatu  mutiara  yang berkilauan  dari  lautan  pengetahuan  keilhaman,  yang  dibandingkan dengannya, semua bentuk pengetahuan lain menjadi bagaikan pulau-pulau di tengah laut.
Dokter,  ahli  fisika  dan  ahli  astrologi  tersebut,  tak  syak  lagi  memang  benar dalam  cabang  pengetahuan-khususnya  masing-masing,  tetapi  mereka  tidak bisa  melihat  bahwa  penyakit  itu  adalah,  katakanlah,  suatu  tali  cinta  yang digunakanoleh  Allah  untuk  menarik  para  wali  mendekat  kepada  diri-Nya. Tentang para wali ini Allah berfirman: "Aku sakit dan  kamu tidak menjengukKu." (ini hanya kiasan-pen). Penyakit itu sendiri adalah salah satu di antara bentuk-bentuk pengalaman yang menjadi sarana bagi manusia untuk sampai pada  pengetahuan  tentang  Allah,  sebagaimana  Ia  lewat mulut  nabi-Nya (SAW):  "Penyakit-penyakit  itu  sendiri  adalah  hamba-hamba-Ku,  dan dikenakan atas pilihan-Ku."
Catatan-catatan  di  atas  memungkinkan  kita  memasuki  lebih  dalam  makna seruan-seruan  yang  melekat  di  bibir  orang-orang  mukmin:  "Subhanallah, alhamdulillah, la ilaha illallah, allahu akbar." Mengenai yang terakhir, kita bisa berkata bahwa hal itu tidaklah berarti bahwa Allah lebih besar dari penciptaan, karena  penciptaan  adalah  pengejawantahan-Nya,  sebagaimana  cahaya adalah  pengejawantahan  matahari.  Dan  akan  tidak  benar kalau  dikatakan bahwa  matahari  lebih  besar  dari  cahayanya  sendiri.  Hal  itu  lebih  berarti bahwa  kebesaran  Allah  sama  sekali  melampaui  kemampuan  kognitif  dan bahwa kita hanya bisa membentuk suatu gagasan yang amat kabur dan tidak sempurna tentang-Nya. Jika seorang anak meminta kita untuk menerangkan padanya kesenangan-kesenangan  yang ada di dalam pemilikan kedaulatan, kita bisa berkata bahwa hal itu adalah seperti kesenangan-kesenangan yang ia rasakan di dalam bermain-main dengan alat pemukuldan bola, meskipun pada hakikatnya keduanya tidak memiliki sesuatu yang sama kecuali bahwa keduanya termasuk ke dalam katagori kesenangan. Jadi, seruan Allahu akbar berarti bahwa kebesaran-Nya jauh melampaui kemampuan  pemahaman kita. Lagi  pula,  pengetahuan  tentang  Allah  yang  tidak  sempurna  seperti  itu  - sebagaimana yang bisa kita peroleh - bukanlah sekadar suatu pengetahuan spekulatif belaka, tetapi mesti dibarengi dengan penyerahan dan ibadah. Jika seseorang meninggal dunia, dia berurusan hanya dengan Allah saja. Dan jika kita  harus  hidup  bersama  seseorang,  kebahagiaan  kita  sama  sekali tergantung pada tingkat kecintaan yang kita rasakan kepadanya. Cinta adalah benih kebahagiaan, dan cinta kepada Allah ditumbuhkan dan dikembangkan oleh ibadah. Ibadan dan zikir yang terus-menerus seperti itu mengisyaratkan suatu  tingkat  tertentu  dari  keprihatinan  dan  pengekangan  nafsu-nafsu badaniah. Hal ini tidak berarti bahwa seseorang diharapkan untuk sama sekali memusnahkan nafsu-nafsu badaniah itu, karena jika demikian halnya, maka ras  manusia  akan  musnah.  Tetapi  batasan-batasan  yang  ketat  mesti dikenakan  pada  usaha  pemuasannya.  Dan  karena  manusia  bukan  hakim yang  terbaik  dalam  kasusnya  sendiri,  maka  untuk  menetapkan batasan-batasan  apa  yang  harus  dikenakan  itu  sebaiknya  ia  konsultasikan  masalah tersebut  kepada  pembimbing-pembimbing  ruhaniah.  Pembimbing-pembimbing ruhaniah seperti itu adalah para nabi. Hukum-hukum yang telah mereka tetapkan berdasar wahyu Tuhan menentukan batasan-batasan yang mesti  ditaati  dalam  persoalan-persoalan  ini.  Orang  yang  melanggar  batasbatas  ini  berarti  "telah  menganiaya  dirinya  sendiri",  sebagaimana  tertulis  di dalam  al-Qur'an.  Meskipun  pernyataan  al-Qur'an  ini  telah  jelas,  masih  ada juga orang-orang yang, karena kejahilannya tentang Allah, melanggar batas-batas tersebut. Kejahilan ini bisa disebabkan karena berbagai sebab.
Pertama, ada orang yang gagal menemukan Allah lewat pengamatan, lantas menyimpulkan  bahwa  Allah  itu  tidak  ada  dan  bahwa  dunia  yang  penuh keajaiban-keajaiban ini menciptakan dirinya sendiri atau ada dari keabadian. Mereka  bagaikan  seseoran  gyang  melihat  suatu  huruf  yang tertulis  dengan indah kemudian menduga bahwa tulisan itu tertulis dengan sendirinya tanpa ada  penulisnya,  atau  memang  sudah  selalu  ada.  Orang-orang  dengan  cara berpikir  seamcam ini  sudah  terlalu jauh tersesat sehingga  berdebat  dengan mereka akan sedikit sekali manfaatnya. Orang-orang seperti itu mirip seorang ahli fisika dan astronomi yang kita sebut di atas.
Kedua,  sejumlah  orang  yang,  akibat  kejahilan  tentang  sifat  jiwa  yang sebenarnya, menolak doktrin kehidupan akhrat, tempat manusia akan diminta pertanggungjawabannya  dan  diberi  balasan  baik  atau  dihukum.  Mereka anggap  diri  mereka  sendiri  sebagai  tidak  lebih  baik  daripada  hewan-hewan atau sayur-sayuran, dan sama-sama bisa musnah.
Ketiga,  di  lain  pihak,  ada  orang  yang  percaya  pada  Allah  dan  kehidupan akhirat,  tapi  hanya  dengan  iman  yang  lemah.  Mereka  berkata  kepada  diri mereka  sendiri.  "Allah  itu  Maha  Besar  dan  tidak  tergantung  pada  kita;  kita beribadah atau tidak merupakan masalah yang sama sekalitidak penting bagi Dia."  Mereka  berpikir  seperti  orang  sakit  yang  ketika  oleh  dokter  diberi peraturan pengobatan tertentu kemudian berkata: "Yah, saya ikuti atau tidak, apa urusannya dengan dokter itu." Tentunya hal ini tidak berakibat apa-apa terhadap dokter tersebut, tetapi pasien itu bisa merusak dirinya sendiri akibat ketidaktaatannya.  Sebagaimana  pastinya  penyakit  jasad  yang  tak  terobati berakhir  dengan  kematian  jasad,  begitu  pula  penyakit jiwa  yang  tak tersembuhkan  akan  berakhir  dengan  kepedihan  di  masa  datang.  Sesuai dengan kata-kata al-Qur'an: "Orang-orang yang akan diselamatkan hanyalah yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih."
Keempat,  adalah  orang-orang  kafir  yang  berkata:  "Syariah  mengajarkan kepada  kita  untuk  menahan  amarah,  nafsu  dan  kemunafikan.  Hal  ini  jelas tidak mungkin dilaksanakan, mengingat manusia diciptakan  dengan kualitas-kualitas  bawaan  seperti  ini  di  dalam  dirinya.  Sama  saja  dengan  kamu meminta agar kami jelmakan yang hitam menjadi putih." Orang-orang jahil itu sama sekali buta akan kenyataan bawha syariah tidak mengajarkan kita untuk mencerabut  nafsu-nafsu  ini,  melainkan  untuk  meletakkan  mereka  di  dalam batas-batasnya.  Sehingga,  dengan  menghindar  dari  dosa-dosa  besar,  kita bisa  mendapatkan  ampunan  atas  dosa-dosa  kita  yang  lebih kecil.  Bahkan, Nabi  saw.  berkata:  "Saya  adalah  manusia  seperti  kamu  juga,  dan  marah seperti yang lain-lain." Dan di dalam al-Qur'an tertulis: "Allah mencintai orang-orang  yang  menahan  amarahnya,"  bukan  orang-orang  yang  tidak  punya marah sama sekali.
Kelima, adalah kelompok yang menonjol-nonjolkan kemurahan Allah seraya mengabaikan  keadilan-Nya,  kemudian  berkata  kepada  dirinya  sendiri:  "Ya, apa  pun  yang  kita  kerjakan,  Allah  Maha  Pemaaf."  Mereka tidak  berpikir bahwa meskipun Allah itu bersifat pemaaf, beribu-ribu manusia hancur secara menyedihkan  karena  kelaparan  dan  penyakit.  Mereka  mengetahui  bahwa siapa  saja  yang  menginginkan  suatu  kehidupan,  kemakmuran atau kepintaran, tidak boleh sekadar berkata, "Tuhan Maha  Pemaaf," tetapi mesti berusaha sendiri dengan keras. Meskipun al-Qur'an berkata: "Semua makhluk hidup  rizkinya  datang  dari  Allah,"  di  sana  tertulis  pula:  "Manusia  tidak mendapatkan  sesuatu  kecuali  dengan  berusaha."  Kenyataannya  adalah: ajaran  semacam  itu  berasal  dari  setan,  dan  orang-orang seperti  itu  hanya berbicara dengan bibirnya, tidak dengan hatinya.
Keenam,  adalah  kelompok  yang  mengklaim  sebagai  telah  mencapai  suatu tingkat  kesucian  tertentu  sehingga  dosa  tidak  dapat  lagi mempengaruhi mereka.  Meski  demikian,  jika  anda  perlakukan  salah  seorang di  antara mereka  dengan  tidak  hormat,  dia  akan  menaruh  dendam  terhadap  anda selama  bertahun-tahun.  Dan  jika  salah  seorang  di  antara  mereka  tidak mendapatkan  sebutir  makanan  yang  dia  pikir  merupakan  haknya,  seluruh dunia  akan  tampak  gelap  dan  sempit  baginya.  Bahkan,  jika  ada  di  antara mereka  benar-benar bisa menaklukkan nafsu-nafsunya, mereka tidak punya hak untuk membuat klaim semacam itu, mengingat para nabi - jenis manusia yang  tertinggi  -  terus-menerus  mengakui  dan  meratapi dosa-dosa  mereka. Beberapa  di  antara  mereka  mempunyai  dosa  yang  sedemikian  besar, sehingga  mereka  bahkan  menjauhkan  diri  dari  hal-hal  yang  halal.  Pernah diriwayatkan  dari  Nabi  saw.  bahwa  suatu  hari  ketika  sebutir  koma  dibawa kepadanya, beliau tidak mau memakannya hanya lantarantidak yakin bahwa korma  tersebut  diperoleh  secara  halal.  Sementara  orang-orang  yang berkehidupan  bebas  ini  mau  meneguk  berliter-liter  anggur  dan  mengklaim (saya menggigil pada saat menulis ini) sebagai lebih unggul  dari Nabi yang kesuciannya  diancam  oleh  sebutir  kurma,  sementara  mereka  tidak terpengaruh  oleh  anggur  sebanyak  itu.  Patutlah  jika  setan  membenamkan mereka  ke  dalam  kehancuran  total.  Orang-orang  suci  sejati  mengetahui bahwa orang yang tidak bisa menguasai nafsu-nafsunya tidak pantas disebut sebagai  seorang  manusia.  Dan  bahwa  seorang  muslim  sejati adalah  orang yang  dengan  senang  hati  mau  mengakui  batas-batas  yang  ditetapkan  oleh syariah.  Orang  yang  berupaya  dengan  dalih  apa  pun  untuk  mengabaikan kewajiban-kewajibannya,  sudah  jelas  berada  dalam  pengaruh  setan  dan harus  diajak  berbicara  tidak  dengan  sebatang  pena,  tapi  dengan  sebilah pedang.  Para  penganut  mistik  palsu  semacam  ini  kadang-kadang  berpurapura telah tenggelam di dalam lautan ketakjuban. Tetapi, jika anda bertanya kepada  mereka  tentang  apa  yang  mereka  takjubkan,  mereka tidak  tahu. Mereka mesti disuruh agar takjub semau mereka, tetapi pada saat yang sama agar  mengingat  bahwa  Yang  Maha  Kuasa  adalah  penciptanya,  dan  bahwa mereka adalah abdi-abdi-Nya.

3
Pengetahuan Tentang Dunia

Dunia  ini  adalah  sebuah  panggung  atau  pasar  yang  disinggahi  oleh  para musafir di tengah perjalannya ke tempat lain. Di sinilah mereka membekali diri dengan  berbagai perbekalan  untuk perjalanan itu. Jelasnya,  di sini manusia dengan  menggunakan  indera-indera  jasmaniahnya,  memperoleh  sejumlah pengetahuan  tentang  karya-karya  Allah  serta,  melalui  karya-karya  tersebut, tentang  Allah  sendiri.  Suatu  pandangan  tentang-Nya  akan  menentukan kebahagiaan  masa-depannya.  Untuk  memperoleh  pengetahuan  inilah  ruh manusia  diturunkan  ke  alam  air  dan  lempung  ini.  Selama  indera-inderanya masih  tinggal  bersamanya,  dikatakan  bahwa  ia  berada  di "alam  ini".  Jika kesemuanya  itu  pergi  dan  hanya  sifat-sifat  esensinya  saja yang  tinggal, dikatakan ia telah pergi ke "alam lain".
Sementara  manusia  berada  di  dunia  ini  ada  dua  hal  yang  perlu  baginya. Pertama,  perlindungan  dan  pemeliharaan  jiwanya;  kedua,  perawatan  dan pemeliharaan jasadnya. Pemeliharaan yang tepat atas jiwanya, sebagaimana ditunjukkan di atas, adalah pengetahuan dan cinta akan  Tuhan. Terserap ke dalam  kecintaan  akan  segala  sesuatu  selain  Allah  berarti  keruntuhan  jiwa. Jasad bisa dikatakan sebagai sekadar hewan tunggangan jiwa dan musnah, sementara jiwa terus abadi. Jiwa mesti merawat badan persis sebagaimana seorang peziarah, dalam perjalanannya ke Makkah, merawat ontanya. Tetapi jika  sang  peziarah  menghabiskan  waktunya  untuk  memberi  makan  dan menghiasi  ontanya,  kafilah  pun  akan  meninggalkannya  dan ia  akan  mati  di padang pasir.
Kebutuhan-kebutuhan  jasmaniah  manusia  itu  sederhana  saja,  hanya  terdiri dari  tiga  hal;  makanan,  pakaian  dan  tempat  tinggal.  Tetapi  nafsu-nafsu jasmaniah yang tertanam di dalam dirinya dan keinginan untuk memenuhinya cenderung untuk memberontak melawan nalar yang lebih belakangan tumbuh dari  nafsu-nafsu  itu.  Sesuai  dengan  itu,  sebagaimana  kita  lihat  di  atas, mereka perlu dikekang dan dikendalikan dengan hukum-hukum Tuhan yang disebarkan oleh para nabi.
Sedangkan  mengenai  dunia  yang  mesti  kita  garap,  kita  dapati  ia terkelompokkan dalam tiga bagian, hewan, tetumbuhan dan barang tambah. Produk-produk  dari  ketiganya  terus-menerus  dibutuhkan  oleh  manusia  dan telah  mengembangkan  tiga  pekerjaan  besar;  pekerjaan  para  penenun, pembangun  dan  pekerja  logam.  Sekali  lagi,  semuanya  itu  memiliki  banyak cabang  yang  lebih  rendah  seperti  penjahit,  tukang  batu  dan  tukang  besi.
Tidak  ada  daripadanya  yang  bisa  sama  sekali  bebas  dari  yang  lain.  Hal  ini menimbulkan  berbagai  macam  hubungan  perdagangan  dan  seringkali mengakibatkan  kebencian,  iri  hari,  cemburu  dan  lain-lain  penyakit  jiwa. Karenanya  timbullah  pertengkaran  dan  perselisihan,  kebutuhan  akan pemerintahan politik dan sipil serta ilmu hukum.
Demikianlah, pekerjaan-pekerjaan dan bisnis-bisnis didunia ini telah menjadi semakin  rumit  dan  menimbulkan  kekacauan.  Sebab  utamanya adalah manusia telah lupa  bahwa kebutuhan-kebutuhan mereka sebenarnya hanya tiga; pakaian, makanan dan tempat tinggal, dan bahwa kesemuanya itu ada hanya  demi  menjadikan  jasad  sebagai  kendaraan  yang  layak  bagi  jiwa  di dalam perjalanannya menuju dunia berikutnya. Mereka  terjerumus ke dalam kesalahan  yang  sama  sebagaimana  sang  peziarah  menuju  Makkah  yang, karena melupakan tujuan ziarah dan dirinya sendiri, terpaksa menghabiskan seluruh waktunya untuk memberi makan dan menghiasi ontanya. Seseorang pasti  akan  terpikat  dan  terseibukkan  oleh  dunia  -  yang  oleh  Rasulullah dikatakan  sebagai  tukang  sihir  yang  lebih  kuat  daripada Harut  dan  Marut  - kecuali jika orang tersebut menyelenggarakan pengawasan yang paling ketat.
Watak  penipu  dari  dunia  ini  bisa  mengambil  berbagai  bentuk.  Pertama,  ia berpura-pura  seakan-akan  bakal  selalu  tinggal  dengan  anda,  sementara nyatanya  ia  pelan-pelan  menyingkir  dari  anda  dan  menyampaikan  salam perpisahan,  sebagaimana  suatu  bayangan  yang  tampaknya tetap,  tetapi kenyatannya  selalu  bergerak.  Demikian  pula,  dunia  menampilkan  dirinya  di balik  kedok  nenek  sihir  yang  berseri-seri  tetapi  tak  bermoral,  berpura-pura mencintai  anda,  menyayangi  anda  dan  kemudian  membelot  kepada  musuh anda, meninggalkan anda mati merana karena rasa kecewa dan putus asa. Isa  a.s. melihat  dunia terungkapkan  dalam  bentuk seorang  wanita tua  yang buruk  muka.  Ia  bertanya  kepada  wanita  itu,  berapa  banyak  suami  yang dipunyainya,  dan  mendapat  jawaban,  jumlahnya  tak  terhitung.  Ia  bertanya lagi,  telah  matikah  mereka  ataukah  diceraikan.  Kata  si  wanita,  ia  telah memenggal  mereka  semua.  "Saya  heran",  kata  Isa  a.s.,  "atas  kepandiran orang yang melihat apa yang telah kamu kerjakan kepada orang lain, tetapi masih tetap menginginimu." Wanita sihir ini mematut dirinya dengan pakaian indah-indah dan penuh permata, menutupi mukanya dengan cadar, kemudian mulai  merayu  manusia.  Sangat  banyak  dari  mereka  yang  mengikutinya menuju kehancuran diri mereka sendiri. Rasulullah saw. Bersabda bahwa di Hari  Pengadilan,  dunia  ini  akan  tampak  dalam  bentuk seorang  nenek  sihir yang seram, dengan mata yang hijau dan gigi bertonjolan. Orang-orang yang melihat  mereka  akan  berkata,  "Ampun!  Siapa  ini?"  Malaikat  pun  akan menjawab, "Inilah dunia yang deminya engkau bertengkar dan berkelahi serta saling  merusakkan  kehidupan  satu  sama  lain."  Kemudian  wanita  itu  akan dicampakkan  ke  dalam  neraka  sementara  dia  menjerit  keras-keras,  "Oh Tuhan,  di  mana  pencinta-pencintaku  dahulu?"  Tuhan  pun  kemudian  akan memerintahkan agar mereka juga dilemparkan mengikutinya.
Siapa pun yang mau secara serius merenung tentang keabadian yang telah lalu,  akan  melihat  bahwa  kehidupan  ini  seperti  sebuah  perjalanan  yang babakannya  dicerminkan  oleh  tahun,  liga-liga  (ukuran  jarak,  kira-kira  sama dengan tiga mil) oleh bulan, mil-mil oleh hari, danlangkah-langkah oleh saat. Kemudian, kata-kata apa yang bisa menggambarkan ketololan manusia yang berupaya untuk menjadikannya tempat tinggal abadi dan membuat rencana-rencana untuk sepuluh tahun mendatang mengenai apa-apa yang boleh jadi tak  pernah  ia  butuhkan,  karena  sangat  mungkin  ia  sepuluh  hari  lagi  sudah berada di bawah tanah.
Orang-orang  yang  telah  mengumbar  diri  tanpa  batas  dengan  kesenangan-kesenangan dunia ini, pada saat kematiannya  akan seperti seseorang yang memenuhi  perutnya  dengan  bahan  makanan  terpilih  dan lezat,  kemudian memuntahkannya.  Kelezatannya  telah  hilang,  tetapi  ketidak-enakannya tinggal.  Makin  berlimpah  harta  yang  telah  mereka  nikmati  -  taman-taman, budak-budak  laki  dan  perempuan,  emas,  perak  dan  lain  sebagainya  -  akan makin  keraslah  mereka  rasakan  kepahitan  berpisah  dari  semuanya  itu. Kepahitan  ini  akan  terasa  lebih  berat  dari  kematian, karena  jiwa  yang telah menjadikan  ketamakan  sebagai  suatu  kebiasaan  tetap  akan  menderita  di dunia yang akan datang akibat kepedihan nafsu-nafsu yang tak terpuasi.
Sifat  berbahaya  lainnya  dari  benda-benda  duniawi  adalah  bahwa  pada mulanya mereka tampak sebagai sekadar hal-hal sepele, tetapi hal-hal yang dianggap  sepele  ini  masing-masing  bercabang  tak  terhitung  banyaknya sampai  menelan  seluruh  waktu  dan  energi  manusia.  Isa  a.s. bersabda: "Pencinta  dunia  ini  seperti  seseorang  yang  minum  air  laut;  makin  banyak minum,  makin  hauslah  ia  sampai  akhirnya  mati  akibat  kehausan  yang  tak terpuasi," Rasulullah saw. bersabda: "Engkau tak bisa lagi bercampur dengan dunia tanpa terkotori olehnya, sebagaimana engkau tak bisa menyelam dalam air tanpa menjadi basah".
Dunia ini seperti sebuah meja yang terhampar bagi tamu-tamu yang datang dan  pergi  silih  berganti.  Ada  piring-piring  emas  dan  perak,  makanan  dan parfum yang berlimpah-limpah. Tamu yang bijaksana makan sebanyak yang ia  butuhkan,  menghirup  harum-haruman,  mengucapkan  terima  kasih  pada tuan  rumah,  lalu  pergi.  Sebaliknya  tamu-tamu  yang  tolol  mencoba  untuk membawa beberapa piring emas dan perak hanya dengan akibat semua itu direnggutkan  dari  tangannya  dan  ia  pun  dicampakkan  ke  dalam  keadaan kecewa dan malu.
Akan kita tutup gambaran tentang sifat-menipu dunia dengan tamsil pendek berikut  ini.  Misalkan  sebuah  kapal  akan  sampai  pada  sebuah  pulau  yang berhutan lebat. Kapten kapal berkata kepada para penumpang bahwa ia akan berhenti  selama  beberapa  jam  di  sana,  dan  mereka  boleh  berjalan-jalan  di pantai sebentar, tetapi memperingatkan mereka agar tidak terlalu lama. Maka para  penumpang  pun  turun  dan  bertebaran  ke  berbagai  arah.  Meskipun demikian,  orang  yang  paling  bijaksana  akan  segera  kembali,  menemukan bahwa  kapal  itu  kosong,  lalu  memilih  tempat  yang paling  nyaman  di dalamnya.  Kelompok  penumpang  yang  kedua  menghabiskan  waktu  yang agak  lebih  lama  di  pulau  tersebut,  mengagumi  dedaunan,  pepohonan  dan mendengarkan  nyanyian  burung-burung.  Ketika  kembali  ke  kapal  mereka temui  tempat-tempat  yang  paling  nyaman  di  kapal  tersebut  telah  terisi  dan terpaksa  puas  dengan  tempat  yang  agak  kurang  nyaman.  Kelompok  ketiga berjalan-jalan lebih lauh lagi dan menemukan batu-batu berwarna yang amat indah,  lalu  membawanya  kembali  ke  kapal.  Keterlambatan  itu  memaksa mereka  untuk  mendekam  jauh  di  bagian  paling  rendah  kapal  itu,  tempat mereka  dapati  batu-batuan  yang  mereka  bawa  -  yang  ketika  itu  telah kehilangan  segenap  keindahannya  -  mengganggu  mereka  di perjalanan. Kelompok terakhir berjalan-jalan sedemikian jauh sehingga tak bisa dijangkau lagu  oleh  suara  kapten  kapal  yang  memanggil  mereka  untuk  kembali  ke kapal.  Sehingga  kapal  itu  pun  akhirnya  terpaksa  berlayar  tanpa  mereka. Meraka  luntang-lantung  dalam  keadaan  tanpa  harapan  dan  akhirnya  mati kelaparan, atau menjadi mangsa binatang buas.
Kelompok  pertama  mencerminkan  orang-orang  beriman  yang  sama  sekali menjauhkan  diri  dari  dunia,  dan  kelompok  yang  terakhir  adalah  kelompok orang  kafir  yang  hanya  mengurusi  dunia  ini  dan  sama  sekali  tidak mengacuhkan yang akan datang. Dua kelompok di antaranya adalah orangorang  yang  masih  mempunyai  iman,  tapi  menyibukkan  diri mereka,  sedikit atau banyak, dengan kesia-siaan benda-benda sekarang.
Meskipun telah kita katakan banyak hal yang menentang dunia, mesti diingat bahwa ada beberapa hal di dunia ini yang tidak termasuk di dalamnya, seperti ilmu dan amal baik. Seseorang membawa bersamanya ilmuyang ia miliki ke dunia  yang  akan  datang  dan,  meskipun  amal-amal  baiknya  telah  lampau, efeknya  tetap  tinggal  dalam  pribadinya.  Khususnya  dengan  ibadah  yang menjadikan orang terus-menerus ingat dan cinta kepada Allah. Semuanya ini termasuk "hal-hal yang baik", dan sebagaimana difirmankan dalam al-Quran, "tidak akan hapus."
Ada  hal-hal  lainnya  yang  baik  di  dunia  ini,  seperti  perkawinan,  makanan, pakaian  dan  lain  sebagainya,  yang  oleh  orang  yang  bijaksana  digunakan sekadarnya untuk membantunya mencapai dunia yang akan  datang. Bendabenda lain yang memikat pikiran yang menyebabkan setiapkepada dunia ini dan  ceroboh  tentang  dunia  lain,  adalah  benar-benar  kejahatan  dan disebutkan  oleh  Rasulullah  saw.  dalam  sabdanya:  "Dunia  ini  terkutuk  dan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya juga terkutuk, kecuali zikir kepada Allah dan segala sesuatu yang mendukung perbuatan itu."


4
PENGETAHUAN TENTANG AKHIRAT

Berkenaan  dengan  nikmat  surgawi  dan  siksaan-siksaan  neraka  yang  akan mengikuti  kehidupan  ini,  semua  orang  yang  percaya  pada  al-Qur'an  dan Sunnah  sudah  cukup  mengetahuinya.  Tapi  ada  suatu  hal yang  sering terlewatkan  oleh  mereka,  yaitu  bahwa  ada  juga  suatu  surga  ruhaniah  dan neraka ruhaniah. Mengenai surga ruhaniah, Allah berfirman kepada NabiNya, "Mata  tidak  melihat,  tidak  pula  telinga  mendengarnya, tak  pernah  pula terlintas dalam hati manusia apa-apa yang disiapkan bagi orang-orang yang takwa."  Di  dalam  hati  manusia  yang  tercerahkan  ada  sebuah  jendela  yang membuka ke arah hakikat-hakikat dunia ruhaniah, sehingga ia mengetahui - bukan  dari  kabar  angin  atau  kepercayaan  tradisional,  melainkan  dengan pengalaman nyata - segala sesuatu yang menyebabkan kerusakan ataupun kebahagiaan  di  dalam  jiwa,  persis  sama  jelas  dan  tegasnya  sebagaimana seorang  dokter  mengetahui  apa  yang  menyebabkan  penyakit ataupun menyehatkan  tubuh.  Ia  tahu  bahwa  pengetahuan  tentang  Allah  dan  ibadah bersifat mengobati, dan bahwa kejahilan dan dosa adalah racun-racun maut bagi  jiwa.  Banyak  orang,  bahkan  juga  yang  disebut  sebagai  ulama,  karena mengikuti secara membuta pendapat orang lain, tidak mempunyai keyakinan yang  sesungguhnya  dalam  iman  mereka  berkenaan  dengan  kebahagiaan atau penderitaan jiwa di akhirat. Tetapi orang yangmau mempelajari masalah ini  dengan  pikiran  yang  tak  terkotori  oleh  prasangka  akan  sampai  pada keyakinan yang jelas tentang masalah ini.
Akibat  kematian  atas  sifat  gabungan  (komposit)  manusia  adalah  sebagai berikut. Manusia punya dua jiwa, jiwa hewani dan jiwa  ruhani. Jiwa ruhani ini bersifat malaikat. Tempat jiwa hewaniah adalah dalamhati, tempat dari mana jiwa ini menyebar seperti uap halus dan menyelusupisemua anggota tubuh, memberikan  tenaga  atau kemampuan  melihat pada mata, mendengar  pada telinga, serta kepada  semua  anggota  tubuh memberikan  kemampuan untuk menyelenggarakan  fungsi-fungsinya.  Hal  ini  bisa  dibandingkan  dengan sebuah  lampu  yang  ditempatkan  di  dalam  suatu  pondok  yang cahayanya jatuh pada dinding-dinding ke mana pun ia pergi. Hati adalah sumbu lampu ini, dan jika penyaluran minyaknya diputus karena suatualasan, maka matilah lampu itu. Seperti itulah kematian jiwa hewani. Tidak demikian halnya dengan jiwa ruhani atau jiwa manusiawi. Ia tak terpilahkan dan dengannya manusia mengenali Allah. Boleh dikatakan dialah pengendara jwa hewani. Dan ketika jiwa  hewani  musnah,  ia  tetap  tinggal,  tetapi  laksana  seorang  penunggang kuda  yang telah  turun atau seperti  seorang  pemburu  yan gtelah kehilangan senjatanya.  Kuda dan  senjata-senjata  itu  dianugerahkan  pada  jiwa manusia agar dengan itu semua ia bisa mengejar dan menangkap keabadian cinta dan pengetahuan tantang Allah. Jika ia telah berhasil melakukan penangkapan itu, maka  bukannya  berkeluh  kesah,  ia  pun  merasa  lega  ketika  bisa menyingkirkan senjata-senjata itu. Oleh karena itu Rasulullah saw. bersabda, "Kematian  adalah  suatu  hadiah  Tuhan  yang  diharap-harapkan  oleh  para mukminin." Tapi celakalah kalau jiwa itu kehilangan kuda dan senjata-senjata pemburuannya  sebelum  berhasil  memperoleh  hadiah  tersebut.  Kesedihan dan penyesalannya akan tak terperikan.
Pembahasan yang agak lebih jauh akan menunjukkan betapa bedanya jiwa manusia  dari  jasad  dan  anggota-anggotanya.  Setiap  anggota  tubuh  bisa rusak dan berhenti bekerja, tapi individualitas jiwa tak terganggu. Lebih jauh lagi,  jasad  yang  anda  miliki  sekarang  tidak  lagi  berupa  jasad  sebagaimana yang  anda  miliki  pada  waktu  kecil,  melainkan  sudah  berbeda  sama  sekali. Meskipun demikian, kepribadian anda sekarang ini sama dengan pada waktu itu. Karena itu, sangat mudahlah untuk membayangkannya sebagai terus ada bersama-sama sifat-sifat esensialnya yang tak tergantungpada tubuh, seperti pengetahuan  dan cinta  akan Tuhan. Inilah  arti ayat  al-Qur'an,  "hal-hal  yang baik  itu  abadi."  Tetapi,  jika  sebaliknya  daripada  membawa  pengetahuan bersama  anda,  anda  malah  menyeleweng  dalam  kejahilan  tentang  Allah. Kejahilan  ini  juga  merupakan  suatu  sifat  esensial  dan  akan  tinggal  abadi bagai  kegelapan  jiwa  dan  benih  kesedihan.  Oleh  karena itu,  al-Qur'an berkata, "Orang yang buta di dalam hidup ini akan buta di akhirat dan tersesat dari jalan yang lurus."
Alasan bagi kembalinya ruh manusia yang sedang kita bicarakan ini merujuk ke dunia yang lebih tinggi adalah bahwa ia berasal dari sana dan bahwa ia bersifat malaikat. Ia dikirim ke ruang yang lebih rendah ini berlawanan dengan kehendaknya demi memperoleh pengetahuan dan pengalaman, sebagaimana Allah berfirman di dalam al-Qur'an, "Turunlah dari sini kamu semuanya, akan datang  padamu  perintah-perintah  dari-Ku  dan  siapa  yang  menaatinya  tidak perlu takut dan tak perlu pula mereka gelisah." Ayat: "Aku tiupkan ke dalam diri  manusia  ruh-Ku"  juga  menunjukkan  asal  samawi  jiwa  manusia. Sebagaimana  kesehatan  jiwa  hewani  adalah  berupa  kesimbangan  dari bagian-bagian  penyusunannya,  dan  keseimbangan  ini  bisa  dipulihkan  jika mengalami  gangguan,  oleh  obat-obat  yang  sehat,  demikian  pulalah kesehatan  jiwa  manusia  berbentuk  suatu  keseimbangan  moral  yang dipelihara  dan  diperbaiki,  jika  dibutuhkan,  oleh  perintah-perintah  etis  dan ajaran-ajaran moral.
Berkenaan dengan kemaujudan dunia di masa yang akan datang, telah kita lihat bahwa jiwa manusia secara esensial tak tergantung  pada tubuh. Semua keberatan  terhadap  kemaujudannya  setelah  kematian,  didasarkan  pada dugaan  adanya  keperluan  akan  pemulihan  jasad  terdahulunya  yang  telah jatuh  ke  tanah.  Beberapa  ahli  kalam  menduga  bahwa  jiwa  manusia  tak termusnahkan  setelah  mati, malah terpulihkan.  Tetapi  hal  ini sesungguhnya bertentangan  baik  dengan  nalar  maupun  al-Qur'an.  Yang  disebut  terdahulu menunjukkan  pada kita bahwa kematian tidak menghancurkan individualitas esensial seorang manusia dan al-Qur'an berkata, "Jangan  kamu pikir orangorang yang terbunuh du jalan Allah itu telah mati. Tidak! Mereka masih hidup, bergembira dengan kehadiran Tuhan mereka dan di dalam limpahan karunia atas mereka." Tidak satukata pun disebutkan di dalam syariah tentang orangorang  mati,  yang  baik  maupun  jahat,  sebagai  termusnahkan.  Malah,  Nabi saw.  diriwayatkan  telah  bertanya  kepada  arwah  orang-orang  kafir  yang terbunuh  tentang  apakah  mereka  mendapati  hukuman-hukuman  yang diancamkan  kepada  mereka  sesuatu  yang  benar  atau  tidak.  Ketika  para pengikutnya  bertanya  kepadanya  apa  gunanya  bertanya  kepada  mereka, beliau  menjawab:  "Mereka  bisa  mendengar  kata-kataku  lebih  baik  daripada engkau."
Beberapa orang sufi telah dapat menampak dunia dan neraka yang tak kasat mata,  diungkapkan  kepada  mereka  pada  saat-saat  mereka berada  dalam keadan  kerasukan  (trance)  seperti  mati.  Pada  saat  pulihnya  kesadaran, muka-muka  mereka  menggambarkan  sifat  ungkapan-ungkapan  yang  telah mereka  terima  dengan  tanda-tanda  kegembiraan  yang  luar  biasa  ataupun kepanikan.  Tapi  tidak  perlu  lagi  visi  untuk  membuktikan  kepada  manusia-manusia yang berpikir apa-apa yang akan terjadi. Yaitu ketika kematian telah mencabut  indera-inderanya  dan  meninggalkannya  tanpa  sesuatu  apa  pun kecuali  kepribadian  telanjangnya,  jika  ketika  di  atas  bumi  ia  terlalu  asyik menyibukkan  dirinya  dengan  benda-benda  cerapan  indera -  seperti  isteri, anak,  kekayaan, tanah,  budak laki-laki  dan  perempuan dan sebagainya  -  ia akan  menderita ketika kehilangan  benda-benda  ini.  Sebaliknya, jika  ia telah membalikkan  punggung  sejauh-jauhnya  dari  semua  benda-benda  duniawi dan meneguhkan kasih sayangnya yang amat besar terhadap Allah, ia akan menyambut  kematian  sebagai  suatu  sarana  untuk  melarikan  diri  dari kerepotan-kerepotan  duniawi  dan  bergabung  dengan  Ia  yang  dicintainya. Dalam kasus ini, sabda Rasul akan terbukti: "Kematian adalah jembatan yang menyatukan sahabat dengan sahabat"; "dunia ini surga bagi orang kafir, dan penjara bagi orang-orang mukmin."
Di pihak lain, semua derita yang ditanggung oleh jiwa setelah mati bersumber pada cinta yang berlebih-lebihan terhadap dunia. Rasulullah bersabda bahwa semua  orang kafir  setelah  mati  akan  disiksa  oleh  99  ular,  masing-masing memiliki  9  kepala.  Beberapa  orang  yang  berpikiran  sederhana  telah memeriksa  kuburan  orang-orang  kafir  ini  dan  bertanya-tanya  mengapa mereka tak bisa melihat ular-ular ini. Mereka tidak paham bahwa ular-ular ini bersemayam  di  dalam  ruh  orang-orang  kafir  itu  dan bahwa kesemuanya  itu sudah  ada  di  dalam  diri  orang-orang  kafir  tersebut,  bahkan  sebelum  ia  mati. Karena  semuanya  itu  sesungguhnya  adalah  simbol-simbol sifat  jahatnya, seperti  cemburu,  kebencian,  kemunafikan,  kesombongan,  kelicikan  dan  lain sebagainya.  Sifat-sifat  itu  semuanya  bersumber,  secara  langsung  maupun tidak, pada kecintaan terhadap dunia ini. Itulah neraka yang disediakan bagi orang-orang  yang  di  dlam  al-Qur'an  dikatakan  "meneguhkan  hati  mereka pada  dunia  ini  lebih  daripada  akhirat".  Jika  ular-ular  itu  sekadar  bersifat eksternal  belaka,  mereka  akan  bisa  berharap  untuk  melarikan  diri  dari siksanya, meskipun hanya untuk sesaat saja. Tetapi jika semuanya itu sudah menjadi  sifat-sifat  bawaan  mereka,  bagaimana  mereka  bisa  melarikan  diri?. Ambillah  contoh  kasus  seseorang  yang  menjual  seorang  budak  perempuan tanpa  tahu  seberapa  jauh  ia  telah  terikat  dengannya  sampai  ketika perempuan  itu  telah  sama  sekali  berada  di  luar  jangkauannya.  Kemudian kecintaan  pada budak itu,  yang selama ini tertidur, bangun  di dalam dirinya dengan  suatu  intensitas  yang  menyiksanya,  menyengatnya seperti  ular.  Ia bisa  gila  karenanya,  mencapakkan  dirinya  ke  dalam  api  atau  air  untuk melarikan  diri darinya. Inilah akibat  cinta  terhadap  dunia,  yang tidak  pernah terbayang  dalam  diri  orang-orang  yang  memilikinya  sampai  ketika  dunia direnggut  dari  mereka  dan  kemudian  siksaan  kesia-siaan  membuat  mereka mau dengan senang hati menukarnya dengan sekadar ular-ular dan kepiting-kepiting  eksternal  belaka,  berapa  pun  jumlahnya.  Karenanya,  setiap  orang yang  berbuat  dosa  membawa  perkakas-perkakas  hukumannya  sendiri  ke dunia  di  balik  kematian.  Benar  kata  al-Qur'an:  "Sesungguhnya  kalian  akan melihat  neraka.  Kalian  akan  melihatnya  dengan  mata  keyakinan  (ainulyaqin)",  dan  "neraka  mengitari  orang-orang  kafir."  Ia  tidak  berkata  akan mengitari mereka, karena neraka sudah mengitari mereka sekarang juga.
Mungkin  ada  orang  yang  berkeberatan.  Jika  demikian  halnya,  kemudian siapakah  yang  bisa  menghindar  dari  neraka,  karena  siapakah  orang  yang sedikit banyak tidak terikat  pada dunia  dengan berbagai ikatan kesenangan dan kepentingan. Atas pertanyaan ini kita menjawab bahwa ada orang-orang, terutama para faqir, yang telah sama sekali melepaskan diri mereka dari cinta terhadap  dunia.  Tetapi  bahkan  di  antara  orang-orang  yang  memiliki kekayaan-kekayaan duniawi - seperti isteri, anak, rumah  dan lain sebagainya -  masih  ada  juga  orang-orang  yang,  meskipun  mereka  memiliki  kecintaan terhadap  benda-benda  ini,  mencintai  Allah  lebih  dari  segalanya.  Kasus mereka adalah seperti seseorang yang, meskipun mempunyai sebuah tempat tinggal  yan  gia  cintai  di  suatu  kota,  ketika  diminta  oleh  sang  raja  untuk mengisi suatu pos kekuasaan di kota lain, ia melakukannya dengan senang hati,  karena  pos  kekuasaan  itu  lebih  berharga  baginya daripada  tempat tinggalnya terdahulu. Para nabi dan banyak di antara  para wali adalah orang-orang seperti itu.
Dalam jumlah besar, ada pula orang-orang lain yang memiliki kecintaan pada Allah, tetapi kecintaannya terhadap dunia ini demikianberlebihan dalam diri mereka  sehingga  mereka  akan  harus  menderita  siksaan  yang  cukup  besar setelah  kematian  sebelum  mereka  sama  sekali  terbebaskan  daripadanya. Banyak  yang  memiliki  kecintaan  kepada  Allah,  tapi  seseorang  bisa  dengan mudah  menguji  dirinya  dengan  melihat  ke  mana  cenderungnya  lengan timbangan cintanya ketika perintah-perintah Allah datang berbenturan dengan beberapa keinginannya. Pemilikan akan cinta kepada Allah yang tidak cukup menahan  seseorang  dari  pembangkangan  kepada  Allah  adalah  suatu kebohongan.
Telah  kita  lihat  di  atas  bahwa  salah  satu  jenis  neraka  ruhani  itu  berbentuk pemisahan  secara  paksa  dari  benda-benda  duniawi  yang  kepadanya  hati terikat terlalu erat. Banyak orang yang tanpa sadar membawa dalam dirinya kuman-kuman  neraka  seperti  itu.  Mereka  akan  merasa seperti seorang  raja yang setelah menjalani hidup mewah, dicampakkan dari  singgasananya dan menjadi bahan tertawaan.
Jenis kedua neraka ruhani adalah malu, yaitu ketika seseorang dibangunkan untuk  melihat  sifat  tindakan-tindakan  yang  dulu  dilakukannya  dalam  hakikat telanjangnya.  Orang  yang  mengumpat  akan  melihat  dirinya  dalam  bentuk seorang kanibal yang makan daging saudaranya yang telah mati. Orang yang mempunyai sifat iri hati akan tampak sebagai seseorang yang melemparkan batu-batu  ke  dinding,  kemudian  batu-batu  itu  memantul kembali  dan mengenai mata anaknya sendiri.
Neraka jenis ini, yaitu malu, bisa disimpulkan dengan perumpamaan ringkas berikut  ini.  Misalkan seorang  raja  baru  selesai  merayakan  perkawinan  anak laki-lakinya.  Pada  malam  harinya,  laki-laki  muda  itu  pergi  keluar  dengan beberapa  orang  sahabat  dan  kemudian  kembali  ke  istana  dalam  keadaan mabuk. Ia memasuki sebuah kamar yang terang dan kemudian berbaring di samping  tubuh  yang  diduganya  sebagai mempelai  wanitanya. Pagi  harinya, ketika kesadarannya  pulih, ia terperanjat ketika mendapati dirinya berada  di dalam  sebuah  kamar  mayat  para  penyembah api.  Sofanya adalah  tandu jenazah,  dan  bentuk  yang  disalah-mengertikannya  sebagai mempelai perempuannya  adalah  mayat  seorang  wanita  tua  yang  mulai  membusuk. Ketika  keluar  dari  kamar mayat  dengan  pakaian kumuh, betapa  malunya  ia ketika ayahnya, sang raja, menghampirinya dengan serombongan tentara. Itu gambaran  perumpamaan tentang  rasa  malu  yang  akan dirasakan  di akhirat oleh orang-orang yang dengan serakah telah memasrahkan diri mereka pada hal-hal yang mereka anggap sebagai kebahagiaan.
Neraka  ruhaniah  ketiga  berbentuk  kekecewaan  dan  kegagalan  untuk mencapai  obyek  kemaujudan  yang  sesungguhnya.  Manusia  diciptakan dengan  maksud  untuk  mencermini  cahaya  pengetahuan  akan  Tuhan.  Tapi jika  ia  sampai  di  akhirat  dengan  jiwa  yang  tersaput  tebal  oleh  karat pengumbaran nafsu inderawi, ia akan sama sekali gagal untuk memperoleh tujuan  penciptaannya.  Kekecewaannya  bisa  digambarkan  dengan  cara berikut.  Misalkan  seseorang sedang  melewati  sebuah  hutan  gelap  bersama beberapa orang sahabat. Di sana-sini berkelap-kelip diatas tanah, bertebaran batu-batu berwarna. Para sahabatnya mengumpulkan dan membawa benda-benda  itu  seraya  menasehatinya  agar  ia  turut  melakukan  hal  yang  sama. "Karena," kata  mereka, "kami  dengar  batu-batu  itu  akan  memperoleh  harga tinggi di tempat yang akan kita datangi." Tapi orang ini malah menertawakan mereka  dan  menyebut  mereka  sebagai  orang-orang  pandir karena menyimpan harapan sia-sia untuk memperoleh sesuatu, sementara ia sendiri bisa berjalan bebas tak berbebani. Kemudian mereka pun menjelang terang tanah dan mendapati bahwa batu-batu yang berwarna-warni itu ternyata batu-batu  delima,  Zamrud  dan  permata-permata  lain  yang  tak  terkira  harganya. Kekecewaan dan penyesalan orang itu, karena tidak mengumpulkan benda-benda yang sudah berada dalam jangkauannya itu, lebih mudah dibayangkan daripada diperikan. Seperti itulah jadinya penyesalan orang-orang yang ketika melalui dunia ini tidak berusaha memperoleh permata-permata kebajikan dan perbendaharaan-perbendaharaan agama.
Perjalanan  manusia  di  dunia  ini  bisa  dikelompokkan  dalam  empat  tahap  - yang  inderawi,  eksperimental,  instingtif  dan  rasional. Dalam  tahap  yang pertama  ia  seperti  seekor  rayap  yang,  meskipun  memiliki penglihatan,  tak punya  kemampuan  mengingat  dan  akan  menghapuskan  dirinya  terusmenerus pada lilin yang sama. Tahap kedua, ia seperti  seekor anjing yang, setelah sekali digigit, akan lari ketika melihat sebatang rotan pemukul. Pada tahap  ketiga,  ia  seperti  seekor  kuda  atau  domba  yang, secara  instingtif, terbang  seketika  tatkala  melihat  seekor  macan  atau  srigala  -  musuh-musuh alaminya  -  sementara  mereka  tak  akan  lari  jika  melihat  seekor  onta  atau kerbau, meskipun kedua binatang ini lebih besar ukurannya. Di dalam tahap yang  keempat  manusia  sama  sekali  mengatasi  batas-batas  binatang  itu sehingga  mampu,  sampai  batas  tertentu,  meramalkan  dan  mempersiapkan diri bagi masa depan. Gerakan-gerakannya pada mulanya bisa dibandingkan dengan  berjalan  biasa  di  atas  tanah,  kemudian  menyeberangi  laut  dengan sebuah  kapal,  kemudian  pada  pendaratan  keempat  -  ketika  ia  sudah  akrab dengan hakikat-hakikat - berjalan di atas air. Sementara itu, di balik dataran ini masih ada dataran kelima yang dikenal oleh para nabi dan wali yang bisa dibandingkan dengan terbang mengarungi udara.
Jadi  manusia  punya  kemampuan  untuk  dada  pada  berbagai  dataran  yang berbeda,  mulai  dari  dataran  hewaniah  sampai  dataran malaikat.  Dan  persis dalam hal inilah terletak bahayanya, yaitu dari kemungkinan jatuh ke dataran yang paling rendah. Di dalam al-Qur'an tertulis, "Telah Kami tawarkan (yaitu tanggung  jawab  atau  kehendak  bebas)  kepada  lelangit  dan  bumi  serta gunung-gunung;  mereka  menolak  untuk  menanggungnya.  Tetapi  manusia mau mananggungnya. Sesungguhnya manusia itu bodoh." Tidak hewan tidak pula  malaikat  bisa  mengubah  tingkat  dan  tempat  ia  ditempatkan.  Tetapi seseorang  bisa  tenggelamke  dataran  hewaniah  atau  terbang  ke  dataran malaikat, dan inilah arti dari "penanggungan beban"sebagaimana disebutkan di atas oleh al-Qur'an. Sebagian besar manusia memilih untuk berada di dua tahap  terndah  tersebut  di  atas,  dan  yang  tetap  tinggal  biasanya  selalu bersikap  bermusuhan  dengan  orang  yang  bepergian  atau  musafir  yang jumlahnya jauh lebih sedikit.
Banyak  orang  dari  kelas  yang  disebut  terdahulu,  karena  tidak  memiliki keyakinan yang teguh tentang dunia yang akan datang, ketika dikuasai oleh nafsu-nafsu  inderawi,  menolaknya  sama  sekali.  Mereka  berkata  bahwa neraka  adalah  suatu  temuan  para  ahli  ilmu  kalam  belaka  untuk  menakutnakuti orang. Mereka memandang para ahli ilmu kalam dengan penghinaan terbuka. Berbdebat dengan orang-orang seperti ini sedikit sekali manfaatnya. Meskipun  demikian,  ada  yang  bisa  dikatakan  pada  orang  yang  seperti  ini yang  mungkin  bisa  membuatnya  berhenti  dan  merenung.  "Benarkah  anda sungguh-sungguh berpikir bahwa 124.000 nabi dan wali  yang percaya pada kehidupan masa akan datang semuanya salah dan anda, yang menolaknya, benar?" Jika ia menjawab, "Ya," saya sedemikian yakin -  sebagaimana saya yakin bahwa dua lebih besar daripada satu - bahwasanya jiwa dan kehidupan masa  depan  dalam  bentuk  kebahagiaan  maupun  hukuman  itu tidak  ada, maka  manusia  seperti  itu  sudah  tidak  mempunyai  harapan lagi.  Yang  bisa diperbuat hanyalah meninggalkannya sendiri sembari mengingat kata-kata alQur'an, "Meskipun kau peringatkan mereka, mereka tak akan ingat."
Tetapi  jika  ia  berkata  bahwa  kehidupan  masa  depan  adalah  suatu ke-boleh-jadi-an,  hanya  bahwa  doktrin  itu  penuh  mengandung  keraguan  dan misteri, sehingga tidak mungkin untuk bisa memutuskan benarkah hal itu atau tidak,  maka  seseorang  bisa  berkata  kepadanya,  "Jika  demikian,  sebaiknya anda selesaikan baik-baik keraguan itu." Misalkan anda sedang akan makan makanan, kemudian seseorang berkata kepada anda bahwa seekor ular telah meludahkan bisa ke dalamnya, maka mungkin sekali anda akan menahan diri dan  lebih  baik  menahan  kepedihan  rasa  lapar  daripada memakannya, meskipun orang yang memberi informasi pada anda mungkin hanya bercanda atau  berbohong  belaka.  Atau  misalkan  anda  sedang  sakit  dan  seorang penulis syair berkata, "Beri saya satu dirham dan saya akan menulis sebuah puisi  yang  bisa  kau ikatkan  di  lehermu,  yang  akan  menyembuhkannya  dari sakit."  Anda  boleh  jadi  akan  memberikan  dirham  yang  dimintanya  dengan harapan  bisa  mendapatkan  manfaat  jimat  itu.  Atau  jika  seorang peramal berkata, "Pada saat bulan telah sampai ke suatu bentuk  tertentu, minumlah obat  ini  dan  itu  dan  engkau  pun  akan  sembuh."  Meskipun  mungkin  anda sedikir  sekali  percaya  pada  astrologi,  kemungkinan  besar  anda  akan mencoba  juga  pengalaman  itu  dengan  harapan  bahwa  orang  itu  benar. Tidakkah anda berpikir bahwa kebenaran yang bisa dipercaya juga terdapat dalam  kata-kata  nabi,  para  wali  dan  orang-orang  suci,  yang  menyakinkan orang  akan  adanya  kehidupan  mendatang,  sebagaimana  janji  seorang penulis  jampi-jampi  atau  seorang  peramal.  Orang  berani  melakukan perjalanan lewat laut yan gpenuh resiko demi mengharap suatu keuntungan, maka tidak maukah anda menanggung sedikir penderitaan di masa sekarang demi kebahagiaan abadi di akhirat?
Sayyidina  Ali  Zainal  Abidin  (Putra  Hesain  bin  Ali  bin  Abi  Thalib,  cucu Rasulullah SAW) ketika berdebat dengan seorang kafir pernah berkata, "Jika anda  benar,  maka  tidak  seoran  gpun  di  antara  kita  yang  akan  menderita keadaan yang lebih buruk di masa depan. Tetapi jika kami yang benar, maka kami  akan terhindar dan  anda  akan menderita." Hal inidikatakannya  bukan karena  ia  sendiri  berada  dalam  keraguan,  tetapi  hanya demi  menciptakan suatu kesan bagi orang kafir itu. Berdasar semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan  bahwa  urusan  utama  manusia  di  dunia  ini  adalah  untuk mempersiapkan diri bagi dunia yang akan datang. Sekalipun jika ia ragu-ragu tentang  kemaujudan  masa  depan,  nalar  mengajarkan  bahwa  ia  harus bertindak  seakan-akan  hal  itu  ada  dengan  mempertimbangkan  akibat  luar biasa  yang  mungkin  terjadi.  Keselamatan  atas  orang-orang  yang  mengikuti ajaran-ajaran Allah.


5
TENTANG MUSIK DAN TARIAN SEBAGAI PEMBANTU KEHIDUPAN KEAGAMAAN

Hati  manusia  diciptakan  oleh  Yang  Maha  Kuasa  bagai  sebuah  batu  api.  Ia mengandung  api  tersembunyi  yang  terpijar  oleh  musik  dan  harmoni  serta menawarkan  kegairahan  bagi  orang  lain,  di  samping  dirinya.  Harmoni-harmoni ini adalah gema dunia keindahan yang lebih tinggi, yang kita sebut dunia  ruh.  Ia  mengingatkan  manusia  akan  hubungannya  dengan  dunia tersebut, dan membangkitkan emosi yang sedemikian dalam dan asing dalam dirinya,  sehingga  ia  sendiri  tak  berdaya  untuk  menerangkannya.  Pengaruh musik dan tarian amat dalam, menyalakan cinta yang telah tidur di dalam hati -  cinta  yang  bersifat  keduniaan  dan  inderawi,  ataupun  yang  bersifat ketuhanan dan ruhaniah.
Sesuai dengan itu, terjadi perdebatan di kalangan ahli teologi mengenai halal dan haramnya musik dan tarian dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Suatu sekte,  Zhahariah,  berpendapat  bahwa  Allah  sama  sekali  tak  dapat dibandingkan  dengan  manusia,  seraya  menolak  kemungkinan  bahwa manusia  bisa  benar-benar  merasakan  cinta  kepada  Allah.  Mereka  berkata bahwa  manusia  hanya  bisa  mencinta  sesuatu  yang  termasuk  dalam spesiesnya.  Jika  ia  "benar-benar"  merasakan  sesuatu  yang  ia  pikir  sebagai cinta  kepada  Sang  Khalik,  kata  mereka  hal  itu  tak  lebih  daripada  sekadar proyeksi belaka, atau bayang-bayang yang diciptakan oleh khayalannya, atau suatu  pantulan  cinta  kepada  sesama  mahluk.  Musik  dan  tarian,  menurut mereka,  hanya  berurusan  dengan  cinta  kepada  makhluk,  dan  karenanya haram dalam kegiatan keagamaan. Jika kita tanya mereka, apakah arti "cinta kepada Allah" yang diperintahkan oleh syariat, mereka menjawab bahwa hal itu  berarti  ketaatan  dan  ibadah.  Kesalahan  ini  akan kita  sanggah  pada  bab yang akan membahas kecintaan kepada Allah. Saat ini, baiklah kita puaskan diri kita dengan berkata bahwa musik dan tari tidak memberikan sesuatu yang sebelumnya  tidak  ada  di  dalam  hati,  tapi  hanyalah  membangunkan  emosi yang  tertidur.  Oleh  karena  itu,  menyimpan  cinta  kepada Allah  di  dalam  hati yang diperintahkan oleh syariat itu sama sekali dibolehkan. Malah ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang memperbesarnya patut dipuji. Di pihak lain, jika hatinya  penuh  dengan  nafsu  inderawi,  musik  dan  tarian  hanya  akan menambahnya;  karena  itu,  terlarang  baginya.  Sementara  itu,  jika mendengarkan  musik  hanyalah  sebagai  hiburan  belaka,  maka  hukumnya mubah.  Karena,  sekadar  kenyataan  bahwa  musik  itu  menyenangkan  tidak lantas  membuatnya  haram,  sebagaimana  mendengarkan  seekor  burung berbunyi; atau melihat rumput hijau dan air mengalir tidak diharamkan. Watak tak-berdosa  dari  musik  dan  tarian  yang  diperlakukan  sekadar  sebagai hiburan, juga dibenarkan oleh hadis shahih yang kita  terima dari Siti Aisyah yang meriwayatkan:
Pada suatu hari raya, beberapa orang Habsyi menari di masjid. Nabi berkata kepadaku,  "Inginkah  engkau  melihatnya?"  Aku  jawab,  "Ya".  Lantas  aku diangkatnya  dengan  tangannya  sendiri  yang  dirahmati, dan  aku  menikmati pertunjukan  itu  sedemikian  lama,  sehingga  lebih  dari sekali  beilau  berkata, "Belum cukupkah?"
Hadis lain dari Siti Aisyah adalah sebagai berikut:
Pada  suatu  hari  raya,  dua  orang  gadis  datang  ke  rumahku  dan  mulai bernyanyi dan menari. Nabi masuk dan berbaring di sofa sambil memalingkan mukanya.  Tiba-tiba  Abu  Bakar  masuk  dan,  melihat  gadis-gadis  itu  bermain, dia  berseru:  "Hah!  Seruling setan  di  rumah  Nabi!"  Nabi  menoleh  karenanya dan berkata: "Biarkan mereka, Abu Bakar, hari ini adalah hari raya."
Terlepas  dari  kasus-kasus  yang  melibatkan  musik  dan  tarian yang membangunkan nafsu-nafsu setan yang telah tidur di dalam hati, kita dapati adanya kasus-kasus yang menunjukkan mereka sama sekali halah. Misalnya nyanyian orang-orang yang sedang menjalankan ibadah haji yang merayakan keagungan Baitullah di Makkah, yang dengan demikian mendorong orang lain untuk  pergi  haji;  dan  musik  yang  membangkitkan  semangat  perang  di  dara para  pendengarnya  dan  memberikan  mereka  semangat  untuk  memerangi orang-orang  kafir.  Demikian  pula,  musik-musik  sendu  yang  membangkitkan kesedihan  karena  telah  berbuat  dosa  dan  kegagalan  dalam kehidupan keagamaan juga diperbolehkan: seperti misalnya musik Nabi Daud, nyanyian penguburan  yang  menambah  kesedihan  karena  kematian  tidak diperbolehkan,  karena  tertulis  dalam  al-Qur'an:  "Jangan  bersedih  atas  apa yang  hilang  darimu."  Di  pihak  lain,  musik-musik  gembira di  pesta-pesta, seperti  perkawinan  dan  khitanan  atau  kembali  dari  perjalanan,  hukumnya halal.
Sekarang kita sampai pada penggunaan musik dan tarian yang sepenuhnya bersifat  keagamaan.  Para  sufi  memanfaatkan  musik  untuk  membangkitkan cinta  yang lebih  besar  kepada  Allah  dalam  diri  mereka, dean  dengannya mereka  seringkali  mendapatkan  penglihatan  dan  kegairanan  ruhani.  Dalam keadaan ini hati mereka menjadi sebersih perak yang dibakar dalam tungku, dan mencapai suatu tingkat kesucian yang tak akan pernah bisa dicapai oleh sekadar hidup prihatin, walau seberat apapun. Para sufi itu kemudian menjadi sedemikian sadar akan hubungannya dengan dunia ruhani,  sehingga mereka kehilangan  segenap  perhatiannya  akan  dunia  ini  dan  kerap kali  kehilangan kesadaran inderawinya.
Meskipun  demikian,  para  calon  sufi  dilarang  ikut  ambil  bagian  dalam  tarian mistik ini tanpa bantuan pir (syaikh atau guru ruhani)nya. Diriwayatkan bahwa Syaikh Abul-Qasim Jirjani, ketika salah seorang muridnya meminta izin untuk ambil  bagian  dalam  tarian  semacam  itu,  berkata:  "Jalani  puasa  yang  ketat selama tiga hari, kemudian suruh mereka memasak makanan-makanan yang menggiurkan. Jika kemudian engkau masih lebih menyukai tarian itu, engkau boleh  ikut."  Bagaimanapun  juga,  seorang  murid  yang  hatinya  belum seluruhnya  tersucikan  dari  nafsu-nafsu  duniawi  -  meskipun  mungkin  telah mendapat  penglihatan  sepintas  akan  jalur  tasawwuf  -  mesti  dilarang  oleh syaikhnya untuk ambil bagian dalam tarian-tarian semacam itu, karena hal itu hanya akan lebih banyak mendatangkan mudharat daripada mashlahatnya.
Orang-orang  yang  menolak  hakikat  ekstase  (kegairahan)  dan pengalaman-pengalaman  ruhani  para  sufi,  sebenarnya  hanya  mengakui  kesempitan pikiran dan kedangkalan wawasan mereka saja. Meskipun demikian, mereka haruslah dimaafkan, karena mempercayai hakikat suatu keadaan yang belum dialami secara pribadi adalah sama sulitnya dengan memahami kenikmatan menatap rumput hijau dan air mengalir bagi seorang buta, atau bagi seorang anak  untuk  mengerti  kenikmatan  melaksanakan  pemerintahan.  Karenanya seorang  bijak,  meskipun  ia  sendiri  mungkin  tidak  mempunyai  pengalaman tentang keadaan-keadaan tersebut, tak akan menyangkal  hakikatnya. Sebab, kesalahan apa lagi yang lebih besar daripada orang yang menyangkal hakikat sesuatu hanya karena ia sendiri belum mengalaminya! Mengenai orang-orang ini, tertulis dalam al-Qur'an: "Orang-orang yang tidak mendapatkan petunjuk akan berkata, 'Ini adalah kemunafikan yang nyata'."
Sedang mengenai puisi erotis yang dibaca pada pertemuan-pertemuan para sufi  -  yang  banyak  orang  merasa  keberatan  terhadapnya  -  mesti  kita  ingat bahwa jika dalam puisi seperti ini disebut-sebut tentang pemisahan dari atau persekutuan  dengan  yang  dicintai,  maka  para  sufi  -  yang  amat  cinta  pada Allah - menggunakan ungkapan semacam itu untuk menjelaskan pemisahan dan persekutuan dengan Dia. Demikian pula, "jalan-jalan buntuk yang gelap" dipakai  untuk  menjelaskan  kegelapan  kekafiran;  "kecerahan  wajah"  untuk cahaya  keimanan;  dan  "mabuk"  sebagai  ekstase  (kegairanan)  sang  sufi. Ambil sebagai misal, bait dari sebuah puisi berikut ini:
Mungkin sudah kuatur anggur
beribu takaran
Tapi, sampai 'kau habis mereguknya
tiada kegembiraan kau rasakan
Dengan  itu  penulisnya  bermaksud  untuk  mengatakan  bahwa  kenikmatan agama  yang  sejati  tak  akan  bisa  diraih  lewat  perintah resmi,  tapi  dengan rasa tertarik dan keinginan. Seseorang boleh jadi telah banyak berbicara dan menulis tentang cinta, keimanan, ketakwaan dan sebagainya, tapi sebelum ia sendiri  memiliki  sifat-sifat  ini,  semuanya  itu  tak  bermanfaat  baginya.  Jadi, orang-orang yang mencari-cari kesalahan para sufi, karena sufi-sufi tersebut sangat terpengaruh - bahkan sampai mencapai ekstase - oleh bait-bait seperti itu,  hanyalah  orang-orang  dangkal  dan  tak  toleran.  Onta  sekalipun  kadang-kadang  terpengaruh  oleh  lagu-lagu  Arab  yang  dinyanyikan  penunggangnya sehingga  ia  akan  berlari  kencang,  memikul  beban  berat, sampai  akhirnya tersungkur kelelahan.
Meskipun  demikian,  orang-orang  yang  mendengar  syair  pada  sufi  berada dalam  bahaya  dikutuk,  jika  ia  menerapkan  syair-syair  yang  didengarnya  itu untuk  Allah.  Misalnya,  ketika  ia  dengar  syair  seperti  "Engkau  berubah  dari kecenderungan-semulamu", ia tak boleh menerapkannya  untuk Allah - yang tak  boleh  berubah  -  melainkan  untuk  dirinya  dan  ragam  suasana  hatinya sendiri. Allah bagaikan mentari yang selalu bersinar,  tetapi bagi kita kadang-kadang cahaya-Nya terhalang oleh beberapa obyek  yang ada di antara kita dan Dia.
Diriwayatkan bahwa beberapa ahli mencapai tingkat ekstase sedemikian rupa sehingga  diri  mereka  hilang  dalam  Allah.  Demikian  halnya  dengan  Syaikh Abul-Hasan Nuri yang ketika mendengar seuntai syair tertentu, terjatuh dalam keadaan  ekstase  dan  menerobos  ke  dalam  ladang  yang penuh dengan batang-batang  tebu  yang  baru  dipotong, berlari kian-kemari  sampai  kakinya berdarah penuh luka dan akhirnya mati tak lama sesudah itu. Dalam kasus-kasus semacam itu, beberapa orang berpendapat bahwa Tuhan telah benar-benar turun ke dalam manusia, tapi  ini  adalah kesalahan  yang  sama  besar dengan  yang  dilakukan  oleh  seseorang  yang  ketika  pertama  kali  melihat bayangannya  di  cermin,  berpendapat  bahwa  ia  telah  tersatukan  dengan cermin  itu,  atau  bahwa  warna-warni  merah-putih  yang  dipantulkan  oleh cermin adalah sifat-sifat bawaan cermin itu.
Keadaan-keadaan  ekstase  yang  dialami  para  sufi  beragam, sesuai  dengan emosi-emosi yang dominan di dalamnya, yakni cinta, ketakutan, nafsu, tobat dan  sebagainya.  Keadaan-keadaan  ini,  sebagaimana  kita  sebut  di  atas, dicapai  seringkali  tidak  hanya  sebagai  hasil  mendengarkan  ayat-ayat  alQur'an,  tetapi  juga  syair  yang  merangsang.  Sementara  orang  keberatan terhadap pembacaan syair, sebagaimana juga al-Qur'an,pada kesempatan-kesempatan seperti itu. Tapi mesti diingat bahwa tidak seluruh ayat al-Qur'an dimaksudkan untuk membangkitkan emosi - seperti misalnya, perintah bahwa seorang  laki-laki  mesti  mewariskan  seperenam  hartanya  untuk  ibunya  dan sebagainya untuk saudara perempuannya, atau bahwa seorang wanita yang ditinggal  mati  suaminya  mesti  menunggu  empat  bulan  sebelum  boleh menikah lagi dengan orang lain. Sangat sedikit orang dan hanya yang sangat peka sajalah yang bisa tercebur ke dalam ekstase keagamaan oleh ayat-ayat seperti itu.
Alasan lain yang membenarkan penggunaan syair, juga ayat-ayat al-Qur'an, dalam  kesempatan-kesempatan  seperti  ini  adalah  bahwa  orang-orang  telah sedemikian  akrab  dengan  al-Qur'an,  banyak  di  antaranya  bahkan  telah menghafalnya,  sehingga  pengaruh  pembacannya  telah  sedemikian ditumpulkan  oleh  perulangan  yang  berkali-kali.  Seseorang  tidak  bisa  selalu mengutip ayat-ayat al-Qur'an baru sebagaimana yang bisa dilakukan dengan syair. Suatu kali ketika beberapa orang Arab Badui mendengarkan al-Qur'an untuk  pertama  kalinya  dan  menjadi  sangat  tergerak  olehnya,  Abu  Bakar berkata kepada mereka, "Kami dulu pernah seperti kamu, tetapi sekarang hati kami  telah  mengeras,"  berarti  bahwa  al-Qur'an  telah  kehilangan  sebagian pengaruhnya atas orang-orang yang akrab dengannya. Dengan alasan yang sama,  Khalifah  Umar  biasa  memerintahkan  para  peziarah  haji  ke  Makkah agar  segera  meninggalkan  tempat  itu secepatnya.  Karena, katanya,  "saya khawatir,  jika  kalian  menjadi  terlalu  akrab  dengan  Kota  Suci  itu,  ketakjuban kalian terhadapnya akan sirna dari hati-hati kalian."
Ada  pula  penggunaan  nyanyian  dan  peralatan  musik  -  seperti  seruling  dan genderang  -  secara  tak  berbobot  dan  sembrono,  paling  tidak  di  mata masyarakat  awam.  Keagungan  al-Qur'an  tak  pantas,  meskipun  sementara, dikaitkan  dengan  hal-hal  seperti  ini.  Diriwayatkan  bahwa  sekali  waktu  Nabi saw. memasuki rumah  Rai'ah  putri  Mu'adz. Beberapa  orang  gadis-penyanyi yang  ada  di  sana  secara  tiba-tiba  mulai  mengalunkan  nyanyiannya  untuk menghormati beliau. Beliau dengan segera meminta mereka untuk berhenti, karena  puji-pujian  bagi  Nabi  adalah  tema  yang  terlalu  sakral  untuk diperlakukan  demikian.  Akan  timbul  pula  bahaya  jika  ayat-ayat  al-Qur'an dipergunakan  secara  khusus,  sehingga  pendengar-pendengarnya  akan mengaitkannya  dengan  penafsiran  mereka  sendiri,  dan  hal ini  terlarang.  Di pihak  lain,  tak  ada  bahaya  yang  mungkin  timbul  dalam menafsirkan  baris-baris  syair  dengan  berbagai  cara,  karena  memang  makna  yang  diberikan seseorang  atas  suatu  syair  tak  harus  sama  dengan  yang  diberikan  oleh penulisnya.
Bentuk  lain  dari  tarian-tarian  mistik  ini  adalah  dengan  melukai  diri  sendiri sembari  mengoyak-ngoyakkan  pakaian.  Jika  hal  ini  adalah  hasil  dari  suatu keadaan  ekstase  murni,  maka  tak  ada  sesuatu  yang  bisa  dikatakan  untuk menentangnya. Tapi jika hal ini dilakukan oleh orang-orang yang sok disebut "ahli", maka hal ini adalah suatu kemunafikan belaka. Dalam setiap hal, orang yang paling ahli adalah yang mampu mengendalikan dirinya, hingga ia benarbenar  berasa  wajib  untuk  memberikan  penyaluran  kepada perasaanperasannya.  Diriwayatkan  bahwa  seorang  murid  Syaikh  Juaid,  ketika mendengar  sebuah  nyanyian  pada  suatu  pertemuan  para  sufi,  tak  bisa menahan  diri  sehingga  mulai  memekik  dalam  keadaan  ekstase.  Junaid berkata  kepadanya:  "Jika  kau lakukan  hal  itu  sekali  lagi,  jangan  tinggal bersamaku  lagi."  Setelah  kejadian  itu,  sang  anak  muda  berusaha  untuk menahan dirinya. Tapi pada akhirnya pada suatu hari emosinya sedemikian kuat  terbangkitkan  sehingga,  setelah  sedemikan  lama  dan  sedemikian  kuat tertekan, ia melontarkan pekikan dan kemudian mati.
Kesimpulannya,  dalam  menyelenggarakan  pertemuan-pertemuan  semacam itu, perhatian mesti diberikan kepada tempat dan waktu, dan bahwa tidak ada pemirsa dengan niat yang tak patut ikut hadir di dalamnya. Orang-orang yang ikut  serta  di  dalamnya  mesti  duduk  berdiam  diri,  tidak  saling  melihat, menundukkan kepala - sebagaimana dalam shalat - dan memusatkan pikiran mereka kepada Allah. Setiap orang mesti waspada terhadap segala sesuatu yang mungkin terilhamkan ke dalam hatinya, dan tidak melakukan gerakan-gerakan apa pun yang bersumber dari rangsangan sadar-diri belaka. Tetapi jika  ada  seseorang  di  antara  mereka  yang  bangkit  dalam  keadaan  ekstase murni, maka segenap orang yang hadir mesti bangkit pula bersamanya, dan jika  ada  sorban  seseorang  yang  tanggal,  maka  orang  lain pun  mesti meletakkan sorbannya.
Meskipun hal ini merupakan hal baru dalam Islam dan tidak diterima dari para sahabat,  mesti  kita  ingat  bahwa  tidak  semua  hal  itu  terlarang,  melainkan hanya  yang  secara langsung bertentangan  dengan  syariat.  Misalnya, shalat Tarawih. Shalat ini dilembagakan pertama kali oleh Khalifah Umar. Nabi saw. bersabda:  "Hiduplah  dengan  setiap  orang  sesuai  dengan  kebiasaan  dan wataknya."  Oleh  karena  itu,  kita  dibenarkan  untuk  mengerjakan  hal-hal tertentu  demi  menyenangkan  orang,  jika  sikap  tidak-berkompromi  akan menyakitkan  hati  mereka.  Memang  benar  bahwa  para  sahabat  tidak mempunyai kebiasaan untuk berdiri ketika Nabi saw. masuk, karena mereka tidak  menyukai  praktek  ini;  tetapi  di  daerah-daerah  yang  mempunyai kebiasaan seperti ini, dan tidak melakukannya akan  bisa menimbulkan rasa tidak  senang,  lebih  baik  berkompromi  dengannya.  Orang-orang  Arab  punya kebiasaan  sendiri,  orang-orang  Persia  pun  demikian,  dan Allah  tahu  mana yang paling baik.


6
PEMERIKSAAN DIRI DAN DZIKIR KEPADA ALLAH

Ketahuilah  wahai  saudaraku,  bahwa  di  dalam  al-Qur'an Tuhan  telah berfirman, "Akan Kami pasang satu timbangan yang adil  di Hari Perhitungan dan tak akan ada jiwa yang dianiaya dalam segala hal. Siapa pun yang telah menempa  satu  butir  kebaikan  atau  maksiat,  kelak  pada  hari  itu  akan melihatnya."  Di  dalam  al-Qur'an  juga  tertulis,  "Setiap  jiwa  akan  melihat  apa yang  diperbuat  sebelumnya  pada  Hari  Perhitungan."  Khalifah  Umar  pernah berkata,  "Tuntutlah  pertanggungjawaban  dari  dirimu  sebelum  dituntut pertanggungjawabanmu."  Dan  Tuhan  berfirman,  "Wahai  kaum  mukminin, bersabar  dan  berjuanglah  melawan  nafsu-nafsumu  dan  kemudian beristiqamahlah."  Semua  wali  paham  bahwa  mereka  datang  ke  dunia  ini untuk  menyelenggarakan  suatu  lalu-lintas  ruhaniah.  Perolehan  ataupun kerugian yang menjadi akibatnya adalah surga atau neraka. Oleh karena itu, mereka selalu menatap dengan pandangan waspada kepada badan mereka yang berkhianat, bisa menyebabkan mereka menderita kerugian besar. Oleh karena  itu,  hanya  orang-orang  bijaksana  sajalah  yang  setelah  shalat subuhnya  menghabiskan  satu  jam  penuh  untuk  mengadakan  perhitungan ruhaniah  dan  berkata  kepada  jiwanya,  "Wahai  jiwaku,  engkau  hanya mempunyai  satu  hidup.  Tidak  satu  pun  saat  yang  telah  lewat  bisa dikembalikan,  karena  dalam  perbendaharaan  Allah  jumlah  nafas  bagianmu sudah tertentu dan tidak bisa ditambah. Ketika kehidupan telah berakhir, tidak ada lagi lalu-lintas ruhaniah yang mungkin kau peroleh. Karena itu, apa yang bisa kau kerjakan, kerjakanlah sekarang. Perlakuan hari ini sedemikian rupa seakan-akan  hidupmu  telah  kau  habiskan  sama  sekali  dan  bahwa  hari  ini adalah  hari  tambahan  yang  dianugerahkan  kepadamu  oleh  rahmat  Tuhan Yang  Maha  Kuasa.  Kekeliruan  apa  lagi  yang  lebih  besar dari pada  menyia-nyiakannya?"
Pada Hari Kebangkitan seseorang akan mendapati seluruh jam-jam hidupnya terjajar seperti satu deret lemari perbendaharaan.  Pintu salah satu lemari itu akan terbuka dan akan tampak penuh dengan cahaya. Hal itu mencerminkan saat  yang  dihabiskan  untuk  melakukan  kebaikan.  Hatinya  akan  dipenuhi dengan kegembiraan sedemikian besar sehingga sebagian dari padanya saja sudah akan membuat penghuni neraka melupakan api itu. Pintu lemari yang kedua akan  terbuka;  di  dalamnya  gelap  pekat dan  dari dalamnya  terpancar  bau  tidak  enak,  yang  menyebabkan  setiap  orang  menutup  hidungnya.  Itu mencerminkan  saat-saat  yang  dihabiskan  untuk  berbuat  maksiat.  Ia  akan merasakan takut yang sedemikian besar sehingga sebagian dari padanya saja sudah akan segera membuat penghuni surga gelisah dan memohon rahmat. Pintu  lemari  yang  ketiga  pun terbuka; di  dalamnya  tampak kosong,  tak ada cahaya tidak pula gelap. Ini mencerminkan saat-saat yang tidak dipakai untuk melakukan  kebaikan  maupun  maksiat.  Waktu  itu  ia  akan  merasa  sangat menyesal  dan  bingung  laksana  seorang  yang  memiliki  harta  banyak,  tapi menyia-nyiakannya  atau  membiarkannya  lepas  begitu  saja  dari genggamannya.  Jadi,  seluruh  rangkaian  saat-saat  hidupnya  akan dipertunjukkan  satu  demi  satu  di  depan  matanya.  Lantaran  itu,  seseorang mesti berkata kepada jiwanya setiap pagi: "Allah telah memberimu khazanah dua puluh empat jam. Berhati-hatilah agar engkau tidak kehilangan satu pun di  antaranya, karena engkau tidak  akan mampu menahan  penyesalan yang akan mengikuti kerugian seperti itu."
Para wali telah berkata, "Sekalipun, misalnya, Allah akan mengampuni anda yang  menyia-nyiakan  kehidupan,  anda  tidak  akan  bisa  mencapai  tingkatan orang-orang saleh dan mesti akan menyesali kerugian anda. Oleh karena itu, awasilah  dengan  ketat  lidah  anda,  mata  anda  dan  segenap  anggota  rubuh anda,  karena  masing-masing  daripadanya  mungkin  menjadi  pintu  gerbang menuju  neraka.  Ucapkanlah  pada  badan  anda,  'Jika  engkau memberontak, sesungguhnya  aku  akan  menghukummu'  karena  meskipun  badan  itu  keras kepala,  ia  mampu  menerima  perintah  dan  bisa  dijinakkan dengan keprihatinan."  Itulah  tujuan  pemeriksaan  diri,  dan  Nabi  saw.  telah  berkata, "Kebahagiaan  itu  bagi  orang  yang  sekarang  mengerjakan  amal-amal  yang akan memberikan keuntungan baginya setelah mati."
Sekarang  sampailah  kita  pada  dzikrullah  yang  berarti  ingatnya  seseorang bahwa Allah mengamati seluruh tindakan dan pikirannya. Orang-orang hanya melihat  penampilan  luar,  sementara  Allah  melihat  keduanya;  yang  di  luar maupun yang di dalam diri manusia. Orang yang benar-benar mempercayai hal ini akan mampu mendisiplinkan wujud-luar maupun wujud-dalamnya. Jika ia  menyangkal  hal  ini,  maka  ia  adalah  seorang  kafir;  dan  jika  sementara mempercayainya  dia  bertindak  bertentangan  dengan  kepercayaannya  itu, maka  dia  telah  melakukan  kesalahan  berupa  bersikap  angkuh  yang  paling parah.
Suatu  hari  seorang  Habsy  datang  kepada  Rasulullah  dan  berkata,  "Wahai Rasulullah, saya telah melakukan banyak dosa. Mungkinkah  tobat saya bisa diterima?"  Nabi  menjawab,  "Ya."  Kemudian  sang  Habsy berkata,  "Wahai Rasulullah,  setiap  saya  melakukan  dosa,  adakah  Tuhan  benar-benar melihatnya?" "Ya," jawab beliau. Sang Habsy pun melontarkan pekikan dan kemudian  jatuh  tak  sadar.  Sebelum  seseorang  benar-benar  yakin  akan kenyataan bahwa ia selalu berada di dalam pengamatan Allah, tidak mungkin ia bertindak di jalan yang benar.
Seorang Syaikh suatu kali mempunyai seorang murid  yang ia sayangi lebih dari  yang  lain,  sehingga  membangkitkan  rasa  iri  mereka.  Suatu  hari  sang Syaikh memberi masing-masing muridnya seekor unggas dan memerintahkan mereka  untuk  pergi  dan  membunuhnya  di  suatu  tempat  yang  tak  ada  yang bisa  melihat.  Sesuai  dengan  itu,  setiap  muridnya  membunuh  unggasnya  di tempat  yang  tersembunyi  dan  membawanya  kembali,  kecuali murid  Syaikh yang paling disayanginya itu. Ia membawa kembali unggas itu dalam keadaan hidup seraya berkata, "Saya tak bisa menemukan tempat seperti itu, karena Allah  selalu  melihatku  di  mana-mana."  Sang  Syaikh  pun berkata  kepada muridnya  yang lain, "Sekarang kamu tahu tingkatan  anak muda ini. Ia telah mencapai tingkat selalu mengingati Allah."
Ketika Zulaikha menggoda Yusuf, ia menutupkan kain ke atas wajah berhala yang biasa disembanya. Yusuf berkata kepadanya, "Wahai Zulaikha, engaku malu di hadapan seonggokan batu, maka tidakkah aku mestimalu di hadapan Dia  yang  menciptakan  tujuh  langit  dan  bumi."  Satu  kali  seseorang  datang kepada Wali Junaid dan berkata, "Saya tidak bisa menahan pandangan mata saya  dari  melihat  hal-hal  yang  menggairahkan.  Apa  yang  mesti  saya perbuat?"  Jawab  Junaid,  "Dengan  mengingat  bahwa  Allah melihatmu  jauh lebih jelas daripada kamu melihat orang lain." Di  dalam hadits qudsi tertulis bahwa Allah berfirman, "surga itu bagi orang-orang yang sempat berkeinginan untuk  mengerjakan  dosa  tapi  kemudian  ingat  bahwa  mataKu  ada  di  atas mereka dan kemudian mereka menahan diri."
Abdullah  bin  Dinar  meriwayatkan,  bahwa  suatu  kali  ia  berjalan  bersama Khalifah  Umar  di  dekat  Makkah  ketika  bertemu  seorang  anak  laki-laki penggembala  sedang  menggembalakan  sekawanan  domba.  Umar  berkata kepadanya,  "Juallah  seekor  domba  padaku."  Anak  laki-laki  itu  menjawab, "Domba-domba  ini  bukan  milikku,  tapi  milik  tuanku."  Kemudian  untuk mengujinya,  Umar  berkata,  "Engkau  kan  bisa  berkata  kepadanya  bahwa seekor srigala telah menyambar salah satu di antaranya,dan dia tidak akan tahu  apa-apa  mengenai  hal  itu?"  "Tidak,  memang  dia  tak  akan  tahu,"  kata anak  itu,  "tapi  Allah  akan  mengetahuinya."  Umar  pun  menangis  dan mendatangi  majikan  anak  laki-laki  itu  untuk  membelinya  dan  kemudian membebaskannya sambil berkata, "Ucapanmu itu telah membuatmu bebas di dunia ini akan akan membuatmu bebas pula di akhirat."
Ada dua tingkatan DZIKRULLAH ini.
Tingkatan  PERTAMA  adalah  tingkatan  para  wali  yang  pikiran-pikirannya seluruhnya  terserap  dalam  perenungan  dan  keagungan  Allah,  dan  sama sekali  tidak  menyisakan  lagi  ruang  di  hati  mereka  untuk  hal-hal  lain.  Inilah tingkatan zikir, yang lebih rendah, karena ketika hati manusia sudah tetap dan anggota-anggota  tubuhnya  sedemikian  terkendalikan  oleh  hatinya  sehingga mereka menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang sebenarnya halal, maka ia  sama  sekali  tak  lagi  butuh  akan  alat  ataupun  penjaga  terhadap  dosa-dosanya. Terhadap zikir seperti inilah Nabi saw. berkata, "Orang yang bangun dipagi  hari  hanya  dengan  Allah  di  dalam  pikirannya  maka  Allah  akan menjaganya di dunia ini maupun di akhirat."
Beberapa di antara penzikir ini sampai sedemikian larut dalam ingatan akan Dia,  sehingga,  mereka  tidak  mendengarkan  orang  yang  bercakap  dengan mereka,  tidak  melihat  orang  berjalan  di  depan  mereka,  tetapi  terhuyung-huyung seakan-akan melanggar dinding. Seorang wali meriwayatkan bahwa suatu  hari  ia  melewati  tempat  para  pemanah  sedang  mengadakan perlombaan memanah. Agak jauh dari situ, seseorang duduk sendirian. "Saya mendekatinya  dan  mencoba  mengajaknya  berbicara,  tetapi  dia  menjawab, 'Mengingat Allah lebih baik daripada bercakap.' Saya  berkata, 'Tidakkah anda kesepian?"  'Tidak,'  jawabnya,  'Allah  dan  dua  malaikat  bersama  saya.' Sembari  menunjuk  kepada  para  pemanah  saya  bertanya,  'Mana  di  antara mereka  yang  telah  berhasil  menggondol  gelar  juara?'  'Orang  yang  telah ditakdirkan Allah untuk menggondolnya,' jawabnya. Kemudian saya bertanya, 'Jalan  ini  datang  dari  mana?"  Terhadap  pertanyaan  ini  dia  mengarahkan matanya  ke  langit,  kemudian  bangkit  dan  pergi  seraya berkata,  "Ya  Rabbi, banyak mahlukMu menghalang-halangi orang dari mengingatMu.' "
Wali  Syibli  suatu  hari  pergi  mengunjungi  sufi  Tsauri. Didapatinya  Tsauri sedang duduk tafakur sedemikian tenang sehingga tidak satu pun rambut di tubuhnya bergerak. Syibli pun bertanya kepadanya, "Dari siapa anda belajar mempraktekkan  ketenangan  tafakur  seperti  itu?"  Tsauri  menjawab,  "Dari seekor kucing yang saya lihat menunggu di depan lobang  tikus dengan sikap yang bahkan jauh lebih tenang daripada yang saya lakukan."
Ibnu  Hanif  meriwayatkan,  "Kepada  saya  diberitakan  bahwa  di  kota  Sur seorang  syaikh  dengan  seorang  muridnya  selalu  duduk  dan  larut  di  dalam dzikrullah.  Saya  berangkat  ke  sana  dan  mendapati  mereka  berdua  duduk dengan  wajah  menghadap  ke  Makkah.  Saya  mengucapkan  salam  kepada mereka tiga kali, tapi mereka tidak menjawab. Saya berkata, "Saya meminta dengan  sangat,  demi  Allah,  agar  anda  menjawab  salam  saya."  Yang  lebih muda  mengangkat  kepalanya  dan  menjawab,  "Wahai  Ibnu  Hanif,  dunia  ini hanya  ada  untuk  waktu  yang  singkat  saja.  Dan  dari  waktu  yang  singkat  itu hanya  sedikit  yang  masih  tersisa.  Anda  telah  menghalang-halangi  kami dengan  menuntut  agar  kami  membalas  salam  anda."  Ia  kemudian menundukkan kepalanya kembali dan diam. Saya waktu itu merasa lapar dan haus, tetapi keingintahuan akan kedua orang itu membuat saya seakan lupa diri.  Saya  bersembahyang  'Ashar  dan  Maghrib  bersama  mereka,  kemudian meminta mereka memberi nasehat-nasehat ruhaniah. Yang muda menjawab, "Wahai Ibnu Hanif, kami ini orang sengsara, kami tidak memiliki lidah untuk memberikan nasehat." Saya tetap berdiri di sana tiga  hari tiga malam. Tidak satu patah kata pun terlontar dari kami dan tak seorang  pun tidur. Kemudian saya  berkata  dalam  hati,  "Saya  minta  mereka  dengan  sangat,  demi  Allah, untuk  memberi  saya  beberapa  nasehat."  Yang  muda  mengkasyaf  pikiran saya,  kemudian  sekali  lagi  mengangkat  kepalanya,  "Pergi dan  carilah seseorang  yang  dengan  mengunjunginya  akan  membuat  anda mengingati Allah,  dan  menanamkan  rasa  takut  akan  Dia  di  dalam  hati  anda,  dan  yang akan memberi anda nasehat melalui diamnya, bukan lewat cakapnya."
Itu  semua  adalah  zikir  para  wali,  yaitu  berada  dalam  keadan  terserap keseluruhan dalam perenungan akan Allah.
Tingkatan  KEDUA  dari  dzikrullah  adalah  zikir  "golongan  kanan"  (ashabulYamin).  Orang-orang  ini  sadar  bahwa  Allah  mengetahui segala  sesuatu tentang mereka dan merasa malu dalam kehadiranNya. Meskipun demikian, mereka  tidak  larut  dalam  pikiran  tentang  keagungan-keagunganNya, melainkan tetap sepenuhnya sadar  diri. Keadaan merekaseperti seseorang yang tiba-tiba terperangah di dalam keadaan telanjang dan dengan terburuburu  menutupi  dirinya.  Kelompok  tingkatan  pertama  tadi  menyerupai seseorang  yang  tiba-tiba  mendapati  dirinya  di  hadapan seorang  raja  dan merasa bingung serta kaget. Kelompok tingkatan kedua menyelidiki dengan teliti semua hal yang terlintas dalam pikiran mereka,karena pada hari akhir tiga pertanyaan akan ditanyakan berkenaan dengan setiap tindakan: kenapa engkau  melakukannya?;  bagaimana  kamu  melakukannya;  apa  tujuanmu melakukannya?  Yang  pertama  ditanyakan  karena  seorang  semestinya bertindak berdasarkan dorongan (impuls) Ilahiah dan bukan dorongan setan atau  badaniah  belaka.  Jika  pertanyaan  ini  dijawab  dengan  baik,  maka pertanyaan kedua  akan menguji tentang bagaimana pekerjaan itu dilakukan secara  bijaksana  atau  ceroboh  dan  lalai.  Dan  yang  ketiga,  pekerjaan  itu dilakukan hanya demi mencari ridha Tuhan ataukah demi memperoleh pujian manusia. Jika seseorang memahami arti pertanyaan-pertanyaan ini, ia akan menjadi  sangat  awas  terhadap  kadaan  hatinya  dan  terhadap  bagaimana  ia berpikiran  sebelum  akhirnya  bertindak.  Memperbedakan  pikiran-pikiran  itu adalah hal yang sulit dan musykil dan orang yang tidak mampu melakukannya mesti mengaitkan dirinya pada seorang pengarah ruhani yang bisa menerangi hatinya.  Ia  mesti  benar-benar  menghindar  dari  orang-orang  terpelajar  yang sepenuhnya bersikap duniawi. Mereka itu agen setan. Allah berfirman kepada Daud a.s. "Wahai Daud, jangan bertanya tentang orang-orang terpelajar yang teracuni  oleh  cinta  dunia,  karena  ia  akan  merampok  kecintaanKu  darimu." Dan Nabi saw. bersabda, "Allah mencintai orang yang cermat dalam meneliti soal-soal yang meragukan dan yang tidak membiarkan akalnya dikuasai oleh nafsunya."  Nalar  dan  pembedaan  berkaitan  erat,  dan  orang  yang  di  dalam dirinya  nalar  tidak  mengendalikan  nafsu  tidak  akan  cermat  melakukan penyelidikan.
Di  samping  beberapa  peringatan  tentang  penelitian  sebelum  bertindak, seseorang  juga  mesti  dengan  ketat  menuntut  pertanggungjawaban  dirinya atas tindakan-tindakan masa lampaunya.  Setiap malam  iamesti  memeriksa hatinya  berkenaan  dengan  apa  yang  telah  ia  kerjakan., demi  melihat  telah beruntung  ataukah  merugi  ia  dalam  modal  ruhaninya.  Inilah  yang  lebih penting, karena hati itu seperti rekanan dagang yang khianat yang selalu siap untuk  menipu  dan  mengelabui.  Kadang-kadang  ia  menampakkan  perasaan mementingkan-diri-sendirinya  dalam  bentuk  ketaatan  kepada  Allah sedemikian rupa, sehingga seseorang menyangka bahwa ia telah beruntung padahal sebenarnya ia merugi.
Seorang wali bernama Amiya, berumur enam puluh tahun, menghitung harihari  dalam  hidupnya  dan  ia  dapati  bahwa  hari-harinya  itu  berjumlah  21.600 hari. Ia berkata kepada dirinya sendiri, "Celaka aku, sekiranya aku melakukan satu  dosa  saja  setiap  harinya,  bagaimana  aku  bisa  melarikan  diri  dari timbunan 21.600 dosa?" Ia pun memekik dan rubuh ke tanah. Ketika orangorang datang untuk membangunkannya, mereka dapati ia telah mati.
Tetapi sebagian besar manusia  bersifat lalai dan tidak pernah berfikir untuk meminta  pertanggungjawaban  dirinya  sendiri.  Jika  bagi  setiap  dosa  yang dilakukannya, seseorang menempatkan sebutir batu di dalam sebuah rumah kosong,  segera  saja  akan  ia  dapati  rumah  itu  penuh  dengan  batu.  Jika malaikat  pencatat  menuntut  upah  darinya  bagi  pekerjaan  menuliskan  dosadosanya,  maka  semua  uangnya  akan  cepat  sirna.  Orang  menghitung  biji tasbih dengan rasa puas diri setiap kali mereka selesai menyebut nama Allah, tetapi  mereka  tidak  mempunyai  tasbih  untuk  menghitung kata-kata  sia-sia yang  tak terbilang banyaknya  yang telah  mereka  ucapkan. Oleh  karena itu, Khalifah  Umar  berkata,  "Timbang  benar-benar  kata-kata dan  tindakan-tindakanmu sebelum semuanya itu ditimbang pada saat pengadilan nanti." Ia sendiri  sebelum  beristirahat  pada  setiap  malamnya  biasa  memukul  kakinya dengan  disertai  rasa  ngeri  kemudian  berseru,  "Apa  yang  telah  kau  lakukan hari  ini?"  Abu  Thalhah  suatu  kali  shalat  di  sebuah  kebun  korma  ketika menampak seekor burung indah yang melintas menyebabkannya salah hitung jumlah  sujud  yang  telah  dilakukannya.  Untuk  menghukum dirinya  karena kelalaiannya ini, ia memberikan kebun kormanya kepada orang lain. Wali-wali seperti itu tahu bahwa sifat inderawi mereka cenderung untuk tersesat. Oleh karena itu mereka mengawasi dengan ketat dan menghukumnya untuk setiap kesalahan yang dilakukannya.
Jika  seseorang  mendapati  dirinya  bebal  dan  menolak  sikap  cermat  dan disiplin  diri,  ia  mesti  selalu  bersama-sama  dengan  seseorang  yang  cakap dalam  praktek-praktek  seperti  itu  agar  ia  tertulari  entusiasme  sang  ahli tersebut.  Seorang  wali  biasa  berkata,  "Jika  saya  ogah-ogahan  dalam melakukan  disiplin  diri,  saya  menatap  Muhammad  ibn  Wasi,  dan memandangnya saja sudah akan menyalakan kembali semangat saya, paling tidak  untuk  seminggu."  Jika  seorang  tidak  bisa  menemukan  teladan  sikap cermat  seperti  itu  di  sekitarnya,  maka  baik  baginya  utnuk  mempelajari kehidupan para Wali. Ia juga mesti mendorong jiwanya!
"Wahai jiwaku, kau anggap dirimu cerdas, dan marah jika disebut tolol. Lalu sebetulnya  kau  ini  apa?  Kau  persiapkan  pakaianmu  untuk  menutupi  dirimu dari  gigitan  musim  dingin,  tapi  tidak  kau persiapkan  diri  untuk  akhiratmu. Keadaanmu  seperti  seseorang  yang  di  tengah  musim  dingin  berkata,  'Saya tak  akan  mengenakan  pakaian  hangat,  tetapi  percaya  pada  rahmat  Tuhan untuk  melindungi  saya  dari  dingin.'  Ia  lupa  bahwa  bersamaan  dengan menciptakan  dingin, Allah menunjuki  manusia cara membuat  pakaian  untuk melindungi  diri  darinya  dan  menyediakan  bahan-bahan  untuk  pakaian  itu. Ingatlah  juga,  wahai  diri,  bahwa  hukumanmu  di  akhirat  bukan  karena  Allah marah pada ketidak-taatanmu, dan jangan berpikir: "Bagaimana mungkin dosa saya  mengganggu  Allah?"  Nafsumu  sendirilah  yang  akan  menyalakan kobaran neraka dalam dirimu. Makanan tidak sehat yang dimakan seseorang menimbulkan  penyakit  pada  tubuh  orang  itu,  bukan  karena  dokter  jengkel kepadanya karena melanggar nasehat-nasehatnya.
"Celakalah  'kau,  wahai  diri,  karena  cintamu  yang  berlebihan  kepada  dunia! Jika  kau  tidak  percaya  pada  surga  dan  neraka,  bagaimana  mungkin  kau percaya pada mati yang akan merenggut semua kenikmatan duniawi dirimu dan  menyebabkan  kau  menderita  oleh  perpisahan  itu  sebanding  dengan keterikatanmu  pada  kenikmatan  duniawi  itu.  Kenapa  kau  dicipta  setelah dunia?  Jika  semuanya,  dari  timur  sampai  barat,  adalah milikmu  dan menyembahmu,  toh  dalam  waktu  singkat  semuanya  itu  akan menjelma menjadi  debu  bersama  dirimu,  dan  pemusnahan  akan  menghapuskan namamu  sebagaimana  raja-raja  sebelummu.  Tetapi  sekarang,  mengingat bahwa kau hanyalah memiliki sebagian sangat kecil dari dunia ini dan itu pun bagian  yang  kotor  daripadanya,  akankah  kau  begitu  gila  untuk  menukar kebahagiaan  abadi  dengannya,  permata  yang  mahal  dengan  sebuah  gelas pecah  yang  terbuat  dari  lempung  dan  menjadikan  dirimu  bahan  tertawaan orang-orang di sekitarmu?"

 7
PERKAWINAN SEBAGAI PENDORONG ATAU PENGHALANG DALAM KEHIDUPAN KEAGAMAAN

Perkawinan  memainkan  peran  yang  besar  dalam  kehidupan manusia, sehingga  ia  perlu  diperhitungkan  dalam  membahas  soal  kehidupan keagamaan  dan  dibicarakan  dalam  dua  aspeknya,  yaitu  keuntungan  dan kerugiannya.
Mengetahui bahwa Allah, sebagaimana kata al-Qur'an,  "Hanya menciptakan manusia dan jin untuk beribadah," maka keuntungan yangpertama dan nyata dalam  perkawinan  adalah  bahwa  para  penyembah  Allah  menjadi  makin banyak  jumlahnya.  Oleh  karena  itu,  para  ahli  ilmu  kalam  telah  menyusun seuntai  pepatah:  lebih  baik  tersibukkan  dalam  tugas-tugas  perkawinan daripada dalam ibadah-ibadah sunnah. Keuntungan lain daripada perkawinan adalah sebagaimana disabdakan oleh Nabi: "Doa anak-anak bermanfaat bagi orang  tuanya  jika  orang  tuanya  itu  telah  meninggal, dan  anak-anak  yang meninggal  sebelum  orang  tuanya  akan  memintakan  ampun  bagi  mereka  di Hari Pengadilan." Sabda Nabi pula: "Ketika seorang anak diperintahkan untuk masuk surga, dia menangis dan berkata, "Saya tak akan memasukinya tanpa ayah dan ibu saya." Juga, suatu hari Nabi dengan keras menarik lengan baki seseorang  ke  arah  dirinya  sambil  bersabda,  "Demikianlah anak-anak  akan menarik  orang  tuanya  ke  surga."  Beliau  menambahkan,  "Anak-anak berkumpul berdesak-desakan di pintu gerbang surga dan menjerit memanggil ayah dan ibunya, hingga keduanya yang masih berada diluar diperintahkan untuk masuk dan bergabung dengan anak-anak mereka."
Diriwayatkan  dari  seorang  Wali  yang  termasyhur  bahwa  suatu  kali  ia bermimpi bahwa Hari Pengadilan telah tiba. Mataharitelah mendekat ke bumi dan orang-orang mati karena kehausan. Sekelompok anak-anak berjalan kian kemari memberi mereka air dari cawan-cawan emas dan perak. Tetapi ketika sang  Wali  meminta  air,  ia  ditolak,  dan  salah  seorang  anak  itu  berkata kepadanya,  "Tidak  salah  seorang  pun  di  antara  kami  ini  anak-anak  anda." Segera setelah sang Wali bangun ia berencana untuk kawin.
Keuntungan lain dari perkawinan adalah bahwa duduk bersama dan bersikap baik  terhadap  istri  adalah  suatu  perbuatan  yang  memberikan  rasa  santai kepada  pikiran  setelah  asyik  mengerjakan  tugas-tugas  keagamaan.  Dan setelah santai seperti itu seseorang bisa kembali beribadah dengan semangat baru.  Demikianlah  Nabi  saw.  sendiri,  ketika  merasakan  beban  turunnya wahyu  menekan  terlalu  berat  atasnya,  ia  menyentuh  istrinya  Aisyah  dan berkata:  "Berbicaralah  padaku  wahai  'Aisyah,  berbicaralah  padaku!" Dilakukannya hal ini karena dari sentuhan kemanusiaan yang hangat itu bisa mendapatkan  kekuatan  untuk  menerima  wahyu-wahyu  baru.  Untuk  alasan yang  sama  ia  biasa  meminta  Bilal  untuk  mengumandangkan  azan  dan kadang-kadang  ia  juga  membaui  wawangian  yang  harum.  Salah  satu haditsnya  yang  terkenal  adalah:  "Saya  mencintai  tiga  hal  di  dunia  ini: wewangian, wanita dan penyegaran kembali dengan shalat." Suatu kali Umar bertanya  kepada  Nabi  tentang  hal-hal  yang  paling  penting  untuk  dicari  di dunia  ini.  Beliau  saw.  menjawab:  "Lidah  yang  selalu  berzikir  kepada  Allah, hati yang penuh rasa syukur dan istri yang amanat."
Keuntungan lain dari perkawinan adalah adanya seseorang yang memelihara rumah, memasak makanan, mencuci piring, menyapu lantai  dan sebagainya. Jika seoran glaki-laki sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan itu, maka ia tak bisa mencari  ilmu,  menjalankan  perdagangannya  atau  melakukan  ibadahibadahnya dengan sepatutnya. Untuk alasan ini Abu Sulaiman berkata: "Istri yang  baik  bukan  saja  rahmat  di  dunia  ini,  tetapi  juga di  akhirat,  karena  ia memberikan  waktu  senggang  kepada  suaminya  untuk  berpikir  tentang akhirat."  Dan  salah  satu  di  antara  ucapan  Khalifah  Umar  adalah:  "Setelah iman, tidak ada rahmat yang bisa menyamai istri yang baik."
Tambahan  lagi,  perkawinan  masih  memiliki  keuntungan  yang  lain,  yaitu bersikap  sabar  dengan  tetek-bengek  kewanitaan  -  memberikan kebutuhankebutuhan  istri  dan  menjaga  mereka  agar  tetap  berada  di  jalan  hukum  - adalah  suatu  bagian  yang  amat  penting  dari  agama.  Nabi  saw.  bersabda; "Memberi nafkah kepada istri lebih penting daripada memberi sedekah."
Suatu  kali,  ketika  Ibnu  Mubarak  sedang  berpidato  di  hadapan  orang-orang kafir, salah seorang sahabatnya bertanya kepadanya: "Adakah pekerjaan lain yang  lebih  memberikan  ganjaran  daripada  jihad?"  "Ya,"  jawabnya,  "Yaitu memberi  makan  dan  pakaian  kepada  istri  dan  anak  dengan  sepatutnya." Waliyullah  yang  termasyhur  Bisyr  Hafi  berkata:  "Lebih  baik  bagi  seseorang untuk  bekerja  bagi  istri  dan  anak  daripada  bagi  dirinya  sendiri."  Di  dalam hadits  diriwayatkan  bahwa  beberapa  dosa  hanya  bisa  ditebus  dengan menanggung beban keluarga.
Berkenaan dengan seorang wali, diriwayatkan bahwa istrinya meninggal dan ia tak bermaksud kawin lagi meski orang-orang mendesaknya seraya berkata bahwa dengan begitu akan lebih mudah baginya untuk memusatkan diri dan pikirannya  di  dalam  uzlah.  Pada  suatu  malam  ia  melihat  dalam  mimpinya pintu surga terbuka dan sejumlah malaikat turun, lalu mendekatinya dan salah satu di antara mereka bertanya: "Inikah orang yang celaka yang egois itu?" dan  rekan-rekannya  menjawab:  "Ya,  inilah  dia."  Wali  itu  sedemikian terperangahnya  sehingga  tidak  sempat  bertanya  tentang  siapakah  yang mereka  maksud.  Tetapi  tiba-tiba  seorang  anak  laki-laki  lewat  dan  ia  pun bertanya kepadanya. "Andalah yang sedang mereka bicarakan," jawab sang anak, "baru minggu yang lalu perbuatan-perbuatan baik anda dicatat di surga bersama  dengan  wali-wali  yang  lain,  tetapi  sekarang  mereka  telah menghapuskan  nama  anda  dari  buku  catatan  itu."  Setelah terjaga  dengan pikiran  penuh  tanda  tanya,  dia  pun  segera  membuat  rencana  untuk  kawin. Dari semua hal di atas, tampak bahwa perkawinan memang diinginkan.
Sekarang  akan  kita  bicarakan  kerugian-kerugian  perkawinan.  Salah  satu  di antaranya  adalah  adanya  suatu  bahaya,  khususnya  di  masa  sekarang  ini, bahwa  seorang  laki-laki  mesti  mencari  nafkah  dengan  sarana-sarana  yang haram  untuk  menghidupi  keluarganya,  padahal  tidak  ada perbuatan-perbuatan baik yang bisa menebus dosa ini. Nabi saw. bersabda bahwa pada Hari Kebangkitan akan ada laki-laki yang membawa tumpukan perbuatan baik setinggi gunung dan menempatkannya di dekat Mizan. Kemudian ia ditanya; "Dengan  cara  bagaimana  engkau  menghidupi  keluargamu?"  Ia  tak  bisa memberikan jawaban yang memuaskan, maka semua perbuatan baiknya pun akan  dihapuskan  dan  suatu  pernyataan  akan  dikeluarkan  berkenaan dengannya: "Inilah orang yang keluarganya telah menelan semua perbuatan baiknya!"
Kerugian  lain  dari  perkawinan  adalah  bahwa  memperlakukan  keluarga dengan baik dan sabar dan menyelesaikan masalah-masalah mereka hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki tabiat baik. Ada bahaya besar jika  seorang  laki-laki  memperlakukan  keluarganya  dengan  kasar  atau mengabaikan mereka, sehingga menimbulkan dosa bagi dirinya sendiri. Nabi saw.  bersabda:  "Seseorang  yang  meninggalkan  istri  dan anak-anaknya adalah  seperti  budak  yang  lari.  Sebelum  ia  kembali  kepada  mereka,  puasa dan shalatnya tidak akan diterima oleh Allah." Ringkasnya, manusia memiliki sifat-sifat rendah, dan sebelum ia bisa mengendalikan  sifatnya itu, lebih baik ia tidak memikul tanggung jawab untuk mengendalikan orang lain. Seseorang bertanya  kepada  Wali  Bisyr  Hafi,  kenapa  ia  tidak  kawin. "Saya  takut,"  ia menjawab,  "akan  ayat  al-Qur'an:  'hak-hak  wanita  atas  laki-laki  persis  sama dengan hak-hak laki-laki atas wanita'."
Kerugian  ketiga  dari  perkawinan  adalah  bahwa  mengurus  sebuah  keluarga seringkali  menghalangi  seseorang  dari  memusatkan  perhatiannya  kepada Allah  dan  akhirat.  Dan  boleh  jadi,  kecuali  kalau  ia  berhati-hati,  hal  itu  akan menyeretnya  kepada  kehancuran,  karena  Allah  telah  berfirman:  "Janganlah istri-istri  dan  anak-anakmu  memalingkanmu  dari  mengingat  Allah."  Orang yang  berpikir,  bahwa  dengan  tidak  kawin  ia  bisa  memusatkan  perhatiannya lebih  baik  pada  kewajiban-kewajiban  keagamaannya,  lebih baik  ia  tetap sendirian;  dan  orang-orang  yang  takut  untuk  terjatuh  ke  dalam  dosa  jika  ia tidak kawin, lebih baik ia kawin.
Sekarang  kita  sampai  pada  sifat-sifat  yang  mesti  dicari  dalam  diri  seorang istri. Pertama, yang paling penting di antaranya, adalah kesucian akhlak. Jika seseorang  mempunyai  istri  yang  berakhlak  tidak-baik  dan  ia tetap  diam,  ia mendapatkan  nama  jelek  dan  terhambat  kehidupan  keagamaannya.  Jika  ia angkat bicara, hidupnya menjadi rusak. Dan bila ia ceraikan istrinya, ia akan menderita  kepedihan  perpisahan.  Seorang  istri  yang  cantik  tapi  berakhlak buruk  adalah  bencana  yang  sedemikian  besar,  sehingga  lebih  baik  bagi suaminya untuk menceraikannya. Nabi saw. bersabda; "Orang yang mencari istri demi kecantikannya atau kekayaannya akan kehilangan keduanya."
Sifat  baik  kedua  dalam  diri  seorang  istri  adalah  tabiat yang  baik.  Istri  yang bertabiat  buruk  -  tidak  berterima  kasih,  suka  bergunjing atau  angkuh  - membuat  hidup  tak  tertanggungkan  dan  merupakan  halangan  besar  untuk menjalin kehidupan takwa.
Sifat  ketiga  yang  harus  dicari  adalah  kecantikan,  karena  hal  ini  akan menimbulkan  cinta  dan  kasih  sayang.  Oleh  karena  itu,  seseorang  mesti melihat  seorang  wanita  sebelum  mengawininya.  Nabi  saw. bersabda; "Wanita-wanita  dari  suku  ini  dan  itu  memiliki  cacat  di  mata-mata  mereka. Seorang yang ingin mengawini seseorang di antara mereka mesti melihatnya dulu." Orang bijak berkata bahwa seseorang yang mengawini seorang wanita tanpa  melihatnya  lebih  dulu,  pasti  akan  menyesal  kelak.  Memang  benar bahwa seseorang tidak seharusnya kawin demi kecantikan, tetapi hal ini tidak berarti bahwa kecantikan mseti dianggap tidak penting sama sekali.
Hal  penting  keempat  tentang  seorang  istri  adalah  bahwa  besarnya  mahar dibayarkan  oleh  seorang  laki-laki  kepada  istrinya  mesti dalam  jumlah pertengahan. Nabi saw.  bersabda: "Wanita  yang  paling  baik untuk  diperistri adalah  yang  maharnya  kecil  dan  nilai  kecantikannya  besar."  Beliau  sendiri memberi mahar kepada beberapa calon istrinya sekitar sepuluh dirham, dan mahar putri-putri beliau sendiri tidak lebih daripadaempat ratus dirham.
Sifat-sifat lain yang harus dimiliki seorang istri yang  baik adalah: berasal dari keturunan baik-baik, belum kawin sebelumnya dan tidak terlalu dekat dalam hubungan kekeluargaan dengan suaminya.

Hal-hal yang Harus Dikerjakan dalam Perkawinan
Pertama;  karena  perkawinan  adalah  suatu  lembaga  keagamaan,  maka  ia mesti diperlakukan secara keagamaan. Jika tidak demikian, pertemuan antara laki-laki  dan  wanita  itu  tidak  lebih  baik  daripada  pertemuan  antar  hewan. Syariat  memerintahkan  agar  diselenggarakan  perjamuan  dalam  setiap perkawinan.  Ketika  Abdurrahman  bin  'Auf  merayakan  perkawinannya  Nabi saw. berkata kepadanya: "Buatlah suatu pesta perkawinan, meskipun hanya dengan seekor kambing." Ketika Nabi saw. sendiri merayakan perkawinannya dengan  Shafiyyah,  beliau  membuat  pesta  perkawinan  dan  menghidangkan kurma dan gandum saja. Demikian pula, perkawinan sebaiknya dimeriahkan dengan  memukul  rebana  dan  memainkan  musik,  karena  manusia  adalah mahkota penciptaan.
Kedua; seorang suami istri mesti terus bersikap baik terhadap istrinya. Hal ini tidak  berarti  bahwa  ia  tidak  boleh  menyakitinya,  melainkan  sebaiknya menanggung  dengan  sabar  semua  perasaan  tidak  enak  yang  diakibatkan oleh  istrinya,  baik  itu  karena  ketidak-masuk-akal-an  sikap  istrinya  atau  sikap tidak ber-terimakasih-nya.  Wanita  diciptakan  lemah  dan  membutuhkan perlindungan;  karenanya  ia  mesti  diperlakukan  dengan  sabar  dan  terus dilindungi.  Nabi  saw.  bersabda:  "Seseorang  yang  mampu menanggung ketidak-enakan yang ditimbulkan oleh istrinya dengan penuh kesabaran akan memperoleh pahala sebesar yang diterima oleh Ayub a.s.atas kesabarannya menanggung  bala  (ujian)  yang  menimpanya."  Pada  saat-saat  sebelum wafatnya, orang mendengar pula Nabi saw. bersabda: "Teruslah berdoa dan perlakukan  istri-istrimu  dengan  baik,  karena  mereka  adalah  tawanan-tawananmu."  Beliau  sendiri  selalu  menanggung  dengan  sabar  tingkah  laku istri-istrinya.  Suatu  hari  istri  Umar  marah  dan  mengomelinya,  ia  berkata kepadanya: "Hai kau yang berlidah tajam, berani kau menjawabku?" Istrinya menjawab, "Ya, penghulu para nabi lebih baik daripadamu, sedangkan istri-istrinya saja mendebatnya." Ia menjawab: "Celakalah  Hafshah (Purti Sayidina Umar, istri Nabi saw.) jika ia tidak merendahkan dirinya sendiri." Dan ketika ia berjumpa  Hafshah,  ia  berkata,  "Awas,  kau  jangan  mendebat  Rasul."  Nabi saw.  juga  berkata:  "Yang  terbaik  di  antaramu  adalah  yang  terbaik  sikapnya kepada  keluarganya  sendiri,  dan  akulah  yang  terbaik  sikapnya  terhadap keluargaku."
Ketiga;  seorang  suami  istri  mesti  berkenan  terhadap  rekreasi-rekreasi  dan kesenangan-kesenangan  istrinya  dan  tidak  mencoba  menghalanginya.  Nabi saw. sendiri pada suatu waktu pernah berlomba lari dengan istrinya, 'Aisyah. Pada  kali  pertama  Nabi  saw.  mengalahkan  'Aisyah  dan  pada  kali  kedua, 'Aisyah mengalahkannya. Di waktu lain, beliau menggendong 'Aisyah agar ia bisa melihat beberapa orang Habsy menari. Pada kenyataannya akan sulitlah untuk  menemukan seseorang  yang bersikap sedemikian  baik  terhadap  istri-istrinya  seperti  yang  dilakukan  Nabi  saw.  Orang-orang  bijak  berkata: "Seorang suami mesti pulang dengan tersenyum dan makan apa saja yang tersedia dan tidak meminta apa-apa yang tidak tersedia." Meskipun demikian, ia tidak boleh berlebihan agar istrinya tidak kehilangan penghargaan atasnya. Jika ia melihat sesuatu yang nyata-nyata salah dilakukan oleh istrinya, ia tidak boleh mengabaikannya, melainkan harus menegurnya. Atau jika tidak, ia akan menjadi  sekadar  bahan  tertawaan  saja.  Dalam  al-Qur'an tertulis:  "Laki-laki adalah  pemimpin  bagi  wanita,"  dan  Nabi  saw.  berkata: "Celakalah  laki-laki yang  menjadi  budak  istrinya."  Seharusnya  istrinyalah  yang  menjadi pelayannya. Orang-orang bijak berkata; "Berkonsultasilah dengan wanita dan berbuatlah  yang  bertentangan  dengan  apa  yang  mereka  nasehatkan." Memang ada suatu sikap suka melawan dalam diri wanita;dan jika mereka diizinkan meskipun sedikit, mereka akan sama sekali lepas dari kendali dan sulitlah  untuk  mengembalikannya  kepada  sikap  yang  baik.  Dalam  urusan dengan mereka, seseorang mesti berusaha menggunakan gabungan antara ketegasan dan rasa kasih sayang dengan kasih sayang sebagai bagian yang lebih besar. Nabi saw. berkata: "Wanita diciptakan seperti sepotong tulang iga yang bengkok. Jika kau coba meluruskannya, kau akan mematahkannya; jika kau  biarkan  demikian,  ia  akan  tetap  bengkok.  Karena  itu  perlakukanlah  ia dengan penuh kasih sayang."
Keempat; dalam hal pelanggaran susila, seorang suami harus sangat berhatihati  agar  tidak  membiarkan  istrinya  dipandang  atau  memandang  seorang asing,  karena  awal  dari  seluruh  kerusakan  itu  adalah  dari  mata.  Sebisabisanya  jangan  izinkan  ia  untuk  keluar  rumah,  berdiri  di  loteng  rumah  atau berdiri di pintu. Meskipun demikian, anda mesti hati-hati agar tidak cemburu tanpa  alasan  dan  bersikap  terlalu  ketat.  Suatu  hari  Nabi  saw.  bertanya kepada anaknya, Fathimah: "Apakah yang terbaik bagi wanita?" Ia menjawab: "Mereka  tidak  boleh  menemui  orang-orang  asing,  tidak  pula  orang-orang asing boleh menemui mereka." Nabi saw. senang mendengar jawaban ini dan memeluknya  seraya  berkata;  "Sesungguhnya  engkau  adalah sebagian  dari hatiku."  Amirul  Mu'minin  Umar  berkata:  "Jangan  memberi  wanita  pakaianpakaian  yang  baik,  karena  segera  setelah  mereka  mengenakannya  mereka berkeinginan  untuk  keluar  rumah."  Pada  masa  hidup  Nabi,  wanita-wanita diizinkan pergi ke masjid dan tinggal di barisan paling belakang. Tapi secara bertahap hal ini dilarang.
Kelima;  seorang  suami  mesti  memberi  nafkah  secukupnya  kepada  istrinya dan tidak bersifat kikir kepadanya. Memberi nafkah yang selayaknya kepada istri  lebih  baik  daripada  memberi  sedekah.  Nabi  saw.  bersabda:  "Misalkan seorang  laki-laki  menghabiskan  satu  dinar  untuk  berjihad, satu  dinar  lagi untuk menebus seorang budak, satu dinar lagi untuk sedekah dan memberikan satu  dinar  juga  kepada  istrinya,  maka  pahala  pemberian  yang  terakhir  ini melebihi jumlah pahala ketiga pemberian lainnya."
Keenam;  seorang  suami  tidak  boleh  makan  sesuatu  yang  lezat sendirian; atau  kalaupun  ia  telah  memakannya,  ia  mesti  diam  dan  tidak  memujinya  di depan istrinya. Jika tidak ada tamu, lebih baik bagi pasangan suami istri untuk makan bersama, karena Nabi saw. bersabda: "Jika mereka melakukan hal itu, Allah  menurunkan  rahmatNya  atas  mereka  dan  para  malaikat  pun  berdoa untuk mereka." Hal yang paling penting adalah bahwa nafkah yang diberikan kepada istri itu harus didapatkan dengan cara-cara halal.
Jika  istri  bersikap  memberontak  dan  tidak  taat,  pertama  sekali  suami  mesti menasehatinya dengan lemah lembut. Jika hal ini tidak cukup keduanya mesti tidur di kamar terpisah untuk tiga malam. Jika hal ini juga tidak berhasil, maka suami  boleh  memukulnya,  tetapi  tidak  di  mulutnya,  tidak  pula  terlalu  keras hingga  bisa  melukainya.  Jika  istri  lalai  dalam  tugas-tugas  keagamaannya, suami  mesti  menunjukkan  sikap  tidak  senang  kepadanya  selama sebulan penuh, sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi kepada istri-istrinya.
Selalulah bertindak hati-hati agar perceraian bisa dihindari; karena, meskipun perceraian  diizinkan,  Allah  tidak  menyukainya.  Perkataan  cerai  saja  sudah mengakibatkan  penderitaan  bagi  seseorang  wanita,  dan  bagaimana  bisa dibenarkan seseorang menyakiti orang lain? Jika perceraian terpaksa sekali dilakukan,  maka  ucapan  itu  tidak  boleh  diulangi  tiga  kali  sekaligus,  tetapi harus pada tiga waktu yang berlainan. Seorang perempuan mesti dicerai baikbaik, tidak dengan kemarahan ataupun penghinaan, tidak  pula tanpa alasan. Setelah  perceraian,  seorang  laki-laki  mesti  memberikan  pemberian  (mut'ah) kepada  bekas  istrinya,  dan  tidak  menceritakan  kepada  orang  lain  alasan-alasan  atau  kesalahan-kesalahan  yang  dilakukan  istrinya  sehingga  mereka bercerai. Dari seorang suami yang hendak menceraikan istrinya, diriwayatkan bahwa  orang-orang  bertanya  kepadanya:  "Mengapa  engkau menceraikannya?"  Ia  menjawab:  "Saya  tak  akan  membongkar  rahasia-rahasia istri saya." Ketika akhirnya ia benar-benar menceraikannya, ia ditanya lagi dan berkata; "Dia sekarang orang asing bagiku; saya tidak lagi berurusan dengan soal-soal pribadinya."
Sejauh ini telah kita bahas hak-hak istri atas suaminya,  tetapi hak-hak suami atas istrinya  lebih  mengikat  lagi. Nabi saw. bersabda: "Jika  saja  dibolehkan untuk menyembah sesuatu selain Allah, akan aku perintahkan agar para istri menyembah suami-suami mereka."
Seorang  istri  tidak  boleh  menggembar-gemborkan  kecantikannya  di  depan suaminya,  tidak  boleh  membalas  kebaikan  sang  suami  dengan  perasaan tidak  terima  kasih.  Istri  tidak  boleh  berkata  kepada  suaminya:  "Kenapa kau perlakukan aku begini dan begitu?" Nabi saw. bersabda: "Aku melihat ke dalam  neraka  dan  menampak  banyak  wanita  di  sana.  Kutanyakan  sebab-sebabnya dan mendapat jawaban, karena mereka berlaku  tidak baik kepada suami-suami mereka dan tidak berterima kasih kepadanya."

8
CINTA KEPADA ALLAH

Kecintaan  kepada  Allah  adalah  topik  yang  paling  penting  dan  merupakan tujuan akhir pembahasan kita sejauh ini. Kita telah berbicara tentang bahayabahaya ruhaniah karena mereka menghalangi kecintaan kepada Allah di hati manusia.  Telah  pula  kita  bicarakan  tentang  berbagai  sifat  baik  yang diperlukan  untuk  itu.  Penyempurnaan  kemanusiaan  terletak  di  sini,  yaitu bahwa  kecintaan  kepada  Allah  mesti  menaklukkan hati  manusia dan menguasainya  sepenuhnya.  Kalaupun  kecintaan  kepada  Allah  tidak menguasainya  sepenuhnya,  maka  hal  itu  mesti  merupakan  perasaan  yang paling  besar  di  dalam  hatinya,  mengatasi  kecintaan  kepada  yang  lain-lain. Meskipun demikian, mudah dipahami bahwa kecintaan kepada  Allah adalah sesuatu  yang  sulit  dicapai,  sehingga  suatu  aliran  teologi  telah  kenyataan sama  sekali  menyangkal,  bahwa  manusia  bisa  mencitai  suatu  wujud  yang bukan merupakan spesiesnya sendiri. Mereka telah mendefinisikan kecintaan kepada  Allah  sebagai  sekedar  ketaatan  belaka.  Orang-orang  yang berpendapat  demikian  sesungguhnya  tidak  tahu  apakah  agama  itu sebenarnya.
Seluruh  muslim sepakat  bahwa  cinta  kepada Allah  adalah  suatu  kewajiban. Allah  berfirman  berkenaan  dengan  orang-orang  mukmin: "Ia  mencintai mereka  dan  mereka  mencitaiNya."  Dan  Nabi  saw.  Bersabda,  "Sebelum seseorang mencintai Allah dan NabiNya lebih daripada mencintai yang lain, ia tidak  memiliki  keimanan  yang  benar."  Ketika  Malaikat  Maut  datang  untuk mengambil nyawa Nabi Ibrahim, Ibrahim berkata: "Pernahkan engkau melihat seorang  sahabat  mengambil  nyawa  sahabatnya?"  Allah  menjawabnya, "Pernahkan  engkau  melihat  seorang  kawan  yang  tidak  suka  untuk  melihat kawannya?" Maka Ibrahim pun berkata, "Wahai Izrail, ambillah nyawaku!"
Doa berikut ini diajarkan oleh Nabi saw. kepada parasahabatnya; "Ya Allah, berilah  aku  kecintaan  kepadaMu  dan  kecintaan  kepada  orang-orang  yang mencintaiMu,  dan  apa  saja  yang  membawaku  mendekat  kepada  cintaMu. Jadikanlah  cintaMu  lebih  berharga  bagiku  daripada  air  dingin  bagi  orang-orang  yang  kehausan."  Hasan  Basri  seringkali  berkata:  "Orang  yang mengenal  Allah  akan  mencintaiNya;  dan  orang  yang  mengenal  dunia  akan membencinya."
Sekarang  kita  akan  membahas  sifat  esensial  cinta.  Cinta  bisa  didefinisikan sebagai suatu kecenderungan kepada sesuatu yang menyenangkan. Hal ini tampak  nyata  berkenaan  dengan  lima  indera  kita.  Masing-masing  indera mencintai  segala  sesuatu  yang  memberinya  kesenangan.  Jadi,  mata mencintai bentuk-bentuk yang indah, telinga mencintai musik, dan seterusnya. Ini  adalah  sejenis  cinta  yang  juga  dimiliki  oleh  hewan-hewan.  Tetapi  ada indera  keenam,  yakni  fakultas  persepsi,  yang  tertanamkan  dalam  hati  dan tidak  dimiliki  oleh  hewan-hewan.  Dengannya  kita  menjadi  sadar  akan keindahan dan keunggulan ruhani. Jadi, seseorang yanghanya akrab dengan kesenangan-kesenangan  inderawi  tidak  akan  bisa  memahami  apa  yang dimaksud  oleh  Nabi  saw.  ketika  bersabda  bahwa  ia  mencintai  shalat  lebih daripada wewangian dan wanita, meskipun keduanya itu juga menyenangkan baginya.  Tetapi  orang  yang  mata-hatinya  terbuka  untuk  melihat  keindahan dan kesempurnaan Allah  akan meremehkan semua penglihatan-penglihatan luar, betapa pun indah tampaknya semua itu.
Manusia  yang  hanya  akrab  dengan  kesenangan-kesenangan  inderawi  akan berkata  bahwa  keindahan  ada  pada  warna-warni  merah  putih,  anggota-anggota  tubuh  yang  serasi  dan  seterusnya,  sedang  ia  buta  terhadap keindahan  moral  yang  dimaksudkan  oleh  orang-orang  ketika  mereka berbicara  tentang  orang  ini  dan  orang  itu  yang  memiliki  tabiat  baik.  Tetapi orang-orang yang memiliki persepsi yang lebih dalam merasa sangat mungkin untuk  bisa  mencintai  orang-orang  besar  yang  telah  jauh  mendahului  kita  - seperti  kata  Khalifah  Umar  dan  Abu  Bakar  -  berkenaan  dengan  sifat-sifat mulia  mereka,  meskipun  jasad-jasad  mereka  telah  sejak  dahulu  sekali bercampur dengan debu. Kecintaan seperti itu tidak diarahkan kepada bentuk luar  melainkan  kepada  sifat-sifat  ruhaniah.  Bahkan  ketika  kita  ingin membangkitkan rasa cinta di dalam diri seorang anak kepada orang lain, kita tidak  menguraikan  keindahan  luar  bentuk  itu  atau  yang  lainnya,  melainkan kunggulan-keunggulan ruhaniahnya.
Jika  kita  terapkan  prinsip  ini  untuk  kecintaan  kepada  Allah,  maka  akan  kita dapati bahwa Ia sendiri sajalah yang pantas dicintai. Dan jika seseorang tidak mencintaiNya, maka hal itu disebabkan karena ia tidak mengenaliNya. Karena alasan  inilah,  maka  kita  mencintai  Muhammad  saw.,  karena  ia  adalah  Nabi dan kecintaan Allah; dan kecintaan kepada orang-orangberilmu dan bartakwa adalah  benar-benar  kecintaan  kepada  Allah.  Kita  akan  melihat  hal  ini  lebih jelas kalau kita membahas sebab-sebab yang bisa membangkitkan kecintaan.
Sebab pertama adalah kecintaan seseorang atas dirinya dan kesempurnaan sifatnya  sendiri.  Hal  ini  membawanya  langsung  kepada  kecintaan  kepada Allah,  karena  kemaujudan  asasi  dan  sifat-sifat  manusia  tidak  lain  adalah anugerah  Allah.  Kalau  bukan  karena  kebaikanNya,  manusia  tidak  akan pernah  tampil  dari  balik  tirai  ketidak-maujudan  ke  dunia  kasat-mata  ini. Pemeliharaan  dan  pencapaian  kesempurnaan  manusia  juga  sama  sekali tergantung  para  kemurahan  Allah.  Sungguh  aneh  jika  seseorang  mencari perlindungan  dari  panas  matahari  di  bawah  bayangan  sebuah  pohon  dan tidak bersyukur kepada pohon yang tanpanya tidak akan adabayangan sama sekali.  Sama  seperti  itu,  kalau  bukan  karena  Allah,  manusia  tidak  akan maujud (ada) dan sama sekali tidak pula mempunyai sifat-sifat. Oleh sebab itu  ia  akan  mencintai  Allah  kalau  saja  bukan  karena  ke-masa-bodoh-an terhadapNya.  Orang-orang  bodoh  tidak  bisa  mencintaiNya,  karna  kecintaan kepadaNya  memancar  langsung  dari  pengetahuan  tentangNya.  Dan  sejak kapankah seorang bodoh mempunyai pengetahuan?
Sebab  kedua  dari  kecintaan  ini  adalah  kecintaan  manusia kepada  sesuatu yang  berjasa  kepadanya,  dan  sebenarnyalah  satu-satunya  yang  berjasa kepadanya hanyalah Allah; karena, kebaikan apa pun yang diterimanya dari sesama  manusia  disebabkan  oleh  dorongan  langsung  dari  Allah.  Motif  apa pun yang menggerakkan seseorang memberikan kebaikan kepada orang lain, apakah  itu  keinginan  untuk  memperoleh  pahala  atau  nama  baik,  Allah-lah yang mempekerjakan motif itu.
Sebab ketiga adalah kecintaan yang terbangkitkan oleh perenungan tentang sifat-sifat Allah, kekuasaan dan kebijakanNya, yang jika dibandingkan dengan kesemuanya  itu  kekuasaan  dan  kebijakan  manusia  tidak  lebih  daripada cerminan-cerminan yang paling remeh. Kecintaan ini mirip dengan cinta yang kita rasakan terhadap orang-orang besar di masa lampau, seperti Imam Malik dan  Imam  Syafi'i,  meskipun  kita  tidak  pernah  mengharap  untuk  menerima keuntungan  pribadi  dari  mereka.  Dan  oleh  karenanya,  cinta  ini  merupakan jenis  cinta  yang  lebih  tak  berpamrih.  Allah  berfirman  kepada  Nabi  Daud, "AbdiKu  yang  paling  cinta  kepadaKu  adalah  yang  tidak  mencariku  karena takut untuk dihukum atau berharap mendapatkan pahala,  tetapi hanya demi membayar hutangnya kepada KetuhananKu." Di dalam Injil tertulis: "Siapakah yang lebih kafir daripada orang yang menyembahKu karena takut neraka atau mengharapkan  surga?  Jika  tidak  Kuciptakan  semuanya  itu,  tidak  akan pantaskah Aku untuk disembah?"
Sebab keempat dari kecintaan ini adalah "persamaan" antara manusia dan Allah. Hal inilah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi saw.: "Sesungguhnya Allah  menciptakan  manusia  dalam  kemiripan  dengan  diriNya  sendiri."  Lebih jauh lagi Allah telah berfirman: "Hambaku mendekat kepadaKu sehingga Aku menjadikannya  sahabatKu.  Aku  pun  menjadi  telinganya,  matanya  dan lidahnya."  Juga  Allah  berfirman  kepada  Musa  as.:  "Aku  pernah  sakit  tapi engkau tidak menjengukku!" Musa menjawab: "Ya Allah, Engkau adalah Rabb langit  dan  bumi;  bagaimana  Engkau  bisa  sakit?"  Allah  berfirman:  "Salah seorang  hambaKu  sakit;  dan  dengan  menjenguknya  berarti  engkau  telah mengunjungiKu."
Memang  ini  adalah  suatu  masalah  yang  agak  berbahaya  untuk diperbincangkan,  karena  hal  ini  berada  di  balik  pemahaman  orang-orang awam.  Seseorang  yang  cerdas  sekalipun  bisa  tersandung  dalam membicarakan soal ini dan percaya pada inkarnasi dan kersekutuan dengan Allah. Meskipun demikian, "persamaan" yang maujud di antara manusia dan Allah menghilangkan keberatan para ahli Ilmu Kalam yang telah disebutkan di atas itu, yang berpendapat bahwa manusia tidak bisa mencintai suatu wujud yang bukan dari spesiesnya sendiri. Betapa pun jauh jarak yang memisahkan mereka, manusia bisa mencintai Allah karena "persamaan"yang disyaratkan di dalam sabda Nabi:  "Allah menciptakan manusia dalam  kemiripan dengan diriNya sendiri."
Menampak Allah
Semua  muslim  mengaku  percaya  bahwa  menampak  Allah  adalah  puncak kebahagiaan manusia, karena hal ini  dinyatakan dalam syariah.  Tetapi  bagi banyak orang hal ini hanyalah sekedar pengakuan di bibir belaka yang tidak membangkitkan  perasaan  di  dalam  hati.  Hal  ini  bersifat  alami  saja,  karena bagaimana  bisa  seseorang  mendambakan  sesuatu  yang  tidak  ia  ketahui? Kami akan berusaha untuk menunjukkan secara ringkas, kenapa menampak Allah merupakan kebahagiaan terbesar yang bisa diperoleh manusia. 
Pertama sekali, semua fakultas manusia memiliki fungsinya sendiri yang ingin dipuasi.  Masing-masing  punya  kebaikannya  sendiri,  mulai  dari nafsu badani yang  paling  rendah  sampai  bentuk  tertinggi  dari  pemahaman  intelektual. Tetapi  suatu  upaya  mental  dalam  bentuk  rendahnya  sekalipun  masih memberikan  kesenangan  yang  lebih  besar  daripada  kepuasan  nafsu jasmaniah.  Jadi,  jika  seseorang  kebetulan  terserap  dalam suatu  permainan catur, ia tidak akan ingat makan meskipun berulang kali dipanggil. Dan makin tinggi pengetahuan kita makin besarlah kegembiraan kita akan dia. Misalnya, kita  akan  lebih  merasa  senang  mengetahui  rahasia-rahasia seorang  raja daripada  rahasia-rahasia  seorang  wazir.  Mengingat  bahwa  Allah  adalah obyek pengetahuan yang paling tinggi, maka pengetahuan tentangNya pasti akan memberikan kesenangan yang lebih besar ketimbang  yang lain. Orang yang  mengenal  Allah,  di  dunia  ini  sekalipun,  seakan-akan  merasa  telah berada  di  surga  "yang  luasnya  seluas  langit  dan  bumi"; surga  yang  buah-buahnya  sedemikian  nikmat,  sehingga  tak  ada  seorang  pun yang  bisa mencegahnya untuk memetiknya; dan surga yang tidak menjadi lebih sempit oleh banyaknya orang yang tinggal di dalamnya.
Tetapi  nikmatnya  pengetahuan  masih  jauh  lebih  kecil  daripada  nikmatnya penglihatan,  persis  seperti  kesenangan  kita  di  dalam  melamunkan  orang-orang yang kita cintai jauh lebih sedikit daripada kesenangan yang diberikan oleh penglihatan langsung akan mereka. Keterpenjaraan kita di dalam jasad yang  terbuat  dari  lempung  dan  air  ini,  dan  kesibukan kita  dengan  ihwal inderawi,  menciptakan  suatu  tirai  yang  menghalangi  kita  dari  menampak Allah,  meskipun  hal  itu  tidak  mencegah  kita  dari  memperoleh  beberapa pengethuan tentangNya. Karena alasan inilah, Allah berfirman kepada Musa di Bukit Sinai: "Engkau tidak akan bisa melihatKu."
Hal  yang  sebenarnya  adalah  sebagai  berikut.  Sebagaimana  benih  manusia akan  menjadi  seorang  manusia  dan  biji  korma  yang  ditanam  akan  menjadi pohon korma, maka pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh di bumi akan menjelma menjadi penampakan Tuhan di akhirat kelak, danorang  yang tak pernah  mempelajari  pengetahuan  itu  tak  akan  pernah  mengalami penampakan itu. Penampakan ini tak akan terbagi sama kepada orang-orang yang  tahu,  melainkan  kadar  kejelasannya  akan  beragam  sesuai  dengan pengetahuan  mereka.  Tuhan  itu  satu,  tetapi  Ia  akan  terlihat  dalam  banyak cara  yang  berbeda,  persis  sebagaimana  suatu  obyek  tercerminkan  dalam berbagai  cara  oleh  berbagai  cermin;  ada  yang  mempertunjukkan  bayangan yang  lurus,  ada  pula  yang  baur,  ada  yang  jelas  dan  yang  lainnya kabur. Sebuah  cermin  mungkin  telah  sedemikian  rusak  sehingga  bisa  membuat bentuk yang indah sekalipun tampa buruk, dan seseorang mungkin membawa sebuah  hati  yang  sedemikian  gelap  dan  kotor  ke  akhirat, sehingga penglihatan  yang  bagi  orang  lain  merupakan  sumber  kebahagiaan  dan kedamaian,  baginya  malah  menjadi  sumber  kesedihan.  Seseorang  yang  di hatinya  cinta  terhadap  Tuhan  telah  mengungguli  yang  lain  akan  menghirup lebih  banyak  kebahagiaan  dari  penglihatan  ini  dibanding  orang  yang  di hatinya  cinta  itu  tak  sedemikian  unggul;  persis  seperti  halnya  dua  manusia yang sama memiliki pandangan mata  yang tajam; ketika  menatap sebentuk wajah yang cantik, maka orang yang telah mencintai pemilik wajah itu akan lebih  berbahagia  dalam  menatapnya  daripada  orang  yang  tidak  mencinta. Agar bisa menikmati kebahagiaan sempurna, pengetahuan saja tanpa disertai cinta belumlah cukup. Dan cinta akan Allah tak bisa memenuhi hati manusia sebelum  ia  disucikan  dari  cinta  akan  dunia  yang  hanya  bisa  didapatkan dengan  zuhud.  Ketika  berada  di  dunia  ini,  keadaan  manusia  berkenaan dengan menampak Allah adalah seperti seorang pencinta  yang akan melihat wajah kasihya di keremangan fajar, sementara pakaiannya dipenuhi dengan lebah  dan  kalajengking  yang  terus  menerus  menyiksanya.  Tetapi  jika matahari  terbit  dan  menampakkan  wajah  sang  kekasih  dalam segenap keindahannya  dan  binatang  berbisa  berhenti  menyiksanya,  maka kebahagiaan sang pencinta akan menjadi seperti kecintaan hamba Allah yang setelah keluar dari keremangan dan terbebaskan dari bala yang menyiksa di dunia  ini,  melihatNya  tanpa  tirai.  Abu  Sulaiman  berkata:  "Orang  yang  sibuk dengan  dirinya sekarang,  akan sibuk  dengan dirinya  kelak;  dan  orang  yang tersibukkan dengan Allah sekarang, akan tersibukkan denganNya kelak."
Yahya  Ibnu  Mu'adz  meriwayatkan  bahwa  ia  mengamati  Bayazid  Bistami dalam shalatnya sepanjang malam. Ketika telah selesai, Bayazid berdiri dan berkata:  "O  Tuhan!  Beberapa  hamba  telah  meminta  dan  mendapatkan kemampuan untuk membuat mukjizat, berjalan di atas permukaan air, terbang di  udara,  tapi  bukan  semua  itu  yang  kuminta;  beberapa  yang  lain  telah meminta  dan mendapatkan harta benda, tapi bukan itu pula  yang kuminta." Kemudian  Bayazid  berpaling  dan  ketika  melihat  Yahya,  ia  bertanya: "Engkaulah yang di sanan itu Yahya?" Ia jawab: "Ya." Ia bertanya lagi: "Sejak kapan?"  "Sudah  sejak  lama."  Kemudian  Yahya  memintanya agar mengungkapkan  beberapa  pengalaman  ruhaniahnya.  "Akan kuungkapkan", jawab  Bayazid,  "apa-apa  yang  halal  untuk  diceritakan  kepadamu."  Yang Kuasa telah mempertunjukkan kerajaanNya kepadaku, dari yang paling mulia hingga  yang  terenah.  Ia  mengangkatku  ke  atas  'Arsy  dan KursiNya  dan ketujuh langit. Kemudian Ia berkata: 'Mintalah kepadaKu apa saja yang kau ingini.'  Saya  jawab:  'Ya  Allah!  Tak  kuingini  sesuatu pun  selain  Engkau.' 'Sesungguhnya,' kataNya, 'engkau adalah hambaKu."
Pada  kali  lain  Bayazid  berkata:  "Jika  Allah  akan  memberikan  padamu keakraban  dengan  diriNya  atau  Ibrahim,  kekuatan  dalam  doa  Musa  dan keruhanian Isa, maka jagalah agar wajahmu terus mengarah kepadaNya saja, karena  Ia  memiliki  khazanah-khazanah  yang  bahkan  melampaui  semuanya ini."  Suatu  hari  seorang  sahabatnya  berkata  kepadanya: "Selama  tiga puluh tahun  aku  telah  berpuasa  di  siang  hari  dan  bersembahyang  di  malam  hari, tapi sama sekali tidak kudapati kebahagiaan ruhaniah yang kamu sebut-sebut itu."  Bayazid  menjawab:  "Kalaupun  engkau  berpuasa  dan  bersembahyang selama  tiga ratus  tahun,  engkau  tetap  tak  akan  mendapatinya."  "Kenapa?" tanya  sang  sahabat.  "Karena,"  kata  Bayazid,  "perasaan mementingkan-diri-sendirimu  telah  menjadi  tirai  antara  engkau  dan  Allah."  "Jika  demikian, katakan  padaku  cara  penyembuhannya."  "Cara  itu  takkan  mungkin  bisa kau laksanakan."  Meskipun  demikian  ketika  sahabatnya  itu  memaksanya untuk  mengungkapkannya,  Bayazid  berkata:  "Pergilah  ke  tukang  cukur terdekat  dan  mintalah  ia  untuk  mencukur  jenggotmu.  Bukalah  semua pakaianmu  kecuali  korset  yang  melingkari  pinggangmu.  Ambillah  sebuah kantong yang penuh dengan kenari, gantungkan di lehermu, pergilah ke pasar dan berteriaklah: 'Setiap orang yang memukul tengkukku akan mendapatkan buah  kenari'.  Kemudian  dalam  keadaan  seperti  itu  pergilah  ke  tempat  para qadhi  dan  faqih."  "Astaga!"  kata  temannya,  "saya  benar-benar  tak  bisa melakukannya.  Berilah  cara  penyembuhan  yang  lain."  "Itu  tadi  adalah pendahuluan  yang harus  dipenuhi  untuk  penyembuhannya,"jawab Bayazid. "Tapi,  sebagaimana  telah  saya  katakan  padamu,  engkau  tak  bisa disembuhkan."
Alasan  Bayazid  untuk  menunjukkan  cara  penyembuhan  seperti  itu  adalah kenyataan  bahwa  sahabatnya  itu  adalah  seorang  pengejar kedudukan  dan kehormatan  yang  ambisius.  Ambisi  dan  kesombongan  adalah  penyakit-penyakit  yang  hanya  bisa  disembuhkan  dengan  cara-cara seperti  itu.  Allah berfirman kepada Isa: "Wahai Isa, jika Kulihat di hatipara hambaKu kecintaan yang  murni  terhadap  diriKu  yang  tidak  terkotori  dengan  nafsu-nafsu mementingkan diri-sendiri berkenaan dengan dunia ini  atau dunia yang akan datang, maka Aku akan menjadi penjaga cinta itu." Juga  ketika orang-orang meminta  Isa  a.s.  menunjukkan  amal  yang  paling  mulia,  ia  menjawab: "Mencintai Allah dan memasrahkan diri kepada kehendakNya." Wali Rabi'ah pernah ditanya cintakah ia kepada Nabi. "Kecintaan kepada Sang Pencipta," katanya, "telah mencegahku dari mencintai mahluk." Ibrahim bin Adam dalam doanya  berkata:  "Ya  Allah,  di  mataku  surga  itu  sendiri  masih  lebih  remeh daripada  sebuah  agas  jika  dibandingkan  dengan  kecintaan  kepadaMu  dan kebahagiaan mengingat Engkau yang telah Kau anugerahkan kepadaku."
Orang yang menduga bahwa mungkin saja untuk menikmati kebahagiaan di akhirat  tanpa  mencintai  Allah,  sudah  terlalu  jauh  tersesat,  karena  inti kehidupan  masa  yang  akan  datang  adalah  untuk  sampai  kepada  Allah sebagaimana  sampai  pada  suatu  obyek  keinginan  yang  sudah  lama didambakan  dan  diraih  melalui  halangan-halangan  yang tak  terbilang banyaknya.  Penikmatan  akan  Allah  adalah  kebahagiaan.  Tapi  jika  ia  tidak memiliki  kesenangan  akan  Allah  sebelumnya,  ia  tidak  akan  bergembira  di dalamnya kelak; dan jika kebahagiaannya di dalam Allah  sebelumnya sangat kecil sekali, maka kelak ia pun akan kecil. Ringkasnya, kebahagiaan kita  di masa datang akan sama persis kadarnya dengan kecintaan kita kepada Allah sekarang.
Tetapi  na'udzu  billah,  jika  di  dalam  hati  seseorang  telah  tumbuh  suatu kecintaan terhadap sesuatu yang bertentangan dengan Allah, maka keadaan kehidupan  akhirat  akan  saa  sekali  asing  baginya.  Dan  apa-apa  yang  akan membuat orang lain bahagia akan membuatnya bersedih.
Hal  ini  bisa  diterangkan  dengan  anekdot  berikut  ini.  Seorang  manusia pemakan bangkai pergi ke sebuah pasar yang menjual wangi-wangian. Ketika membaui aroma yang wangi ia jatuh pingsan. Orang-orang mengerumuninya dan  memercikkan  air  bunga  mawar  padanya,  lalu  mendekatkan  misyk (minyak  wangi)  ke  hidungnya;  tetapi  ia  malah  menjadi semakin  parah. Akhirnya  seseorang  datang;  dia  sendiri  adalah  juga  pemakan  bangkai.  Ia mendekatkan  sampah  ke  hidung  orang  itu,  maka  orang  itu  segera  sadar, mendesah  penuh  kepuasan:  "Wah,  ini  baru  benar-benar  wangi-wangian!" Jadi, di akhirat nanti manusia tak akan lagi mendapati kenikmatan-kenikmatan cabul  dunia  ini;  kebahagiaan  ruhaniah  dunia  itu  akan sama  sekali  baru baginya  dan  malah  akan  meningkatkan  kebobrokannya.  Karena,  akhirat adalah  suatu  dunia  ruh  dan  merupakan  pengejawantahan  dari  keindahan Allah; kebahagiaan adalah bagi manusia yang telah mengejarnya dan tertarik padanya.  Semua  kezuhudan,  ibadah  dan  pengkajian-pengkajian  akan menjadikan rasa tertarik itu sebagai tujuannya dan ituadalah cinta. Inilah arti dari ayat al-Qur'an: "Orang yang telah menyucikan jiwanya akan berbahagia." Dosa-dosa  dan  syahwat  langsung  bertentangan  dengan  pencapaian  rasa tertarik  ini.  Oleh  karena  itu,  al-Qur'an  berkata:  "Dan  orang  yang  mengotori jiwanya  akan  merugi."  Orang-orang  yang  dianugerahi  wawasan  ruhaniah telah  benar-benar  memahami  kebenaran  ini  sebagai  suatu kenyataan pengalaman, bukan sekadar sebuah pepatah tradisional belaka. Pencerapan mereka  yang  amat  jelas  terhadap  kebenaran  ini  membawa  mereka  kepada keyakinan  bahwa  orang  yang  membawa  kebenaran  itu  adalah  benar-benar seorang  Nabi,  sebagaimana  yakinnya  seseorang  yang  telah  mempelajari pengobatan  ketika  ia  mendengarkan  omongan  seorang  dokter.  Ini  adalah sejenis  keyakinan  yang  tidak  membutuhkan  dukungan  berupa  mukjizat-mukjizat, seperti mengubah sebatang kayu menjadi seekor ular  yang masih mungkin digoncangkan dengan mukjizat-mukjizat luar biasa  sejenisnya yang dilakukan oleh para ahli sihir.

Tanda-tanda Kecintaan kepada Allah
Banyak  orang  mengaku  telah  mencintai  Allah,  tetapi  masing-masing  mesti memeriksa diri sendiri berkenaan dengan kemurnian cinta yang ia miliki. Ujian pertama  adalah:  dia  mesti  tidak  membenci  pikiran  tentang  mati,  kerena  tak ada  seorang  "teman"  pun  yang  ketakutan  ketika  akan  bertemu  dengan "teman"nya.  Nabi  saw.  Berkata:  "Siapa  yang  ingin  melihat  Allah,  Allah  pun ingin melihatnya." Memang benar bahwa seorang pencinta Allah yang ikhlas mungkin  saja  bisa  takut  akan  kematian  sebelum  ia  menyelesaikan persiapannya untuk ke akhirat, tapi jika ia ikhlas ia akan rajin dalam membuat persiapan-persiapan itu.
Ujian  keikhlasan  yang  kedua  ialah  seseorang  mesti  rela mengorbankan kehendaknya  demi  kehendak  Allah;  mesti  berpegang  erat-erat  kepada  apa yang membawanya lebih dekat kepada Allah; dan mesti menjauhkan diri dari tempat-tempat yang menyebabkan ia berada jauh dari Allah.
Kenyataan  bahwa  seseorang  telah  berbuat  dosa  bukanlah  bukti  bahwa  dia tidak mencintai Allah sama sekali, tetapi hal itu hanya membuktikan bahwa ia tidak  mencintaiNya  dengan  sepenuhhati.  Wali  Fudhail  berkata  pada seseorang:  "Jika  seseorang  bertanya  kepadamu,  cintakah  engkau  kepada Allah, maka diamlah; karena jika engkau berkata: 'Saya tidak mencintaiNya,' maka  engkau  menjadi  seorang  kafir;  dan  jika  engkau  berkata:  'Ya,  saya mencintai Allah,' padahal perbuatan-perbuatanmu bertentangan dengan itu."
Ujian yang ketiga adalah bahwa dzikrullah mesti secara otomatis terus tetap segar  di  dalam  hati  manusia.  Karena,  jika  seseorang  memang  mencintai, maka ia akan terus mengingat-ngingat; dan jika cintanyaitu sempurna, maka ia tidak akan pernah melupakan-Nya. Meskipun demikian, memang mungkin terjadi  bahwa  sementara  kecintaan  kepada  Allah  tidak  menempati  tempat utama  di  hati  seseorang,  kecintaan  akan  kecintaan  kepada  Allahlah  yang berada di tempat itu, karena cinta adalah sesuatu dan  kecintaan akan cinta adalah sesuatu yang lain.
Ujian  yang  keempat  adalah  bahwa  ia  akan  mencintai  al-Qur'an  yang merupakan firman Allah - dan Muhammad Nabiyullah. Jika cintanya memang benar-benar kuat, ia akan mencintai semua manusia, karena mereka semua adalah hamba-hamba Allah. Malah cintanya akan melingkupi semua mahluk, karena  orang  yang  mencintai  seseorang  akan  mencintai  karya-karya  cipta dan tulisan tangannya.
Ujian  kelima  adalah,  ia  akan  bersikap  tamak  terhadap  'uzlah  untuk  tujuan ibadah.  Ia  akan  terus  mendambakan  datangnya  malam  agar  bisa berhubungan  dengan  Temannya  tanpa  halangan.  Jika  ia  lebih  menyukai bercakap-cakap di siang hari dan tidur di malam hari daripada 'uzlah seperti itu,  maka  cintanya  itu  tidak  sempurna.  Allah  berkata  kepada  Daud  a.s.: "Jangan  terlalu  dekat  dengan  manusia,  karena  ada  dua  jenis  orang  yang menghalangi kehadiranKu: orang-orang yang bernafsu untuk mencari imbalan dan  kemudian  semangatnya  mengendor  ketika  telah  mendapatkannya,  dan orang-orang  yang  lebih  menyukai  pikiran-pikirannya  sendiri  daripada mengingatKu.  Tanda-tanda  ketidak-hadiranKu  adalah  bahwa  Aku meninggalkannya sendiri.”
Sebenarnyalah,  jika  kecintaan  kepada  Allah  benar-benar menguasai  hati manusia, maka semua cinta kepada yang lain pun akan hilang. Salah seorang dari  Bani  Israil  mempunyai  kebiasaan  untuk  sembahyang  di  malam  hari. Tetapi ketika tahu bahwa seekor burung bisa bernyanyi dengan sangat merdu di atas sebatang pohon, ia pun mulai sembahyang di bawah pohon itu agar dapat  menikmati  kesenangan  mendengarkan  burung  itu.  Allah memerintahkan Daud a.s. untuk pergi dan berkata kepadanya: "Engkau telah mencampurkan  kecintaan  kepada  seekor  burung  yang  merdu  dengan kecintaan  kepadaKu;  maka  tingkatanmu  di  kalangan  para  wali  pun terendahkan."  Di  pihak  lain,  beberapa  orang  telah  mencintai  Allah  dengan kecintaan  sedemikian  rupa,  sehingga  ketika  mereka  sedang  berkhidmat dalam  ibadah,  rumah-rumah  mereka  telah  terbakar  dan  mereka  tidak mengetahuinya.
Ujian  keenam  adalah  bahwa  ibadah  pun  menjadi  mudah  baginya.  Seorang wali  berkata:  "Selama  tiga puluh  tahun  pertama  saya  menjalankan  ibadah malamku dengan susah payah, tetapi tiga puluh tahun kemudian hal itu telah menjadi  suatu  kesenangan  bagiku."  Jika  kecintaan  kepada Allah  sudah sempurna,  maka  tak  ada  kebahagiaan  yang  bisa  menandingi kebahagiaan beribadah.
Ujian ketujuh adalah bahwa pencinta Allah akan mencintai orang-orang yang menaatiNya,  dan  membenci  orang-orang  kafir  dan  orang-orang  yang  tidak taat,  sebagaimana  kara  al-Qur'an:  "Mereka  bersikap  keras  terhadap  orang kafir  dan  berkasih  sayang  dengan  sesamanya."  Nabi  saw  pernah  bertanya kepada  Allah:  "Ya  Allah,  siapakah  pencinta-pencintaMu?"  Dan  jawabannya pun datang: "Orang-orang yang berpegang erat-erat kepadaKu sebagaimana seorang  anak  kepada  ibunya;  yang  berlindung  di  dalam  pengingatan kepadaKu  sebagaimana  seekor  burung  mencari  naungan  pada  sarangnya; dan  akan  sangat  marah  jika  melihat  perbuatan  dosa  sebagaimana  seekor macan marah yang tidak takut kepada apa pun."